Pertama-tama, perlu ditegaskan bahwa Apodeti tidak lahir sebagai gerakan yang hendak menyerahkan wilayah kepada negara asing, melainkan lahir sebagai gerakan rakyat yang ingin mengakhiri penjajahan dan mengembalikan jati diri orang Timor Timur ke dalam kesatuan sejarah dan etnografisnya dengan saudara-saudaranya di Timor Barat.
Pulau Timor tidak terletak di Timur Tengah atau di Amerika Latin. Justru sebaliknya, Pulau Timor adalah satu kesatuan geografis, etnologis, dan budaya yang secara buatan dibelah oleh penjajah kolonial: Belanda di barat, dan Portugis di timur.
Sebelum kedatangan kolonialisme Eropa, kerajaan-kerajaan lokal di pulau Timor berinteraksi bebas tanpa batas barat-timur, baik dalam perdagangan, hubungan keluarga, maupun aliansi politik. Banyak suku dan marga yang tersebar di kedua sisi pulau—banyak yang memiliki hubungan darah lintas batas kolonial itu.
Maka ketika Apodeti menyuarakan integrasi dengan Indonesia, itu bukan semangat menjual tanah air, melainkan kerinduan untuk menyatukan kembali bagian yang tercerai oleh sejarah kolonial. Dalam konteks ini, nasionalisme Apodeti adalah nasionalisme yang mengakar secara kultural dan historis, bukan semata-mata politik.
Bandingkan hal ini dengan proses integrasi Goa ke India, atau kembalinya Hong Kong ke Tiongkok—yang keduanya dipandang sebagai pemulihan keutuhan nasional, bukan ekspansi. Maka mengapa ketika rakyat Timor Timur—yang sebagian besar bersaudara dengan rakyat Timor Barat—ingin kembali bersatu, malah disebut sebagai bentuk pengkhianatan atau tidak nasionalis?
Justru di sinilah nasionalisme Apodeti menunjukkan kematangan: Apodeti tidak menutup diri dalam nasionalisme sempit, melainkan menengok ke sejarah panjang sebelum kolonialisme membelah pulau ini, dan menawarkan visi masa depan dalam rumah besar Indonesia, yang saat itu juga tengah membebaskan diri dari penjajahan.
"Negara Lain" atau Rumah Sendiri?
Mengatakan bahwa Indonesia adalah “negara lain” dalam konteks Timor Timur sebenarnya adalah mewarisi logika kolonialisme. Karena dengan begitu, kita mengakui garis batas buatan kolonial sebagai sesuatu yang alami dan abadi, padahal batas itu justru yang memisahkan satu bangsa menjadi dua wilayah yang tak lagi saling mengenal.
Jika bangsa Timor adalah satu, dan sejarah serta budayanya saling berkait di timur dan barat, maka bergabung dengan Indonesia bukanlah integrasi ke negara asing, melainkan kembali ke rumah besar yang sama, tempat saudara-saudara kita sudah lebih dulu merdeka.
Nasionalisme yang Melampaui Bendera
Nasionalisme sejati tidak selalu diukur dari siapa yang berdiri sendiri. Kadang, nasionalisme paling murni justru adalah yang berani menolak warisan kolonial, dan berani kembali menyatu demi menyelamatkan rakyat dari kekacauan, pembantaian, dan penindasan seperti yang terjadi dalam kekacauan 1975 pasca-kepergian Portugal.
Apodeti tidak anti-merdeka. Apodeti hanya tidak ingin kemerdekaan semu yang hanya memindahkan kekuasaan dari tangan kolonial ke tangan elit bersenjata.
Mengapa Indonesia? Jawaban dari Pendiri Apodeti Sendiri
Untuk memahami mengapa integrasi adalah pilihan nasionalis, kita harus mendengar langsung dari sumbernya—pendiri Apodeti sendiri, Arnaldo dos Reis Araújo, yang mengatakan:
“Tujuan politik Apodeti adalah berintegrasi dengan Indonesia. Latar belakangnya ialah persamaan nasib (sama-sama bangsa terjajah), sejarah, kondisi geografis, geostrategi dan politik, serta unsur-unsur sosial budaya antara rakyat Timor Timur dan rakyat Indonesia yang tidak terdapat dengan negara manapun di dunia.”
Ini bukan pernyataan yang reaktif atau emosional, tapi refleksi dari perenungan panjang terhadap realitas sosial dan sejarah Timor Timur. Apodeti memandang bahwa bangsa yang terjajah harus mencari persatuan, bukan keterpecahan. Dan persatuan paling logis, alami, dan historis—bukan ke Portugal atau negara Barat lainnya—melainkan ke Indonesia.