Membongkar Fitnah Farhan Sale dan Ramos Horta terhadap Arnaldo dos Reis Araujo


 Oleh : Basmeri Integrasionis

Tuduhan yang dilontarkan oleh Farhan Sale terhadap Arnaldo dos Reis Araujo, kakek saya, bahwa beliau bertanggung jawab atas pembantaian 50.000 rakyat Timor Timur, adalah sebuah kebohongan besar yang tidak memiliki dasar faktual. Tuduhan ini tidak hanya merusak reputasi seorang tokoh sejarah, tetapi juga merupakan bagian dari propaganda politik yang sengaja dirancang untuk mendiskreditkan gerakan pro-Integrasi. Berikut adalah pembelaan yang berlandaskan fakta, logika, dan keberanian untuk meluruskan sejarah yang diputarbalikkan.

Farhan Sale, dalam tuduhannya, gagal menyajikan satu pun bukti konkret yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah atau hukum. Tidak ada dokumen resmi, laporan forensik, atau kesaksian kredibel yang mendukung klaimnya. Bahkan, rakyat Timor Timur sendiri tidak pernah mengajukan tuntutan resmi terkait tuduhan ini. Ini menunjukkan bahwa tuduhan tersebut hanyalah bagian dari narasi politik yang dibangun untuk menciptakan kebencian dan memutarbalikkan fakta sejarah.

Saat menjadi tahanan FRETILIN di Aileu, Arnaldo dos Reis Araujo mengalami penyiksaan brutal yang tidak manusiawi oleh algojo FRETILIN, Lucas da Costa. Di Sungai Aisirimo, ia dimasukkan ke dalam karung, lalu tubuhnya ditendang berulang kali hingga penuh luka dan berlumuran darah.

Saat menjabat sebagai Gubernur Timor Timur, Arnaldo dos Reis Araujo memiliki kesempatan penuh untuk membalas dendam kepada para algojo FRETILIN yang telah menyiksa dan membunuh keluarganya. Namun, ia memilih jalan yang berbeda. Beliau tidak menggunakan kekuasaannya untuk melakukan pembalasan, tetapi justru menunjukkan sikap yang berlawanan dengan propaganda yang menuduhnya kejam.

Salah satu bukti nyata adalah pengampunan yang ia berikan kepada Lucas da Costa,yang secara langsung terlibat dalam penyiksaan terhadap dirinya dan keluarganya. Alih-alih menghukum atau menyingkirkannya, Arnaldo justru memberikan kesempatan kepada Lucas untuk melanjutkan pendidikan hingga meraih gelar sarjana di Surabaya. Bahkan, setelah Timor Leste berdiri, Lucas da Costa mendirikan Universidade da Paz (UNPAZ), sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi jika Arnaldo adalah sosok yang kejam seperti yang dituduhkan.

Mari kita bandingkan dengan sikap Xanana Gusmão terhadap rekan seperjuangannya sendiri, Paulinho ‘Makmuruk’ Gama, seorang mantan pejuang FALINTIL. Mari Alkatiri dapat menjelaskan bagaimana Xanana memperlakukan Makmoruk—bukan sebagai kawan seperjuangan, melainkan sebagai musuh yang harus dilenyapkan. Dalam peristiwa tragis yang dikenang oleh banyak orang, bahkan setelah Makmuruk tewas ditembak, jenazahnya masih dihujani rentetan peluru hingga tubuhnya hancur bagai daging cincang. Jika kepada sesama pejuang saja Xanana melakukan hal seperti ini, dapatkah dipercaya bahwa Xanana berbelas kasih selama di hutan terhadap mereka yang dikategorikan sebagai musuh?

Sejarah sudah mencatat kesaksian Monis Maia, yang mengungkapkan bagaimana Xanana mengeksekusi Sekjen Apodeti, Jose Fernando Osorio Soares, dan paman saya, Casimiro Assunção. Keduanya tewas di tangan Xanana, dan hingga hari ini, nasib jenazah Casimiro masih menjadi misteri. Policarpo, seorang tokoh yang terlibat langsung dalam perjuangan, pernah menanyai José Ramos Horta secara langsung: "Di mana jenazah Casimiro Kakaknya ?" Namun, Horta tidak pernah memberikan jawaban yang jelas. Pertanyaan ini masih menggantung, tanpa kejelasan, dan menjadi bukti nyata bagaimana kekejaman dan ketidakmanusiawian terjadi di pihak yang sering kali mengklaim diri sebagai "pembela rakyat."

Jika Xanana Gusmão, yang dianggap sebagai pahlawan oleh banyak pihak, mampu melakukan kekejaman seperti ini terhadap sesama pejuang, apalagi terhadap mereka yang dianggap sebagai musuh? Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur oleh para pendukungnya. Sejarah tidak boleh ditutup-tutupi, dan kebenaran harus diungkapkan, betapapun pahitnya. Jika Xanana dan Ramos-Horta ingin dianggap sebagai tokoh yang berintegritas, mereka harus mempertanggungjawabkan tindakan mereka, termasuk di mana jenazah Casimiro Assunção Araujo dan pejuang Apodeti lainnya.

Kebenaran sejarah tidak boleh dikubur bersama korban-korban yang tak pernah ditemukan. Mereka yang mengklaim diri sebagai pejuang keadilan harus berani membuka lembaran gelap ini, bukan justru menyembunyikannya.

Perbedaan ini sangat jelas: Arnaldo dos Reis Araujo, yang dituduh sebagai pembantai, justru memilih rekonsiliasi, sementara Xanana Gusmão, yang dielu-elukan sebagai "pemimpin pejuang," justru menunjukkan tindakan yang jauh lebih kejam. Kejadian ini hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang benar-benar memiliki rekam jejak sebagai seorang pembunuh kejam yang tidak berperikemanusiaan.

Arnaldo sendiri adalah korban kekejaman FRETILIN. Beliau ditangkap, disiksa, dan kehilangan putranya akibat kebrutalan kelompok tersebut. Namun, setelah integrasi, Arnaldo tidak pernah melakukan pembalasan terhadap anggota FRETILIN yang menyerah atau tertangkap. Jika tuduhan Farhan Sale benar, mengapa Arnaldo tidak menggunakan kekuasaannya untuk membalas penderitaan yang dialaminya? Fakta ini membantah klaim bahwa Arnaldo adalah seorang pembantai.

Jika benar terjadi pembantaian 50.000 orang di Ainaro, seharusnya masyarakat setempat bisa menjadi saksi utama. Namun, hingga saat ini, tidak ada satu pun kesaksian dari warga Ainaro yang mengonfirmasi tuduhan tersebut. Bahkan, tokoh-tokoh seperti Abílio Araújo, mantan presiden FRETILIN, masih hidup dan dapat dimintai keterangan. Kenapa mereka tidak pernah mengungkapkan "pembantaian" ini jika memang terjadi?

Propaganda Ramos-Horta: Manipulasi Fakta untuk Kepentingan Politik

Tuduhan ini awalnya digaungkan oleh José Ramos-Horta, seorang tokoh yang dikenal gemar memanipulasi informasi untuk kepentingan politiknya. Contoh nyata adalah ketika Horta menuduh wartawan Metro TV sebagai bagian dari konspirasi setelah kematian Alfredo Reinado. Horta bahkan salah menyebut nama Desi Anwar, padahal wartawan yang dimaksud adalah orang lain. Pola yang sama digunakan dalam tuduhan terhadap Arnaldo dos Reis Araujo: klaim tanpa bukti, hanya mengandalkan retorika dan emosi.

Tuduhan ini muncul dalam buku "Funu"karya Ramos Horta , yang penuh dengan propaganda dan pembunuhan karakter terhadap Arnaldo. Saya secara pribadi di tahun 2005 telah menyampaikan kritik atas isi buku ini kepada Ramos-Horta melalui George Junus Adijondro, sahabat Horta juga, yg oleh Horta langsung dibalas melalu SMS bahwa itu semua adalah harus bagi kepentingan perjuangannya Ini menunjukkan bahwa tuduhan tersebut hanyalah bagian dari upaya sistematis untuk mendemonisasi tokoh pro-Integrasi.

Tantangan kepada Farhan Sale: Buktikan di Mahkamah Internasional!

Kepada Farhan Sale, jika Anda benar-benar yakin dengan tuduhan Anda, saya tantang Anda untuk membuktikannya di Mahkamah Internasional. Kami siap membawa kasus kejahatan perang FRETILIN tahun 1975-1976 dengan saksi-saksi yang masih hidup dan keluarga korban yang bisa memberikan kesaksian. Jika Anda tidak memiliki bukti, maka tuduhan Anda hanyalah fitnah yang bertujuan untuk memutarbalikkan sejarah.

Tuduhan yang dilontarkan oleh Farhan Sale dan José Ramos-Horta terkait keterlibatan Arnaldo dos Reis Araujo dalam pembantaian 50.000 rakyat Timor Timur sering kali dikaitkan dengan kelompok yang disebut Brigade Negra. Menurut klaim mereka, kelompok ini beroperasi di Ainaro dan wilayah Timor Timur lainnya. Namun, fakta sejarah justru membantah tuduhan ini. Pada masa Perang Dunia II, Arnaldo dos Reis Araujo berada di Oecusse (Ambeno), jauh dari wilayah operasi Brigade Negra. Jika tuduhan ini benar, maka Farhan Sale dan Ramos-Horta harus membuktikan bahwa Brigade Negra pernah beroperasi di Ambeno—sebuah klaim yang jelas bertentangan dengan catatan sejarah yang ada.

Jika benar terjadi pembantaian 50.000 orang, pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah: di mana kuburan massalnya? dan kapan peristiwa ini terjadi? Setelah 25 tahun eksistensi Timor Leste, seharusnya sudah ada bukti fisik atau saksi mata yang bisa mengonfirmasi klaim ini. Namun, hingga saat ini, tidak ada satu pun lokasi kuburan massal yang ditemukan, tidak ada tulang-belulang dalam jumlah besar, dan tidak ada kesaksian kredibel yang bisa mendukung tuduhan tersebut. Ini menunjukkan bahwa klaim ini hanyalah narasi kosong yang sengaja dibangun untuk menciptakan kebencian dan memutarbalikkan sejarah.

Mirip dengan Tuduhan 200.000 Korban oleh TNI

Tuduhan pembantaian 50.000 orang ini tidak berdiri sendiri. Klaim ini sejalan dengan narasi lain yang mengatakan bahwa TNI membantai 200.000 orang di Timor Timur. Namun, sama seperti tuduhan terhadap Arnaldo, klaim ini juga tidak pernah dibuktikan dengan bukti fisik atau dokumen resmi. Tidak ada kuburan massal yang ditemukan, tidak ada laporan forensik, dan tidak ada saksi mata yang bisa mengonfirmasi angka sebesar itu. Semua hanya klaim bombastis yang terus diulang tanpa dasar faktual.

Kesimpulan: Propaganda Tanpa Bukti

Tuduhan ini tidak lebih dari propaganda politik yang dirancang untuk menciptakan kebencian terhadap para tokoh pro-Integrasi. Selama 25 tahun, mereka yang melontarkan klaim ini gagal membuktikannya dengan bukti yang sahih. Sejarah tidak boleh ditulis berdasarkan fiksi politik atau narasi yang dipaksakan. Sejarah harus berbasis pada fakta, bukti, dan kejujuran.

Kepada Farhan Sale dan Ramos-Horta, sekali lagi saya tantang anda berdua jika Anda yakin dengan tuduhan Anda, saya tantang untuk membuktikannya di Mahkamah Internasional. Jika anda berdua tidak bisa membuktikan klaim anda, maka anda berdua harus mempertanggungjawabkan fitnah yang anda lontarkan. Sejarah tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan politik sesaat. Jika Anda yakin, buktikan! Jika tidak, diamlah dan hormati kebenaran sejarah.


Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama