Domingos Policarpo: Suara yang Membungkam Propaganda Ramos Horta


Oleh : Basmeri Integrasionis

Ramos Horta, sang propagandis FRETILIN, adalah master dalam seni memanipulasi narasi. Dengan pidato-pidato yang penuh retorika, ia berhasil mencuri simpati dunia internasional, bahkan meraih Nobel Perdamaian bersama Uskup Belo—yang belakangan ternoda oleh skandal pedofilia. Horta menggambarkan Indonesia sebagai penjajah kejam, sambil menutupi kekejaman FRETILIN terhadap rakyat Timor Timur sendiri. Namun, dalam satu momen yang tak terlupakan, Horta dibuat tak berkutik oleh seorang pria bernama Domingos Policarpo.

Sosok Domingos Policarpo: Saksi Sejarah yang Terlupakan

Domingos Policarpo adalah salah satu penandatangan Manifesto Apodeti, partai yang memperjuangkan integrasi dengan Indonesia. Ayahnya, Arnaldo dos Reis Araujo, adalah pendiri Apodeti, Bersama Jose Fernando Osrio Soares dan pejuang lainnya. Namun, ketika konflik perang saudara memanas pada 1975, Pada bulan Oktober 1975, Policarpo kebetulan berada di Kupang atas arahan Arnaldo, yang menugaskannya untuk urusan tertentu di tengah situasi yang berkembang di Timor Timur.

Di Kupang, Policarpo tinggal di rumah seorang raja Timor, yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarganya. Ibu Policarpo berasal dari Oecusse, keturunan langsung dari salah satu Raja Rote yang bermarga Corbafo. Keluarga ini memiliki ikatan kuat dengan Timor Barat, dan tidak heran jika cita-cita integrasi lahir dari rahim keluarga ini. Bahkan, lagu daerah Rote, Mai Fali E, yang menjadi mars Apodeti, ironisnya menjadi lagu kesayangan Presiden FRETILIN, Mari Alkatiri. Sungguh ironi, lagu yang melambangkan perjuangan integrasi justru dinyanyikan oleh kelompok yang menentangnya.

Kekejaman FRETILIN: Pembantaian yang Ditutupi

Ketika FRETILIN mengambil alih kekuasaan di Timor Timur, mereka tidak hanya menyingkirkan lawan politik, tetapi juga melakukan pembantaian massal. Arnaldo dos Reis Araujo, ayah Policarpo, bersama para pemimpin Apodeti seperti Jose Fernando Osorio Soares, dan Hermenegildo Martins ditangkap dan dipenjara. Beruntung, Arnaldo berhasil lolos setelah ABRI mendarat pada 7 Desember 1975. Namun, nasib kakak Policarpo, Casimiro, tetap menjadi misteri. Belakangan diketahui, Casimiro dan banyak anggota Apodeti menjadi korban pembantaian FRETILIN di Aileu.

Policarpo, yang saat itu sudah berada di Kupang, menyaksikan kekejaman FRETILIN dari jauh. Ia tahu, perjuangan integrasi bukan sekadar soal politik, tetapi juga soal harga diri dan kehormatan. Meskipun FRETILIN mencoba menghapus jejak mereka, Policarpo tidak pernah melupakan pengorbanan ayah dan kakaknya.

Policarpo vs Ramos Horta

Setelah menyelesaikan studinya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Policarpo kembali ke Timor Timur dan aktif dalam perjuangan mempertahankan integrasi. Pada tahun 1997, ia bersama Fransisco Fernades dan Dino Pati Djalal menghadapi propaganda Ramos Horta di luar negeri. Saat itu, Horta sedang berada di puncak popularitasnya sebagai pemenang Nobel Perdamaian. Namun, dalam sebuah seminar di Harvard, Horta dibuat tak berkutik oleh pertanyaan sederhana namun mematikan dari Policarpo.

Di tengah riuh tepuk tangan untuk Horta, Policarpo berdiri dan memperkenalkan dirinya sebagai orang Timor Timur. Dengan suara tenang namun penuh emosi, ia bertanya: "Anda adalah seorang tokoh perdamaian dan anti-kekerasan yang diakui dunia. Saya hanya ingin menanyakan satu hal: pada tanggal 4 Oktober 1975, Anda dan FRETILIN menjemput kakak saya, Zeca Araujo, Casimiro, ayah saya, dan tokoh Apodeti lainnya untuk rapat. Hingga saat ini, kakak saya belum pulang. Kabarnya, ia dieksekusi dan dibantai oleh Anda dan gerombolan Anda. Tolong beritahu saya, di mana ia berada? Jika ia sudah ditembak, di mana jasadnya?"

Suasana ruangan yang tadinya hening tiba-tiba gempar. Horta, yang biasanya lancar berbicara, terdiam seribu bahasa. Wajahnya pucat, dan panitia seminar terpaksa menghentikan acara. Momen itu menjadi pukulan telak bagi citra Horta sebagai "pejuang kemanusiaan". Kabar tentang kejadian itu bahkan sampai ke Jakarta, dan Duta Besar Inggris, Fany Habibie, langsung menelepon untuk mengucapkan selamat kepada Policarpo.

Perjuangan yang Tak Pernah Berhenti

Setelah momen itu, Policarpo terus mengikuti setiap kampanye Horta. Setiap kali Horta mencoba membahas isu Timor Timur, Policarpo selalu hadir dengan pertanyaan yang sama. Akhirnya, Horta memilih untuk menghindari topik Timor Timur dan beralih ke isu-isu perdamaian global. Ia tahu, Policarpo adalah musuh yang tidak bisa ia kalahkan.

Pada tahun 1999, Policarpo bersama tokoh-tokoh Integrasionis lainnya bapak Domingos Soares, Meno Hornay, Antonio Castro, Basilio Araujo, Florencio Mario Vieira mendirikan Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan (FPDK) untuk mempromosikan otonomi khusus bagi Timor Timur. Namun, keputusan Presiden Habibie untuk mengadakan jajak pendapat menggagalkan upaya mereka. Meskipun kalah, perjuangan mereka tidak berhenti. Mereka mendirikan UNTAS di Kupang pada tahun 2000, melanjutkan perjuangan untuk keadilan dan integrasi.

Suara yang Tak Bisa Dibungkam

Domingos Policarpo adalah bukti bahwa kebenaran tidak bisa dibungkam oleh propaganda. Meskipun Ramos Horta berhasil menipu dunia dengan narasinya, ia tidak bisa menghindari pertanyaan sederhana dari seorang pria yang hanya ingin tahu di mana kakaknya berada. Policarpo bukan hanya membungkam Horta, tetapi juga mengingatkan kita bahwa sejarah tidak boleh ditulis oleh satu pihak saja.

Perjuangan Policarpo dan para Integrasionis adalah pengingat bagi kita semua bahwa keadilan harus ditegakkan, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan. Mereka yang setia kepada Indonesia tidak boleh dilupakan, dan suara mereka harus didengar. Karena, seperti kata Policarpo, "Saya tidak peduli apakah dunia menganggap Anda pahlawan atau dewa perdamaian sekalipun, saya hanya ingin tahu di mana jenazah kakak saya Casimiro berada."

Ini bukan sekadar soal politik. Ini adalah soal kehormatan, harga diri, dan keadilan. Dan keadilan itu harus ditegakkan, tidak peduli berapa pun harganya.

Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama