Oleh : Basmeri Integrasionis
Isu intervensi Indonesia di Timor Timur tahun 1975 sering dibingkai secara simplistis sebagai invasi militer yang melanggar hukum internasional dan menindas aspirasi rakyat Timor. Narasi ini tidak hanya bias, tetapi juga mengabaikan realitas historis, dasar hukum internasional yang berlaku saat itu. Jika kita bersedia melihat dengan kepala dingin dan membaca dokumen sejarah dengan jujur, kita akan menemukan bahwa intervensi Indonesia pada tahun 1975 memiliki dasar historis dan hukum yang sah, bukan tindakan sepihak sebagaimana kerap dituduhkan. serta perjuangan sebagian besar rakyat Timor Timur yang secara sadar menolak kolonialisme dan memilih integrasi dengan Indonesia. Salah satu pilar utama gerakan ini adalah APODETI (Associação Popular Democrática de Timor)—sebuah partai anti-kolonial yang sejak awal mengusung cita-cita integrasi.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa eksistensi kolonial Portugal di Timor Timur diikat oleh serangkaian perjanjian internasional dengan Belanda, termasuk Traktat Lisabon II (1859) dan Traktat Den Haag (1905, direvisi 1913). Traktat-traktat ini memuat prinsip right of first refusal, yang berarti jika salah satu pihak hendak melepaskan wilayah kekuasaannya, maka pihak lainnya harus diberi kesempatan pertama untuk mengambil alih.
Dalam traktat tersebut, disepakati prinsip le droit de préférence atau hak penolakan pertama (right of first refusal). Isinya menyatakan bahwa:
“Apabila Portugal hendak meninggalkan Timor (Portugis), maka dia wajib menanyakan Belanda terlebih dahulu apakah berminat mengambil alih wilayah tersebut.”
Begitu pula sebaliknya, jika Belanda hendak meninggalkan Timor (Belanda), Portugal harus diberi hak yang sama.
Walaupun prinsip ini tidak berarti kedaulatan otomatis, namun ia adalah norma etis dan politis antar kekuatan kolonial yang secara de facto dan de jure menciptakan hak historis bagi Belanda—dan kemudian Indonesia sebagai pewarisnya—atas Timor Timur bila Portugal angkat kaki.
Ketika Republik Indonesia Serikat (RIS) menerima hasil Konferensi Meja Bundar tahun 1949, secara hukum Indonesia tidak menolak traktat-traktat tersebut, sehingga Indonesia sah sebagai penerus hak dan kewajiban kolonial Belanda, termasuk dalam urusan Timor Timur.
Portugal Undang Indonesia: Pengakuan atas Traktat Itu
Pada Oktober 1974, setelah Revolusi Bunga di Portugal dan pernyataan Jenderal Antonio de Spinola untuk menarik diri dari koloni-koloni Portugal, pemerintah Lisbon secara resmi mengundang Indonesia untuk membahas nasib Timor Portugis. Delegasi Indonesia yang hadir antara lain Ali Moertopo, Dr. Halim, Achmad Taher, dan Frans Seda.
Fakta ini menunjukkan bahwa Portugal sendiri mengakui hak Indonesia sebagai pihak pertama yang harus diajak bicara, sejalan dengan ketentuan dalam Traktat Den Haag dan Traktat Lisabon. Ini membantah narasi bahwa Indonesia bertindak sepihak. Pertemuan lanjutan pada Maret 1975 di London pun masih dalam kerangka ini, namun birokrasi Indonesia sendiri gagal memberikan mandat penuh untuk menindaklanjuti peluang ini secara diplomatik.
APODETI: Anti-Kolonialis Sejati yang Dikhianati Sejarah
Dalam konteks ini, APODETI adalah satu-satunya kekuatan politik lokal Timor Timur saat itu yang terang-terangan menolak kolonialisme dan menyerukan integrasi dengan Indonesia sebagai jalan pembebasan yang damai dan bermartabat.
Para pendiri APODETI seperti Arnaldo dos Reis Araújo, Jose Fernando Osorio Soares, adalah tokoh-tokoh lokal yang memahami realitas sosial-politik Timor. Mereka memandang integrasi dengan Indonesia sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dan penolakan terhadap kolonialisme berkepanjangan. Dalam visi APODETI, kemerdekaan sejati bukanlah dalam bentuk negara baru yang rapuh, tetapi dalam kebersamaan dengan bangsa serumpun yang lebih besar: Indonesia.
Petisi Integrasi 1976: Landasan Sah Integrasi Timor Timur
Yang sering diabaikan adalah fakta bahwa proses integrasi Timor Timur tidak hanya didasarkan pada pernyataan politik atau deklarasi, tetapi melalui mekanisme formal dan sah. Setelah kekacauan politik yang diakibatkan oleh konflik berdarah antara partai-partai lokal seperti FRETILIN, UDT, dan APODETI, maka dibentuklah Pemerintahan Sementara Timor Timur, dengan Arnaldo dos Reis Araújo sebagai ketuanya.
Pemerintahan sementara ini secara resmi mengajukan “Petisi Integrasi” kepada Presiden Soeharto, yang kemudian dibahas dalam sidang DPR dan MPR RI. Proses ini akhirnya menghasilkan pengesahan resmi bahwa Timor Timur menjadi bagian dari NKRI pada 17 Juli 1976. Dengan kata lain, integrasi Timor Timur adalah hasil dari mekanisme politik dan hukum yang sah, berdasarkan aspirasi rakyat dan struktur pemerintahan lokal yang terbentuk pasca dekolonisasi dan perang saudara.
Refleksi: Buta Sejarah dan Diamnya Negara
Yang menyakitkan adalah bahwa pemerintah Indonesia sendiri saat itu gagal memanfaatkan legitimasi historis dan hukum internasional ini. Banyak pejabat tinggi, baik di Deplu, Deplagri, tidak tahu atau tidak mau tahu soal Traktat Den Haag atau Lisabon, bahkan menolak telaahan strategis dari staf presiden yang mendalami aspek hukum tersebut.
Akibatnya, perjuangan kaum Integrasionis seperti APODETI tidak pernah mendapatkan tempat yang layak dalam narasi sejarah resmi. Mereka dibungkam oleh propaganda internasional, dituduh kolaborator, dan sejarah mereka dihapus dari buku-buku pelajaran. Padahal mereka adalah pejuang anti-kolonial sejati, yang memilih jalan damai dalam kerangka hukum dan sejarah yang kuat.
Intervensi Indonesia di Timor Timur bukan tindakan brutal tanpa dasar. Ia memiliki legitimasi historis melalui traktat kolonial, pijakan hukum melalui warisan KMB, dan keabsahan politik melalui Petisi Integrasi 1976. Di atas segalanya, perjuangan integrasi adalah ekspresi dari sekelompok rakyat Timor yang menolak kolonialisme dan memilih persatuan dengan Indonesia secara sadar.
Saatnya bangsa ini mengakui sejarah yang dilupakan, menghormati perjuangan para Integrasionis, dan berdiri membela kebenaran sejarah yang selama ini dikubur oleh propaganda internasional dan kelalaian birokrasi sendiri.
Tags:
Ex-Timtim