IMPERIUM et MERCATURA: “Dialektika Kekuasaan, Kekayaan, dan Tipuan Dalam Politik Elektoral Kontemporer”


Oleh: Rama Cristo, S-33


Bagian I: Pendahuluan

-------------------------------------

Saya merasa tergelitik untuk menulis artikel pendek ini setelah membaca “narasi-thesis” yang diangkat seorang sahabat untuk mencoba membuka tabir gelap, sekaligus menyadarkan publik - terutama kaum marjinal yang terdampak penggusuran, bahwa penggusuran paksa di Kota Dili yang dua tahun terakhir ini digalakkan oleh pemerintahan Kabinet IX pimpinan perdana menteri Xanana Gusmao, dengan dalih akan menata Kota Dili lebih indah dan bermartabat, nantinya bakal diikuti dengan pengadaan proyek-proyek besar di atas bekas tanah penggusuran, yang mana proyek-proyek besar itu akan diserahkan kepada para “plutokrat” (patron-patron) yang telah mendukung penguasa di saat kampanye pemilu sebagai bentuk pemabayaran hutang.

Dalam catatan filsafat politik, keterkaitan antara kepentingan ekonomi dan kekuasaan negara, semenjak jamannya Kekaisaran Romawi Kuno hingga detik ini, menjadi perhatian serius banyak orang, dari berbagai kelas sosial. Dari rakyat jelata hingga raja bertakhta. Dari tulisan Plato dalam The Republic hingga renungan Cicero dalam De Officiis, para filsuf telah memperingatkan tentang kerusakan kebajikan dan keadaban (sivilisasi) publik akibat kerakusan pejabat publik menumpuk kekayaan pribadi yang diperoleh melalui jalan korupsi, setelah sebelumnya melakuan tipuan dalam politik elektoral kontemporer. 

Proses pemilu modern (termasuk di Timor Leste dalam 20 tahun terakhir), meskipun secara lahiriah tampak demokratis, namun sering kali menyembunyikan mekanisme oligarkis yang lebih dalam—sebuah imperium yang dijalankan bukan hanya oleh pejabat terpilih, melainkan oleh para “plutokrat” (transformasi dari kata plutokrasi), yang membiayai naiknya mereka ke tampuk kekuasaan. Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut Aristoteles sebagai oligarkhia, yakni kekuasaan yang dikuasai oleh segelintir orang dengan kedok demokrasi. Dalam konteks Timor Leste, praktek politik oligarkhia, telah berlangsaung lebih dari 20 tahun, tepatnya semenjak Timor Leste merestaurasi kemerdekaannnya pada 20 Mei 2002. 

Ketika kaum politisi dengan gairah yang membara, penuh ambisi mengejar jabatan dengan menghalalkan segala cara, mereka kerap mencari dukungan finansial dari para pengusaha berkantong tebal, bukan semata sebagai dermawan, melainkan sebagai mitra diam alias “perseiru silensiu” dalam kontrak sosial tak tertulis. Dalam transaksi ini, anggaran kampanye menjadi modal politik, dan imbalan politik menjadi balasan investasi. Praktik-praktik plolitik semacam ini mengikis dan meruntuhkan prinsip dasar res publica, yakni hal-hal publik atau kepentingan bersama, dan menjadikan pemerintahan sebagai transaksi antar elit. Demos—rakyat—akhirnya direduksi menjadi penonton setia dalam drama penipuan yang tak berujung.

Catatan ini mengeksplorasi persimpangan antara anggaran, kekuasaan, dan tipuan tersembunyi dalam praktik politik kontemporer, melalui lensa teori politik klasik, filsafat hukum, dan etika demokrasi. Artikel ini berpendapat bahwa negara modern (saya tidak tahu pasti apakah Timor Leste layak disebut sebagai negara moderen), sering kali melayani dua tuan yakni: rakyat yang berdaulat dan elit ekonomi yang rakus. Namun dalam praktiknya, rakyat kian tersubordinasi pada kehendak (pemilik) modal. Mekanisme di mana politisi membayar kembali hutang-hutang mereka kepada plutokrat (patron) bisnis pasca pemilu, sering kali berupa proses pengadaan (proyek-proyek dengan anggaran besar) yang tidak transparan dan penunjukan langsung berbasis patronase, yang merusak supremasi hukum (lex rex). 

