TEGUH PADA PRINSIP, MENGHARGAI PERBEDAAN: JALAN KSATRIA DALAM MEMAKNAI SEJARAH


Oleh : Basmeri Integrasionis

Di antara hiruk-pikuk sejarah dan gelombang besar perubahan politik, menjadi seorang yang tetap teguh pada prinsip bukanlah perkara mudah. Apalagi ketika dunia di sekitar terus berubah, opini publik bergeser, dan sejarah sering kali ditulis oleh mereka yang menang. Namun, dalam pusaran itu semua, ada satu hal yang tak boleh hilang dari seorang pejuang sejati: konsistensi terhadap nilai dan keyakinan. Dan juga, kebesaran hati untuk tetap mengakui kemanusiaan dan harga diri mereka yang berbeda pilihan.

Hari ini, saya menerima sebuah apresiasi yang tak biasa. Ia datang dari seseorang yang lahir dan besar dalam sistem Integrasi, tetapi kini memilih untuk menjadi bagian dari Republik Demokratik Timor Leste. Ia juga menyampaikan penghormatan atas konsistensi para Integrasionis serta perjuangan para pendiri seperti almarhum Jose Fernando Osorio Soares, Sekjen Apodeti yang gugur dibunuh FRETILIN di Same, 27 Januari 1976.

Di tengah perbedaan pilihan politik itu, ia tetap memberikan penghormatan atas prinsip dan perjuangan kami para Integrasionis. Ini bukan sekadar kata-kata; ini adalah tanda bahwa di antara puing-puing sejarah, masih ada ruang untuk saling memahami dan menghargai.

Sebagian dari kita, sayangnya, masih terjebak dalam narasi penyangkalan. Dalam diskusi-diskusi daring, tidak jarang kita menemui sikap negador—mereka yang membantah setiap kebaikan yang pernah hadir di masa Integrasi, demi pembenaran ego dan glorifikasi sepihak. Padahal, sejarah tak bisa hanya dibaca dari satu sudut. Integrasi bukan hanya soal politik dan keamanan; ia juga tentang pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan kesempatan. Tentang bagaimana rakyat Timor, setelah lebih dari empat abad berada dalam bayang-bayang penjajahan Portugis, akhirnya mencicipi perubahan yang signifikan.

Kami, para pejuang Apodeti dan Integrasionis sejati, tidak berjuang demi masa depan yang lebih buruk. Seperti kata Arnaldo dos Reis Araújo, pendiri Apodeti sekaligus Gubernur pertama Timor Timur dalam bingkai NKRI, “tidak ada bangsa yang berjuang demi masa depan yang lebih buruk.” Kami berjuang agar anak-anak Timor, siapa pun mereka, dari keluarga mana pun—bahkan yang berasal dari garis FRETILIN sekalipun—dapat mengenyam pendidikan, mendapat beasiswa, dan menggapai cita-cita.

Fakta berbicara. Lucas da Costa, seorang mantan tokoh FRETILIN, bisa menempuh pendidikan tinggi, meraih gelar doktor, dan bahkan mendirikan universitas di Timor Leste. Itu semua mungkin terjadi karena ruang dan kesempatan yang diberikan selama masa Integrasi. Jadi, mengapa hari ini kita harus menutup mata terhadap kebaikan yang pernah ada?

Dari pengakuan ini, seharusnya tumbuh kesadaran bahwa Apodeti bukanlah pengkhianat rakyat atau penjual tanah seperti yang kerap dihembuskan demi menyuburkan permusuhan antar sesama anak bangsa. Apodeti tidak pernah berjuang untuk menyerahkan wilayah kepada bangsa lain, melainkan memperjuangkan jalan damai dan bermartabat bagi masa depan rakyat Timor melalui integrasi dengan Indonesia. Selama 23 tahun masa integrasi, rakyat Timor merasakan banyak kemajuan nyata—akses pendidikan, infrastruktur, pelayanan kesehatan, hingga peluang ekonomi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi setelah wilayah ini melepaskan diri dari NKRI.

Bagi kami para Integrasionis, perbedaan tidak berarti harus saling melenyapkan. Kami memilih tetap teguh pada prinsip bukan karena kebencian, melainkan karena keyakinan pada jalan yang kami anggap benar. Namun di atas semua itu, kami tetap memandang mereka yang berbeda pilihan sebagai saudara. Kami lahir di tanah yang sama, menghirup udara yang sama, dan suatu hari nanti, tanah yang sama juga akan menerima tubuh kita kembali.

Kami mungkin memilih untuk tidak pulang karena prinsip. Namun rindu tetap ada, harapan tetap menyala, dan penghormatan terhadap mereka yang jujur melihat sejarah tetap kami pegang teguh. Karena itulah yang membedakan seorang pejuang sejati dari sekadar pengikut arus: keberanian untuk berbeda, dan kelapangan hati untuk tetap menghargai.

Dan penghargaan dari mereka yang jujur membaca sejarah, seperti saudara di Timor Leste itu, adalah pengingat bahwa kebenaran kadang muncul dari tempat yang tak terduga—bukan untuk menang, tetapi untuk menyembuhkan.


Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama