Baru-baru ini, seseorang menyampaikan pendapat kepada saya bahwa Apodeti itu sangatlah demokrat. Ia mengatakan bahwa belakangan ini banyak orang yang menulis tentang perjuangan Apodeti terlalu radikal, dan hal itu—menurutnya—justru merusak citra Apodeti dan para pendirinya. Ia juga menilai bahwa setelah integrasi, Apodeti menjadi terlalu keras, tidak lagi mengutamakan dialog, bahkan dituding bergaya seperti Fretilin—kalau tidak setuju, maka ribut, bahkan dianggap cenderung "bunuh dan berantem." Katanya lagi, dulu Apodeti berpolitik secara gentle, duduk di meja perundingan, bukan koar-koar. Ia juga menegaskan bahwa Apodeti dikenal sebagai gerakan yang demokratis, maka diskusi sebaiknya tidak dibawa ke arah konfrontatif seperti gaya Fretilin yang cenderung menyalahkan dan merasa paling benar, karena itu bukan lagi diskusi, melainkan perdebatan tanpa arah.
Saya menyimak pendapat ini dengan tenang, karena saya tahu siapa yang berbicara. Dia adalah seorang senior Apodeti, satu dari sedikit yang masih hidup dan kerap menyuarakan posisinya.
Bagi kami—anak-anak Apodeti yang bertumbuh di tengah bara luka sejarah—kami bertanya: apakah bersikap tegas terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan adalah sebuah kesalahan? Apakah menyuarakan kebenaran yang telah dibungkam selama puluhan tahun dianggap “koar-koar”? Apakah membuka aib Fretilin atas pembantaian saudara-saudara kami yang tak bersenjata dianggap merusak nama baik pendiri Apodeti?
Kita perlu jujur. Tuduhan bahwa kita keras, bahwa kita tidak demokratis, Ia juga menyebut bahwa kita jangan berdiskusi dengan gaya “kamu salah, saya benar.” Justru narasi seperti itu sejak dulu dilontarkan kepada kita oleh pihak Fretilin dan simpatisannya. Kita telah lama dicap “milisi”, “traidor”, “pengkhianat”, dan bahkan dihapus dari sejarah bangsa Timor oleh mereka yang kini berkuasa atas nama kemerdekaan. Lalu ketika kita menyuarakan luka sejarah dan membuka aib kejahatan mereka, mengapa kita justru dituding radikal oleh saudara sendiri?
Namun, ketika hari ini kita bangkit, menulis, bersuara dengan sikap yang tegas, mereka panik dan menuduh kita radikal. Dan yang paling menyedihkan adalah ketika tuduhan serupa datang dari orang yang mengaku bagian dari kita sendiri.
Tapi kami percaya: ketegasan bukan radikalisme. Kebenaran bukan kebencian. Dan sikap yang tidak kompromi dengan kejahatan bukan berarti melupakan dialog.
Selama 23 tahun, kami tidak diam. Kami mempertahankan semangat integrasi di tengah arus besar penyesatan sejarah. Dan bila hari ini kami menulis, berbicara, dan menyuarakan kembali luka sejarah, itu bukan karena kami kehilangan akal sehat, tapi karena inilah waktunya.
Kita tak ingin mendominasi diskusi. Tapi kami juga tak sudi tunduk pada narasi penuh kepalsuan yang selama ini menjajah nalar rakyat Timor. Jika hari ini kita menyampaikan sikap, itu karena kita tahu persis penderitaan yang terjadi, kita alami sendiri penolakan, pengusiran, dan stigma yang tak adil.
Kami tak menuding siapa-siapa. Kami hanya ingin menyampaikan bahwa kami pun punya suara. Dan kami akan terus bersuara, hingga kebenaran tidak lagi dianggap sebagai kebisingan.
Untuk semua saudara kami, baik yang satu barisan maupun yang belum memahami posisi ini, mari kita jaga warisan Apodeti dengan jujur dan bermartabat. Apodeti bukan sekadar lambang, tapi sikap. Dan sikap itu adalah menolak tunduk pada pemutarbalikan sejarah dan memihak pada kebenaran, meski sunyi.
Hormat kami,
Dari anak-anak Apodeti yang tidak menjual sejarah untuk kenyamanan pribadi.