Kolusi diam-diam antara penguasa dengan parseiru silensiu (yang membentuk antrian panjang di luar sana yang setiap hari berbondong-bondong datang berbaris mengetuk pintu rumah penguasa untuk segera membayar hutang), bukan merupakan fenomena baru. Tacitus pernah menulis, "corruptissima republica plurimae leges"—semakin korup sebuah republik, semakin banyak undang-undangnya. Saat ini, limpahan ratusan instrumen regulasi lebih sering menutupi daripada mencegah praktik-praktik korupsi. Begitu pengadilan mengedarkan temuan auditor yang mendeteksi terjadinya mega korusi yang melibatkan pemimpin ikonik negeri ini, muncul lah berbagai limpahan regulasi berbasis 3-si (rasionalisasi, proyeksi, dan justifikasi). Ujung-ujungnya institusi berlabel “EP dan IP” harus ditutup berdasarkan limpahan instrumen regulasi produk penguasa. 

Meskipun hukum dirancang untuk konsisten-imparsial dan tidak memihak, namun dalam kenyataannya, kekuasaan selalu menemukan celah yang paling kecil sekalipun untuk membelokkan keadilan melalui tekanan halus dan manuver legalistik. Tirai legalitas sering kali menyembunyikan kehendak telanjang untuk mendominasi. Maka dari itu, artikel ini bertujuan untuk menerangi dialektika antara kekuatan ekonomi dan otoritas politik, dengan maksud membongkar strategi-strategi canggih penipuan politik modern (ala politikus Timor Leste).

Bagian II: Diskusi dan Pembahasan

---------------------------------------

"Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan absolut itu korup secara absolut." — kata Lord Acton. Aforisme ini menangkap pembusukan moral yang terjadi ketika para penguasa merasa tak perlu mempertanggungjawabkan dirinya, diperkuat oleh para patron finansial mereka alias parseiru silensiu. Dalam kondisi seperti ini, rakyat seringkali menjadi korban dari kebijakan yang tidak adil dan keputusan yang merugikan. Mereka terpinggirkan dan kehilangan suara dalam menentukan nasib mereka sendiri. Kekuasaan absolut yang tidak terkendali dapat merusak sistem demokrasi dan menghasilkan ketidakadilan sosial yang mendalam.

Sejarawan Romawi Sallust mengamati, "Avaritia omnia infestat"—keserakahan (kanteen, dalam bahasa Tetun) meracuni segalanya. Sistem pendanaan kampanye modern mewujudkan aforisme ini, menjadikan proses elektoral sebagai lelang pengaruh. Politikus dengan akses terbesar ke sumber daya keuangan milik patron (parseiru silensiu) dapat dengan mudah mempengaruhi keputusan politik dan memanipulasi opini publik. 

Akibatnya, masalah korupsi dan nepotisme menjadi semakin merajalela, mengancam integritas demokrasi dan keadilan. Keserakahan dalam politik juga mengarah pada ketidaksetaraan yang semakin memperburuk kesenjangan sosial. Hal ini menyebabkan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya dan pelayanan publik, merugikan masyarakat yang lebih rentan, dan memperkuat dominasi elit politik.

Saat Hukum Terhenti Tirani Dimulai 

---------------------------------------

John Locke menekankan, "Saat hukum berhenti, tirani dimulai." Ketika proses tender dilewati demi memberi imbalan pada penyumbang politik, kontrak sosial pun hancur dan tirani menjelma dalam bentuk diskresi eksekutif. Tindakan melewati prosedur hukum seperti proses tender yang seharusnya menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan barang dan jasa merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang merusak fondasi demokrasi. Ketika penguasa menggunakan kewenangannya untuk memberi keuntungan pada kelompok tertentu, terutama penyumbang politik, maka prinsip keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum menjadi ilusi semata. Diskresi yang semestinya digunakan untuk keadaan luar biasa, justru menjadi celah legal untuk membungkus praktik korupsi yang sistemik. Dalam jangka panjang, hal ini melemahkan kepercayaan publik terhadap negara dan membuka jalan bagi lahirnya rezim otoriter yang tidak lagi tunduk pada hukum, melainkan pada kepentingan pribadi dan kelompok.

