RAKYATKU JENDERALKU


Oleh : Basmeri Integrasionis

Prolog: Sebuah Buku yang Belum Selesai, Namun Sarat Makna

Ada sebuah buku menarik yang sedang ditulis oleh Domingos Soares, sayangnya tidak selesai dikerjakan karena satu dan lain hal. Buku ini berjudul Rakyatku, Jenderalku, sebuah karya yang mengupas secara mendalam tentang konflik di Timor Timur dan memberikan kritik tajam terhadap strategi pemerintah Indonesia dalam upaya mempertahankan wilayah tersebut. Buku ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah refleksi kritis yang memuat pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi institusi TNI dan para pemangku kebijakan.

Dalam salah satu babnya, Domingos Soares membahas tentang Perang Subversif—sebuah konsep perang yang tidak melulu mengandalkan kekuatan senjata, tetapi lebih fokus pada upaya merebut hati dan pikiran rakyat. Bab ini menguraikan bagaimana Indonesia, meskipun unggul secara militer dan telah melakukan pembangunan infrastruktur di Timor Timur, akhirnya kalah bukan karena kelemahan fisik, tetapi karena gagal memenangkan perang narasi, psikologis, dan politik.

Melalui tulisan ini, saya akan mencoba menguraikan pemikiran Domingos Soares dalam bab tersebut. Meskipun bukunya belum selesai, gagasan-gagasannya sudah sangat matang dan relevan untuk dikaji, terutama dalam konteks pembelajaran bagi pemerintah dan TNI dalam menghadapi konflik-konflik serupa di masa depan.

Sebenarnya, ini adalah buku yang sangat baik dan bermanfaat. Sayangnya, karena berbagai hal, karya ini belum terselesaikan. Namun, melalui tulisan ini, saya berharap dapat menyampaikan sebagian dari pemikiran brilian Domingos Soares, yang patut menjadi bahan renungan bagi kita semua.

Selanjutnya, mari kita masuk ke inti pemikiran Domingos Soares dalam Bab X: Perang Subversif – Merebut Hati dan Pikiran Rakyat.

Mengurai Pemikiran Domingos Soares dalam Bab X: Perang Subversif – Merebut Hati dan Pikiran Rakyat

Dalam Bab X bukunya yang berjudul Rakyatku, Jenderalku, Domingos Soares membahas secara mendalam tentang Perang Subversif—sebuah bentuk peperangan yang tidak mengandalkan kekuatan senjata semata, tetapi lebih fokus pada upaya merebut hati dan pikiran rakyat. Bab ini menjadi salah satu bagian paling kritis dalam bukunya, karena mengungkap bagaimana Indonesia, meskipun unggul secara militer dan telah melakukan pembangunan infrastruktur di Timor Timur, akhirnya kalah bukan karena kelemahan fisik, tetapi karena gagal memenangkan perang narasi, psikologis, dan politik.

Domingos Soares memulai pembahasannya dengan menegaskan bahwa perang modern tidak hanya terjadi di medan tempur fisik. Sejarah telah membuktikan bahwa kemenangan sejati dalam konflik seringkali ditentukan oleh sejauh mana sebuah kekuatan mampu memengaruhi kesadaran, emosi, dan loyalitas rakyat. Inilah esensi dari perang subversif—sebuah perang yang menargetkan hati dan pikiran.

Dalam konteks Timor Timur, Domingos menjelaskan bagaimana musuh Indonesia (kelompok separatis dan pendukung kemerdekaan) berhasil memenangkan perang subversif dengan menggunakan tiga strategi utama: aksi psikologis, aksi sosial, dan aksi politik. Berikut adalah uraian pemikiran Domingos Soares mengenai ketiga aspek tersebut:

1. Aksi Psikologis: Menetralkan Propaganda Musuh

Domingos Soares menekankan bahwa dalam perang subversif, serangan pertama yang dilancarkan musuh bukanlah serangan fisik, melainkan serangan terhadap pola pikir dan kesadaran rakyat. Musuh menggunakan propaganda psikologis untuk menanamkan gagasan bahwa Indonesia adalah "penjajah", sementara mereka yang mengangkat senjata adalah "pahlawan pembebasan".

Narasi ini berhasil karena:

Eksploitasi luka lama: Musuh memanfaatkan ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan sebelumnya.

Pemutarbalikan fakta sejarah: Narasi yang dibangun membuat sekutu dianggap sebagai musuh.

Penciptaan dilema internal: Rakyat dibuat ragu terhadap keputusan mereka sendiri.

Domingos mengkritik bahwa Indonesia gagal mengimbangi perang psikologis ini. Alih-alih melakukan kontra-propaganda yang efektif, Indonesia lebih fokus pada aspek militer. Akibatnya, ketika rakyat sudah terlanjur terpengaruh oleh propaganda musuh, mereka sulit untuk kembali percaya.

Solusi yang diajukan: Domingos menyarankan perlunya kampanye informasi yang cerdas, sistematis, dan berbasis fakta sejarah yang tidak dapat dibantah.

2. Aksi Sosial: Merebut Kembali Kepercayaan Rakyat

Setelah propaganda musuh berhasil menciptakan keraguan dan perpecahan dalam masyarakat, langkah selanjutnya adalah menawarkan alternatif sosial yang lebih baik. Domingos menjelaskan bahwa jika rakyat merasa kesejahteraan mereka lebih baik bersama musuh, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk tetap berpihak pada Indonesia.

Dalam kasus Timor Timur, meskipun Indonesia telah membangun infrastruktur, sekolah, rumah sakit, dan meningkatkan taraf hidup rakyat, musuh berhasil menciptakan ilusi bahwa Indonesia tidak peduli terhadap kesejahteraan mereka.

Mengapa ilusi ini berhasil?

Komunikasi yang buruk: Indonesia tidak cukup mengedepankan dialog dengan masyarakat.

Media internasional yang berpihak: Sorotan negatif terhadap integrasi Timor Timur mendominasi pemberitaan.

Kebijakan militer yang kurang sensitif: Beberapa tindakan justru memperkuat stigma negatif yang dibuat oleh musuh.

Solusi yang diajukan:

Pendekatan kemanusiaan: Pembangunan harus membangun rasa kebersamaan, bukan hanya gedung.

Komunikasi intensif: Setiap kebijakan harus melibatkan rakyat agar tidak muncul kesan pemaksaan.

Mengakhiri kekerasan: Kekerasan hanya memperkuat propaganda musuh.

3. Aksi Politik: Meneguhkan Legitimasi dan Identitas Nasional

Domingos Soares menegaskan bahwa aksi politik adalah tahap tertinggi dari perang subversif. Di sini, kekuatan utama bukan lagi senjata atau pembangunan, tetapi narasi besar yang menentukan legitimasi sebuah pemerintahan.

Dalam kasus Timor Timur, Indonesia kalah di meja politik, bukan di medan perang. Meskipun secara militer dan pembangunan Indonesia jauh lebih unggul, kekalahan di forum internasional menyebabkan hilangnya dukungan dunia terhadap posisi Indonesia.

Apa yang menyebabkan kekalahan politik ini?

Diplomasi yang lemah: Indonesia gagal menghadapi propaganda musuh di tingkat global.

Isu hak asasi manusia: Musuh berhasil membawa isu ini ke dunia internasional, sementara Indonesia gagal membalikkan narasi.

Hilangnya prinsip Pancasila: Kebijakan luar negeri Indonesia tidak konsisten dan mudah dipengaruhi tekanan asing.

Solusi yang diajukan:

Konsolidasi politik: Membangun basis politik yang kuat dengan masyarakat pro-integrasi.

Diplomasi berbasis Pancasila: Menjadikan Pancasila sebagai alat utama dalam kebijakan luar negeri.

Kesimpulan Pemikiran Domingos Soares

Domingos Soares menyimpulkan bahwa perang subversif adalah perang yang menargetkan hati dan pikiran rakyat. Dalam kasus Timor Timur, Indonesia tidak kalah karena kurang kuat, tetapi karena kurang cerdik dalam menghadapi strategi musuh.

Untuk menghadapi perang semacam ini, tiga hal harus dikuasai secara bersamaan:

Aksi psikologis: Melawan propaganda dan membangun kembali kesadaran rakyat.

Aksi sosial: Memastikan rakyat merasakan manfaat dari pemerintahan yang sah.

Aksi politik: Meneguhkan legitimasi dan identitas nasional di mata dunia.

Jika ketiga aspek ini dapat dijalankan dengan baik, perang subversif bisa dimenangkan tanpa harus mengorbankan terlalu banyak nyawa. Karena pada akhirnya, perang terbesar bukanlah perang fisik, melainkan perang untuk merebut kepercayaan rakyat.

Pemikiran Domingos Soares dalam Bab X ini tidak hanya relevan untuk konteks Timor Timur, tetapi juga menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia dalam menghadapi tantangan serupa di masa depan.



Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama