KETIKA PRINSIP DIKORBANKAN : OPORTUNISME DI TENGAH JEJAK DARAH PERJUANGAN

 


Oleh: Basmeri

Di tengah sunyinya lorong-lorong sejarah Timor Timur yang berdarah, masih tersisa segelintir suara yang memilih diam demi kenyamanan, dan sedikit yang berani bersuara demi prinsip. Di antara yang bertahan dalam diam itu, muncul sosok-sosok —yang dulunya pernah berada di barisan yang benar bersama APODETI—namun kini memilih jalan berbeda: bergaul, berdamai, bahkan keluar-masuk Timor Leste dengan bebas, seolah tak pernah ada sejarah yang dipijaknya dengan darah saudara.

Sikap ini bukanlah bentuk keluwesan. Bukan pula strategi politik. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap garis perjuangan, yang selama ini dijaga dengan air mata, pengorbanan, dan harga diri.

Kami, para Integrasionis sejati, tidak pernah menginjak tanah yang kami tolak eksistensinya, karena melangkah ke dalam wilayah yang mengklaim diri sebagai negara bernama Timor Leste dengan paspor Indonesia, lalu menerima cap otoritas dari entitas yang kami anggap tidak sah, adalah pengakuan diam-diam terhadap eksistensi tersebut. Dan pengakuan itu—sekecil apa pun bentuknya—adalah penghianatan terhadap mereka yang gugur di Aileu, di Ainaro, di Suai, di mata air perlawanan yang kini dikencingi oleh propaganda “rekonsiliasi.”

Apodeti sejati, atau Integrasionis sejati, tidak akan pernah menginjakkan kaki di tanah yang kini disebut Timor Leste, setidaknya bagi mereka yang saat jajak pendapat 1999 telah tampil sebagai pemimpin formal maupun informal perjuangan—mereka yang suaranya didengar, langkahnya ditiru, dan sikapnya menjadi penanda arah. Domingos Soares, Ketua FPDK, adalah contoh nyata: meskipun ibunya wafat di Dili, ia memilih untuk tidak pulang, tidak menghadiri pemakaman sang ibu, demi menjaga kehormatan prinsip perjuangan yang ia emban. Begitu pula Domingos Policarpo, salah satu pemimpin Integrasi, yang tetap konsisten tidak kembali ke Timor Leste meskipun banyak alasan pribadi bisa membenarkannya. Penulis sendiri, meski di level berbeda, adalah seorang pemimpin yang pernah menggerakkan massa ke Kedutaan Australia dan Inggris, serta berdiri di hadapan Parlemen RI untuk membujuk agar hasil jajak pendapat tidak disahkan. Dalam kapasitas itu, penulis pun memilih untuk tidak pernah kembali, bukan karena benci kampung halaman, tapi karena komitmen pada prinsip yang lebih besar. Prinsip ini tidak berlaku bagi warga biasa atau anggota integrasionis non-pemimpin—mereka tetap berhak keluar masuk Timor Leste karena itu tanah kelahiran dan leluhur mereka. Namun bagi kami, para pemimpin perjuangan, sekali melangkah ke tanah itu dengan paspor RI dan izin dari otoritas yang kami tolak eksistensinya, maka seketika itu juga pengkhianatan dimulai.

Seseorang boleh berkilah bahwa dia “bermain di dua kaki,” atau “mencari jalan tengah,” atau “membangun komunikasi.” Tapi semua itu tak lain hanyalah dalih oportunis untuk menjinakkan nurani. Karena tidak ada komunikasi yang jujur dengan mereka yang dulu menyiksa saudara kita, tidak ada rekonsiliasi yang adil jika sejarah tak pernah dituntaskan, dan tidak ada kemerdekaan sejati jika fondasinya dibangun di atas pemutihan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kami tidak ingin menjadi bagian dari ilusi “negara” yang lahir dari jebakan sejarah dan konspirasi global. Kami memilih berada di luar, karena itulah bentuk penolakan tertinggi. Kami tidak akan menjilat tanah yang sudah kami tumpahkan air mata di atasnya. Kami tidak butuh pengakuan dunia, karena kami tahu siapa yang berdiri di jalan yang benar.

Integrasionis sejati bukan hanya soal identitas. Ini soal konsistensi dan keberanian untuk tetap pada prinsip, bahkan ketika dunia membisikkan untuk menyerah. Bahkan ketika rekan seperjuangan mulai tergoda duduk bersanding dengan mereka yang dulu menyuruh membunuh kita.

Maka biarlah kami dicatat sebagai minoritas yang bertahan. Tapi kami tidak akan menjadi mayoritas yang kehilangan jati diri. Sejarah belum selesai. Kebenaran belum menang. Tapi kami masih di sini, menjaga bara itu tetap menyala.

Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama