Tulisan Aboeprijadi Santoso berjudul "Trio Habibie & Tim-Tim" yang dimuat di indoprogress.com pada 6 September 2016, adalah contoh nyata bagaimana narasi sejarah bisa dibelokkan untuk melayani agenda tertentu. Dengan gaya yang seolah-olah objektif, tulisan ini justru mengaburkan fakta, mengabaikan perspektif penting, dan menggiring opini pembaca untuk melihat Indonesia sebagai "penjajah" yang layak kehilangan Timor Timur. Padahal, di balik narasi yang dibangun, terdapat ketidakadilan sejarah yang dilakukan terhadap mereka yang setia kepada Indonesia: para Integrasionis Timor Timur.
Sejak paragraf pertama, tulisan ini sudah menunjukkan bias yang jelas. Santoso menggambarkan Indonesia sebagai "penjajah" yang menduduki Timor Timur secara paksa. Ini adalah narasi yang sering diulang-ulang oleh aktivis anti Integrasi Timor Timur dan media asing, tetapi tidak mencerminkan kompleksitas sejarah. Faktanya, integrasi Timor Timur ke Indonesia pada 1976 didukung oleh partai-partai politik lokal seperti Apodeti, UDT, dan KOTA,Trabhalista, yang khawatir dengan tindakan sepihak FRETILIN setelah Portugal meninggalkan wilayah tersebut.
Santoso juga menyebut media massa Indonesia di era Orde Baru menggiring opini bahwa Indonesia "kehilangan" provinsi yang "tidak tahu berterima kasih". Namun, dia lupa menyebut bahwa media Barat justru lebih ekstrem dalam menggambarkan Indonesia sebagai agresor dan Timor Timur sebagai korban tanpa konteks. Narasi sepihak ini mengabaikan fakta bahwa banyak rakyat Timor Timur yang memilih bergabung dengan Indonesia secara sukarela, baik karena alasan historis, keamanan, maupun identitas politik.
Mengabaikan Perspektif Pro-Integrasi
Salah satu kelemahan terbesar tulisan ini adalah pengabaian total terhadap perspektif Integrasionis Timor Timur. Mereka adalah bagian penting dari sejarah yang justru diabaikan. Ribuan orang Timor Timur memilih bergabung dengan Indonesia, tetapi suara mereka tidak pernah didengar dalam narasi yang dibangun Santoso. Tidak ada pembahasan tentang bagaimana UNAMET (badan PBB yang melaksanakan dan mengawasi jajak pendapat) condong kepada kubu anti-Indonesia. Santoso juga tidak menyentuh fakta bahwa jajak pendapat 1999 penuh dengan kecacatan struktural. UNAMET Ini adalah ketidakadilan yang tidak boleh dilupakan, tetapi justru diabaikan oleh tulisan ini.
Tulisan ini menggunakan diksi yang provokatif dan framing negatif terhadap Soeharto dan Indonesia. Soeharto disebut sebagai "Gubernur Jenderal" dan "jagal besar", analogi yang tidak hanya keliru tetapi juga menghina. Soeharto bukan penjajah seperti Belanda. Indonesia dan Timor Timur memiliki hubungan historis, geografis, dan kultural yang erat. Banyak masyarakat Timor Timur yang merasa lebih dekat dengan Indonesia daripada Portugal.
Selain itu, tulisan ini mengabaikan kekejaman FRETILIN pada 1975, ketika ribuan rakyat Timor Timur dibantai karena menolak ideologi mereka. Jika Santoso ingin adil, dia seharusnya membahas kedua sisi sejarah, bukan hanya menggambarkan Indonesia sebagai satu-satunya pelaku kekerasan.
Mengaburkan Fakta Seputar Jajak Pendapat 1999
Santoso menyebut jajak pendapat 1999 sebagai momen "pembebasan" Timor Timur dari "kolonialisme" Indonesia. Ini adalah narasi yang menyesatkan. Jajak pendaat 1999 bukanlah referendum , melainkan pemungutan suara yang dikendalikan oleh PBB (UNAMET) dengan bias berat terhadap kubu anti Integrasi. Banyak Integrasionis yg akhirnya keluar dari Timor Leste karena menolak hasil Jajak Pendapat dan segala bentuk proses selanjutnya yg dilakukan PBB atas Timor Timur.
Tulisan ini juga mengabaikan fakta bahwa mereka yang setia kepada Indonesia dipaksa kehilangan hak-hak mereka tanpa kompensasi yang layak. Ini adalah ketidakadilan yang tidak boleh dilupakan, tetapi justru diabaikan oleh Santoso.
Trio Habibie: Kepanikan Politik yang Merugikan Bangsa
Bagian tulisan yang membahas "Trio Habibie" (Ginanjar Kartasasmita, Dewi Fortuna Anwar, dan Adi Sasono) juga patut dikritik. Santoso menggambarkan trio ini sebagai sosok progresif yang membawa perubahan, tetapi dia lupa menyebut bahwa keputusan mereka justru merugikan Indonesia dalam jangka panjang.
Habibie dan timnya mengambil keputusan impulsif untuk menawarkan opsi pemisahan diri Timor Timur tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap integritas nasional. Keputusan ini dibuat secara elitis, tanpa konsultasi dengan rakyat Timor Timur, termasuk kelompok pro-integrasi. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap mereka yang telah berjuang untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia.
Dewi Fortuna Anwar, yang memiliki kedekatan dengan Jose Ramos-Horta, disebut-sebut berperan dalam membuka komunikasi dengan kelompok anti Integrasi. Ini adalah langkah yang tidak nasionalis dan berbahaya bagi keutuhan NKRI. Trio Habibie lebih mengedepankan kepentingan diplomasi elitis daripada realitas di lapangan.
Dampak Jangka Panjang: Preseden Buruk bagi Indonesia
Keputusan Habibie untuk melepaskan Timor Timur menjadi preseden buruk bagi Indonesia. Kasus ini menjadi rujukan bagi kelompok separatis di Papua, Maluku Selatan dan Aceh, yang semakin berani menuntut pemisahan diri. Selain itu, ribuan Integrasionis Timor Timur yang setia kepada Indonesia menjadi korban kebijakan ini. Mereka kehilangan tanah air mereka dan hidup dengan segala keterbatasan di Indonesia, tanpa kompensasi yang layak.
Tulisan Santoso sama sekali tidak menyentuh dampak jangka panjang ini. Dia lebih sibuk menggambarkan Habibie dan timnya sebagai sosok progresif, tanpa mempertimbangkan betapa merugikannya keputusan mereka bagi Indonesia.
Kritik Utama: Narasi Sepihak yang Mengkhianati Sejarah
Tulisan ini adalah contoh nyata bagaimana narasi sejarah bisa dibelokkan untuk melayani agenda tertentu. Santoso mengabaikan perspektif Integrasionis, mengaburkan fakta, dan menggunakan diksi yang provokatif untuk menggiring opini pembaca. Ini bukan tulisan yang objektif, melainkan narasi sepihak yang mengkhianati sejarah.
Sebagai Integrasionis, saya melihat tulisan ini sebagai bagian dari upaya untuk mendiskreditkan Indonesia dan mengabaikan hak-hak mereka yang setia kepada NKRI. Jika kita ingin memahami sejarah secara utuh, kita harus mendengarkan semua suara, bukan hanya narasi yang menguntungkan satu pihak.
Penutup: Pelajaran dari Timor Timur
Kasus Timor Timur harus menjadi pelajaran bagi Indonesia. Kedaulatan nasional tidak boleh dikorbankan demi tekanan asing atau kepentingan politik sesaat. Jika tidak, sejarah bisa saja terulang di tempat lain. Tulisan seperti "Trio Habibie & Tim-Tim" hanya mengingatkan kita betapa pentingnya untuk menjaga integritas nasional dan menghargai mereka yang setia kepada bangsa.
Nasionalisme bukan sekadar slogan, tetapi pengorbanan nyata. Dan pengorbanan para Integrasionis Timor Timur tidak boleh dilupakan. Mereka adalah bagian dari sejarah kita, dan suara mereka harus didengar.