Contoh kasus nyata yang bisa dijadikan sebagai “Case Study”: 

---------------------------------------------------

Kita semua masih ingat dengan baik ketika Perusahaan Sali-Magu dengan gampangnya, tanpa proses tenderisasi terbuka, mendapatkan kucuran dana segar hampir $6 juta dolar US untuk pengadaan odat akibat terjadinya krisis stockout obat di hampir semua senter kehehatan di Timor Leste. Penunjukan langsung Perusahaan Sali-Magu, menyebabkan banyak orang menyerang dan menghujat Menteri Kesehatan, dr. Elia Amaral, yang polos dan lugu tapi cantik. Padahal saya tahu persis, dr. Elia Amaral sama sekali tidak memiliki ikatan emosional dengan Perusahaan Sali-Magu (yang satu kampung denganku, sama-sama dari Atsabe). Jika Anda membuka kembali file-file (video) saat-saat kampanye, kerap kali wajah pemilik Sali-Magu selalu mendampingi Xanana Gusmao. Kalau boleh tambahkan komentar, saya ingin sekali mengatakan, sejatinya dr. Elia Amaral, merasa berada di antara “espada dan parede”. Maju kena, mundur apalgi. Karena Pai Tua selalu ada di mana-mana. 

Contoh kasus nyata lainnya yang sangat bagus untuk dijadikan sebagai referensi mega korupsi di era moderen adalah “State Capture”, kasus terkenal dari negeri Nelson Mandela, Afrika Selatan yang melibatkan keluarga Gupta dan Presiden Jacob Zuma. Dalam kasus tersebut, keluarga Gupta yang dikenal sebagai penyumbang politik besar, secara sistematis mempengaruhi penunjukan pejabat publik dan pengambilan keputusan pemerintah untuk mengamankan kepentingan bisnis mereka, termasuk dalam proses tender besar-besaran di sektor energi dan transportasi. Proses hukum diabaikan, dan diskresi eksekutif disalahgunakan hingga meruntuhkan kepercayaan rakyat terhadap institusi negara. 

State Capture mulai mencuat ke publik sekitar tahun 2016, namun praktik-praktiknya sudah berlangsung sejak awal masa kepresidenan Jacob Zuma yang dimulai pada tahun 2009. Puncaknya terjadi antara 2010 hingga 2018, ketika keluarga Gupta—tiga bersaudara Ajay, Atul, dan Rajesh Gupta—diduga menggunakan kedekatan mereka dengan Presiden Zuma untuk mempengaruhi penunjukan menteri dan mengamankan kontrak pemerintah bernilai miliaran dolar, terutama di sektor energi melalui perusahaan milik negara seperti Eskom dan Transnet. Kasus ini menjadi sorotan luas setelah Public Protector (semacam Ombudsman) merilis laporan berjudul "State of Capture" pada November 2016, yang mendokumentasikan bukti keterlibatan keluarga Gupta dalam urusan pemerintahan. Akibat tekanan publik dan politik, Zuma akhirnya mengundurkan diri pada Februari 2018, dan kasus ini menjadi salah satu contoh paling terkenal dari state capture di era modern.

Inti Masalah Dalam Kasus State Capture

--------------------------------------------------

• Penyalahgunaan diskresi eksekutif: Pejabat publik diangkat berdasarkan kedekatan, bukan kapasitas.

• Tender pemerintah dimanipulasi: Proyek besar diberikan ke perusahaan yang dikendalikan atau terhubung dengan keluarga Gupta.

• Institusi negara dilemahkan: Lembaga seperti Eskom (listrik), Transnet (transportasi), dan bahkan Kantor Pajak dikuasai demi kepentingan pribadi.

• Korupsi sistemik dan melembaga: Menyebabkan kerugian besar terhadap keuangan negara dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap demokrasi.

Akhir dari Kasus State Capture di Afrika Selatan (sementara ini)

-----------------------------------------------

Komisi Penyelidikan State Capture (Zondo Commission) menyelesaikan pekerjaannya pada Juni 2022, setelah lebih dari 4 tahun investigasi dan ribuan halaman laporan.

Kesimpulannya jelas: State capture benar-benar terjadi, dan Gupta bersaudara (Ajay, Atul, Rajesh) disebut sebagai aktor kunci yang merusak institusi negara melalui kolusi dengan Presiden Jacob Zuma.

________________________________________

Apakah Keluarga Gupta dihukum? Belum. Hingga awal 2025 keluarga Gupta belum dihukum secara resmi di pengadilan Afrika Selatan. Namun, proses hukum masih berjalan, dan beberapa langkah penting sudah dilakukan:

1. Penerbitan Red Notice oleh Interpol

• Pada 2018–2019, Interpol menerbitkan Red Notice untuk menangkap para anggota keluarga Gupta.

• Mereka diketahui melarikan diri ke Uni Emirat Arab (UEA).

2. Permintaan ekstradisi ke UEA

• Pemerintah Afrika Selatan mengajukan permohonan ekstradisi ke UEA pada 2022.

• Atul dan Rajesh Gupta sempat ditangkap di Dubai pada pertengahan 2022, tetapi...

3. Permohonan ekstradisi ditolak oleh UEA

• Pada April 2023, UEA menolak ekstradisi Gupta bersaudara ke Afrika Selatan dengan alasan administratif dan teknis dalam dokumen.

• Hal ini memicu ketegangan diplomatik dan kritik publik di Afrika Selatan, karena dianggap sebagai kegagalan penegakan hukum internasional.

_____________________________

Update Terkini (hingga 2025)

------------------------------------------------

Afrika Selatan masih berupaya memperbaiki dokumen dan negosiasi ulang ekstradisi. Keluarga Gupta tetap berada di luar negeri, diduga masih di kawasan Timur Tengah. Tidak ada hukuman pidana formal yang dijatuhkan terhadap mereka hingga kini. Beberapa mantan pejabat pemerintah dan eksekutif BUMN telah didakwa atau diadili sebagai bagian dari reformasi pasca-Zuma.

_____________________________

Kasus State Capture telah membuka mata dunia tentang betapa seriusnya pengaruh oligarki dalam negara demokratis, tetapi juga menunjukkan betapa sulitnya membawa aktor kuat ke pengadilan, terutama jika mereka melarikan diri ke luar negeri. Meski sudah ada putusan moral dan politik, keadilan hukum formal untuk keluarga Gupta masih tertunda.

Tampaknya kasus State Capture mirip (11-12) dengan kasus korupsi yang melibatkan mantan Menteri Keuangan Emilia Pires yang melarikan diri ke Portugal, tetapi dibela mati-matian oleh penguasa negeri 670 (Xanana Gusmao dan Ramos Horta).  

Peringatan Plato Mengenai Apatisme Rakyat 

--------------------------------------------------

“Plato memperingatkan: Harga yang dibayar orang baik karena tidak peduli pada urusan publik adalah diperintah oleh orang jahat.”. Pemilih yang apatis memudahkan elit politik untuk memanipulasi pengadaan demi keuntungan pribadi. Ketika masyarakat memilih untuk bersikap pasif terhadap urusan publik—terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas kebijakan—maka ruang kekuasaan akan diisi oleh penjahat yang tak segan memanfaatkan celah sistem untuk keuntungan diri dan kelompoknya. 

Apatisme publik bukan sekadar ketidakterlibatan; ia adalah bentuk pembiaran yang membuka jalan bagi tumbuh suburnya praktik korupsi yang terselubung namun sistemik, seperti manipulasi dalam proses tender, pengangkatan pejabat berdasarkan loyalitas politik, atau penggelontoran anggaran tanpa kontrol publik. Dalam situasi seperti ini, demokrasi kehilangan substansinya dan berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan kelompok predator.

Contoh nyata dari dampak sikap masa bodoh warga negara terhadap urusan publik terlihat dalam skandal pengadaan darurat Covid-19 di beberapa negara, termasuk di Afrika selatan. Pemerintah saat itu menetapkan sistem pengadaan cepat (emergency procurement) untuk alat kesehatan, namun banyak kontrak diberikan kepada perusahaan milik kerabat atau kolega pejabat yang tidak memiliki kapasitas teknis (Kok sama seperti yang terjdi di negeri 670. Sali-Magu yang tidak memiliki pengetahun mengenai dunia kefarmasian, disuruh beli obat karena politik patronasi. Yang terjadi, bukannya menyelesaikan masalah. Tapi hanya merubah masalah dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain. Dari stockout menjadi overstock). Laporan investigasi menemukan bahwa jutaan dolar hilang dalam pengadaan masker, alat pelindung diri, dan ventilator yang tidak pernah sampai ke rumah sakit. Dalam kasus ini, keengganan publik untuk terlibat aktif dalam pengawasan memberi ruang bagi aktor korup untuk menjarah dana publik dengan dalih krisis. Peringatan Plato pun menjadi relevan: “ketika orang baik memilih diam, maka keputusan-keputusan penting pun diambil oleh penjahat yang tidak mewakili kepentingan bersama.”

Kesejahteraan Rakyat Adalah Hukum Tertinggi

----------------------------------------------------

Ucapan Cicero, “Salus populi suprema lex esto”—kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi—dilanggar saat pemerintahan dikerdilkan menjadi kapitalisme kroni dan klientelisme. Konsep legal positivism runtuh dalam skenario ini, sebab hukum dibuat bukan untuk keadilan, melainkan untuk melegitimasi kepentingan terselubung. Rousseau memperingatkan, “Yang terkuat tidak akan pernah cukup kuat untuk selalu menjadi penguasa, kecuali ia mengubah kekuatannya menjadi hak.” Dalam kondisi di mana kekuasaan digunakan untuk melayani kepentingan sekelompok kecil elite, maka hukum kehilangan rohnya sebagai penjaga keadilan sosial. Hukum yang seharusnya menjadi pelindung kepentingan rakyat justru berubah menjadi instrumen kekuasaan yang menindas. 

Ketika para pembuat kebijakan menjalin simbiosis dengan oligarki ekonomi demi saling menguntungkan, maka suara rakyat bukan lagi pertimbangan utama, melainkan hanya latar dekoratif untuk memberi kesan demokratis pada keputusan yang elitis. Dalam sistem seperti ini, hukum tidak lagi bersifat normatif, melainkan transaksional—dihasilkan, diubah, atau dilumpuhkan berdasarkan kekuatan uang dan kedekatan politik.

Kesejahteraan publik, sebagaimana ditekankan Cicero, menjadi korban pertama dalam sistem klientelistik yang menjadikan jabatan publik sebagai “hadiah politik.” Skema ini merusak tata kelola pemerintahan karena posisi strategis tidak lagi didasarkan pada kompetensi, tetapi pada loyalitas dan kepatuhan terhadap patron. 

Akibatnya, layanan publik terganggu, anggaran tidak tepat sasaran, dan pembangunan hanya menjadi proyek kosmetik yang menguntungkan segelintir orang. Dalam iklim seperti itu, rakyat kehilangan kepercayaan pada institusi hukum dan negara, dan ketidakpuasan itu dapat bermuara pada delegitimasi politik atau bahkan gejolak sosial.

Kasus nyata yang menggambarkan hal ini dapat ditemukan dalam krisis politik dan ekonomi yang pernah melanda Venezuela. Di bawah rezim yang memperkuat klientelisme dan kekuasaan terpusat, berbagai kebijakan dan hukum dirancang untuk mempertahankan kekuasaan segelintir elite, bukan untuk melindungi rakyat. Institusi peradilan dilemahkan, oposisi dibungkam, dan distribusi kebutuhan pokok pun disalurkan melalui jaringan patronase politik. Rakyat menderita kelaparan dan hiperinflasi, sementara aktor politik dan bisnis yang dekat dengan rezim, hidup dalam kemewahan. Dalam skenario seperti ini, ucapan Cicero menjadi seruan yang tak kunjung digubris: “Salus populi suprema lex esto” menjadi jargon kosong ketika hukum dibajak oleh kepentingan kekuasaan.

Untuk itu, perjuangan mempertahankan makna sejati hukum harus terus dilakukan—bukan hanya oleh akademisi, aktivis, atau pembuat kebijakan, tetapi juga oleh warga negara biasa. Ketika hukum tidak lagi mampu menjamin keadilan, maka tugas moral setiap individu adalah mengingatkan kembali bahwa negara dibangun bukan untuk melayani kekuasaan, melainkan untuk menjamin martabat dan kesejahteraan rakyatnya. Cicero, Rousseau, dan para filsuf politik lainnya tidak sekadar memberi kutipan, tetapi warisan pemikiran yang menuntut keberanian untuk bersuara di tengah kekacauan etika kekuasaan.

Kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah kita rela membiarkan hukum menjadi alat para pemodal dan politisi predator? Ataukah kita akan memilih untuk memulihkan kembali fungsi hukum sebagai panglima tertinggi demi keadilan sosial dan kesejahteraan bersama? Jika kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi, maka diam adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita luhur negeri 670. Dan dalam era di mana kebenaran sering dibungkam oleh narasi kekuasaan, suara nurani publik adalah cahaya terakhir yang harus dijaga agar demokrasi tidak terjerumus menjadi tirani yang sah secara hukum, namun batal secara moral.

Sudah saatnya prinsip-prinsip luhur seperti yang digemakan Cicero dan Rousseau dihidupkan kembali dalam praktik pemerintahan dan kehidupan bernegara. Hukum harus dikembalikan pada tujuan aslinya: melayani rakyat, melindungi yang lemah, dan menciptakan tatanan sosial yang adil. Ini tidak akan terwujud tanpa kesadaran kolektif—dari warga negara, akademisi, aktivis, hingga pengambil kebijakan—untuk menolak kooptasi hukum oleh kepentingan sempit dan menyerukan etika politik yang berorientasi pada kesejahteraan umum. Demokrasi bukan sekadar soal prosedur pemilu, tetapi soal siapa yang dilayani oleh hukum dan kekuasaan. Bila rakyat tetap diam, maka hukum akan terus diperalat; tapi jika suara keadilan bersatu, maka hukum bisa kembali menjadi pelita bagi kebenaran dan kesejahteraan bersama. 

Ketika Hukum Ditransformasi Menjadi Sandiwara 

----------------------------------------------------------------------------------

Ada banyak sekali kejadian di negeri 670, di mana hukum ditransformasi menjadi sandiawara politik. Mungkin contoh kasus yang bagus adalah tragedi kecelakaan, di mana seorang remaja puteri berusia 18 tahun, ditabrak seorang pemuda tanpa SIM dengan plat palsu, di wilayah Zebra Croos. Jika ini terjadi di Inggris,ancaman hukumannya adalah seumur hidup. Tapi negeri 670, pengadilan membuat keputusan yang menyulut amarah publik. Sandiwara politik ini didukung oleh sofisme, di mana retorika menggantikan nalar. Seperti keluhan Socrates dalam Gorgias, "Seorang retor tidak perlu tahu kebenaran; ia hanya butuh keterampilan membujuk orang bodoh." Politisi masa kini adalah sofis modern, menyembunyikan hutang mereka dalam bahasa patriotik (mengaku sangat mencintai negeri 670), sembari menguras kas negara atas nama pembangunan. Machiavelli dalam The Prince menyatakan: “Lebih baik ditakuti daripada dicintai, jika tak bisa keduanya.”

Penguasa modern lebih takut pada para penyandang dana ketimbang rakyatnya, dan karena itu mereka memerintah bukan dengan cinta atau keadilan, melainkan dengan kewajiban kepada modal, sambil mengancam rakyat kecil yang tidak berdaya (“Silahkan bawa saya ke pengadilan, biar untuk yang ketiga kalinya saya dihukum, karena saya sudah dihukum 2X”).

Supremasi hukum menjadi lex simulata, hukum yang disimulasikan, di mana regulasi tampak netral tapi bekerja untuk mengarahkan kontrak pada pihak-pihak tertentu. Dalam teori Locke, legitimasi pemerintahan berasal dari persetujuan rakyat. Ketika kontrak diberikan tanpa tender, persetujuan dilangkahi, dan pemerintahan jatuh ke dalam apa yang disebut Hobbes sebagai keadaan alamiah—perang semua melawan semua, kini dalam bentuk ekonomi.

Terobsesi Pada Keuntungan Finansial Dari Pada Kebijaksanaan

-----------------------------------------------------------------------

Aristoteles dalam Politics membedakan antara "oikonomia" (pengelolaan rumah tangga) dan "chrematistics" (seni mengumpulkan kekayaan). Negara yang dulu dipandu oleh oikonomia, kini dijalankan dengan chrematistics, terobsesi pada keuntungan finansial daripada kebijaksanaan. 

Seperti diamati Polybius dalam teori anacyclosis-nya, republik merosot menjadi oligarki saat kekuasaan terkonsentrasi pada orang kaya. Pergeseran ini mencerminkan transformasi nilai dalam tata kelola negara, dari orientasi pada kesejahteraan bersama menuju pengejaran akumulasi kapital oleh segelintir elite. Ketika logika pasar menggantikan prinsip-prinsip etika publik, kebijakan cenderung mengabaikan keadilan sosial dan keseimbangan ekologi. Maka, demokrasi yang seharusnya menjamin partisipasi dan kesetaraan, perlahan dikendalikan oleh mekanisme kekuasaan yang bersandar pada modal, bukan lagi pada suara rakyat.

Kita sedang menyaksikan penurunan siklik seperti itu, di mana demokrasi menjadi gerbang menuju plutokrasi. Negara modern sering menggunakan simulacra—istilah yang dihidupkan kembali oleh Baudrillard—untuk menciptakan ilusi transparansi, sementara kesetiaan sejatinya disembunyikan. Maka dari itu, platform "pemerintahan terbuka" menutupi transaksi tertutup. Telos (tujuan) demokrasi—pemerintahan untuk kebaikan bersama—ditinggalkan demi pragma, kemanfaatan praktis. Menyebut frasa “kemanfaatan praktis” (alias pragma), jujur, saya kaget ketika penguasa, memainkan peran mereka sebagai “preman mabuk”, yang tanpa angin, tanpa badai, tidak ada dialog dengan kalangan akademisi, ujug-ujug mengetok palu yang nyaring bunyinya: “12 jurusan di perguruan tinggi harus ditutup”, hanya demi alasan pragma, yaitu” Oversaturation”. Namun tanpa logos—nalar dan prinsip—dan akhirnya demokrasi membusuk menjadi demagogi.

Bagian III: Kesimpulan dan Saran

------------------------------------------------------

Kesimpulan: 

-------------------

Pertautan antara kekayaan dan kekuasaan bukanlah hal kebetulan ataupun baru; ia adalah fitur struktural dalam politik elektoral modern. Yang baru adalah tingkat kecanggihan dalam praktik penipuannya. Elit politik, yang didukung oleh kepentingan ekonomi, mengeksploitasi institusi demokrasi untuk melayani tujuan oligarkis. Seperti peringatan Plato, demokrasi bisa merosot menjadi tirani jika dibiarkan tanpa pengawasan.

Saran:

------------

Untuk mencegah degenerasi ini, reformasi menjadi keharusan. Pertama, transparansi harus ditegakkan melalui lembaga pengawasan independen. Kedua, pendanaan kampanye harus diaudit secara publik dengan batas kontribusi yang jelas. Ketiga, undang-undang pengadaan harus mensyaratkan tender terbuka untuk semua proyek pemerintah, dengan sistem pelacakan digital guna menjamin akuntabilitas.

Hanya dengan menghidupkan kembali virtus publica—kebajikan publik—dan berpegang pada principia juris—prinsip hukum—republik 670 dapat diselamatkan dari perampasan diam-diam. Rakyat harus merebut kembali perannya, bukan sekadar sebagai pemilih, tetapi sebagai penjaga waspada atas kemerdekaan. TUHAN YESUS memberkati kita semua. Amen. 


Referensi

Acton, J. E. E. D. (1887). Letters of Lord Acton. London: Macmillan.

Aristotle. (350 BCE). Politics. Trans. B. Jowett. Oxford: Clarendon Press.

Baudrillard, J. (1981). Simulacra and Simulation. Paris: Editions Galilée.

Cicero, M. T. (44 BCE). De Officiis. Trans. W. Miller. Loeb Classical Library.

Hobbes, T. (1651). Leviathan. London: Andrew Crooke.

Locke, J. (1689). Two Treatises of Government. London: Awnsham Churchill.

Machiavelli, N. (1532). The Prince. Trans. G. Bull. London: Penguin.

Plato. (380 BCE). The Republic. Trans. B. Jowett. Oxford: Clarendon Press.

Polybius. (150 BCE). Histories. Trans. W.R. Paton. Loeb Classical Library.

Rousseau, J-J. (1762). The Social Contract. Amsterdam: Marc Michel Rey.

Sallust, C. (40 BCE). The Conspiracy of Catiline. Trans. J.C. Rolfe. Loeb Classical Library.

Tacitus, C. (110 CE). Annals. Trans. A.J. Church & W.J. Brodribb.

Socrates (via Plato). (c. 380 BCE). Gorgias. Trans. W. Hamilton. Penguin Classics.

Zondo, R. (2022). State Capture Commission of Inquiry Final Report. Available at: https://www.statecapture.org.za/ [Accessed 10 Apr. 2025].



Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama