XANANA BUKAN SATU-SATUNYA SUMBER MASALAH: Analisis Terhadap Krisis Negara RDTL


 
Oleh: Rama Cristo, S-33.


Abstrak

INTRODUKSI: Timor-Leste menghadapi krisis berat, khususnya masalah kesehatan, pendidikan, korupsi, perumahan dan ketidakberfungsian sistem yang merupakan pilar-pilar demokrasi, terutama negara dengan sistim semi presidensial. Meskipun Xanana Gusmão sering disorot sebagai sumber utama masalah, namun dinamika negara yang lebih kompleks juga berperan penting.

TUJUAN: Artikel ini bertujuan menganalisis akar penyebab masalah di Timor-Leste dan menilai peran pemerintah serta kekuatan politik lainnya dalam memperburuk situasi.

METODE: Analisis kualitatif dilakukan dengan pendekatan analitik terhadap struktur politik, ekonomi, dan sosial negara, serta peran individu dan institusi dalam proses pengambilan keputusan.

DISKUSI: Sistem semi-presidensial di Timor-Leste tidak berjalan dengan baik, dengan lemahnya peran presiden, parlemen, serta organisasi masyarakat sipil dan akademisi. Hal ini membuka ruang bagi dominasi seorang individu seperti Xanana Gusmão. Selain itu, kebijakan kontroversial seperti penggusuran paksa menunjukkan konsolidasi kekuasaan yang berlebihan.

HASIL: Sumber rmasalah sebenarnya bukan hanya terletak pada seorang Xanana Gusmão, namun pilar-pilar negara demokrasi yang tidak efektif memberi ruang bagi konsentrasi kekuasaan yang berbahaya bagi demokrasi.

REKOMENDASI: Diperlukan penguatan institusi negara, law enforcement, pemberantasan korupsi, dan pemberdayaan masyarakat sipil untuk memperbaiki kondisi Timor-Leste.

Kata Kunci: Timor-Leste, Xanana Gusmão, sistem semi-presidensial, krisis, penggusuran paksa, korupsi, demokrasi.


A. Pendahuluan: Latar Belakang

===========================

Timor Leste, negara kecil yang merdeka pada tahun 2002, kini berada dalam krisis berat yang mencemaskan. Setelah bertahun-tahun berjuang untuk meraih kemerdekaan, harapan besar menyelimuti Timor Leste untuk membangun negara yang demokratis, makmur, dan berkeadilan. 

Namun, seiring berjalannya waktu, harapan tersebut semakin memudar. Berbagai indikator menunjukkan ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik negara ini. 

Sebagai contoh, pelayanan kesehatan nasional yang lumpuh dengan angka kematian yang sudah melampaui standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Meminjam bahasanya Maun ATM (Antonio Aitahan Matak), kematian di Rumah Sakit Nasional Guido Valadares itu, sehari mencapai ratusan. 

Belum lagi masalah lainnya, seperti; ribuan guru yang menganggur meskipun pendidikan merupakan hak dasar, serta maraknya praktik korupsi yang merajalela, dan penggusuran paksa kaum marjinal yang terus berlangsung setahun belakangan. Belum lagi, penegakan hukum yang hampir tidak ada artinya, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi dan keadilan, justru terkendala oleh berbagai masalah struktural dan politik.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apa yang menyebabkan negara yang sebenarnya memiliki potensi besar ini mengalami kemunduran yang begitu signifikan? Di tengah segala kegagalan negara ini dalam melaksanakan fungsi-fungsi dasarnya, nama Xanana Gusmao—Perdana Menteri yang juga merupakan salah satu tokoh kunci dalam perjuangan kemerdekaan Timor Leste—seringkali disebut sebagai penyebab utama. Namun, apakah benar bahwa Xanana adalah satu-satunya sumber masalah? Atau, apakah ada faktor-faktor lain yang lebih mendalam yang menyebabkan kegagalan sistemik ini terjadi?

Artikel ini akan mengupas analisis terhadap situasi politik Timor Leste dengan mempertanyakan struktur dan dinamika kekuasaan yang ada. Fokus utama tulisan ini adalah untuk mencoba memunculkan satu perspektif yang berbeda yaitu menunjukkan bahwa bukan Xanana yang terlalu kuat, melainkan sistem-sistem negara yang seharusnya menjadi penyeimbang dalam negara semi-presidensial ini tidak berfungsi dengan baik. Dalam analisis ini, kita akan membahas beberapa faktor yang berperan besar dalam krisis negara ini, serta bagaimana ketidakseimbangan kekuasaan memperburuk keadaan.


B. Pembahasan

==============

B.1. Sistem Politik yang Tidak Berfungsi dengan Baik

===================================

Timor Leste menganut sistem semi-presidensial yang seharusnya memberikan keseimbangan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam sistem ini, presiden sebagai kepala negara memiliki peran simbolis dan kewenangan dalam kebijakan luar negeri, sementara perdana menteri yang memimpin pemerintah memiliki kekuasaan lebih besar dalam urusan domestik dan kebijakan pemerintahan sehari-hari. Namun, kenyataannya, sistem ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Presiden José Ramos-Horta, yang diharapkan bisa memainkan peran pengawas dan penyeimbang, telah terkesan "dikebiri" oleh keadaan politik yang ada. Seiring dengan dominasi Xanana Gusmao di pemerintahan, peran presiden seakan menjadi sekadar formalitas tanpa daya tawar. Ini terlihat dari minimnya kebijakan atau tindakan yang diambil oleh presiden untuk menanggulangi masalah-masalah besar yang melanda negara, seperti masalah kesehatan, pendidikan, korupsi dan penggusuran paksa tanpa kompensasi yang memadai, tanpa satu perencanaan yang terorganisir dengan baik.

Parlemen Nasional, yang seharusnya menjadi lembaga pengawas dan pengkritik pemerintah, juga terkesan tidak berdaya. Walaupun banyak anggota parlemen dari partai oposisi yang aktif mengeluarkan kritik terhadap pemerintah, namun kritik tersebut tidak diikuti dengan tindakan nyata yang dapat mengubah keadaan. Parlamen nasional dengan jumlah kursi yang didominasi oleh AMP (Aliansi Maioria Parlamentar/CNRT dan PD) yang sedang berkuasa, tampak tidak berdaya menghadapi sepak terjang seorang Xanana Gusmão. Sebagai akibatnya, sistem checks and balances yang seharusnya ada dalam sebuah negara demokratis gagal berfungsi, meninggalkan ruang yang besar bagi satu individu untuk mengkonsolidasikan kekuasaan secara mutlak dan dengan bebas untuk terus “show off”.


B.2. Kehilangan Fungsi Institusi-Institusi Negara

========================================

Pentingnya peran lembaga-lembaga negara seperti akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan gerakan mahasiswa dalam sebuah negara demokratis sangat jelas. Namun, di Timor Leste, hampir semua sektor ini terkesan lumpuh dan tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan dan perubahan. Akademisi, misalnya, lebih terfokus pada kepentingan pribadi daripada berperan aktif dalam upaya memperbaiki kebijakan negara. Organisasi masyarakat sipil yang seharusnya mengadvokasi hak-hak rakyat juga tidak tampak cukup berdaya untuk mendorong perubahan signifikan.

Gerakan mahasiswa, seperti yang pernah terjadi di negara tetangga Indonesia 1998, pada masa rezim Soeharto di Indonesia yang memiliki peran vital dalam menggulingkan pemerintahan otoriter, tidak ada di Timor Leste. Atau gerakan "people power" seperti yang pernah terjadi pada tahun 1986 di Filipina untuk menggulingkan diktator Ferdinand Marcos, tidak terlihat di Timor Leste. Atau yang sangat monumental adalah demo raksasa 4 Juni 1989 di lapangan Tianamen China, yang diorganisir puluhan ribu mahasiswa.  

Mahasiswa, seakan terpecah belah dan tidak memiliki arah yang jelas dalam memperjuangkan keadilan sosial dan demokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran politik masyarakat Timor Leste masih lemah, atau mungkin sedang teralihkan oleh pragmatisme politik yang lebih bersifat kelompok dan individu.

Kalangan akademisi banyak yang terlibat di dalam Kabinet IX pimpinan Xanana Gusmao. Dan tampaknya, kaum akademisi telah kehilangan visi. Mereka, setali tiga uang dengan fihak Gereja Katolik, lebih memilih bermain di zona nyaman, amankan ketebalan saku. 

Selain itu, oposisi politik yang seharusnya mengimbangi pemerintah tidak mampu berfungsi dengan baik dalam meredam kebijakan pemerintah yang bisa merugikan rakyat. Oposisi tidak memiliki strategi yang jelas untuk melawan dominasi Xanana Gusmao yang seakan tidak tersentuh oleh kritik. 

Gereja Katolik, yang merupakan institusi penting dalam masyarakat Timor Leste, juga terkesan lebih memilih bermain di zona nyaman dan tidak terlibat secara aktif dalam perbaikan situasi politik negara. Gereja Katolik tidak menunjukan giginya seperti jaman pendudukan Indonesia. Atau minimal menunjukkan tajiya seperti saat memobilisasi massa untuk menggulingkan Perdana Menteri Mari Alkatiri tahun 2006. Mungkin karena Xanana bukan Mari Alkatiri, yang secara etnis dan agama, tidak berakar kuat di Timor Leste meskipun secara individu, ikut memainkan peran signifikan dengan ikut mendirikan ASDT 1974 yang di kemudian hari bertransformasi menjadi FRETILIN. Tampaknya Gereja Katolik lebih memilih bermain di zona nyaman. Padahal seharusnya kolapsnya sistim pelayanan kesehatan nasional dengan ukuran angka mortalitas (kematian) massif di Rumah Sakit Nasional Guido Valadares yang melampaui standar (padraun) WHO dan atau penggusuran paksa kaum marjinal yang massif tanpa perencanaan yang terintegrasi, tanpa kompensasi yang memadai, seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menyentuh hati nurani Gereja Katolik guna mengambil sikap.  


B.3. Penggusuran Paksa: Menunjukkan Kediktatoran

=================================

Salah satu kebijakan paling kontroversial yang dilaksanakan oleh pemerintah Xanana Gusmao adalah penggusuran paksa terhadap kelompok marjinal di Kota Dili selama setahun belakangan dan masih terus berlangsung massif hingga artikel ini saya tulis. Kebijakan penggusuran paksa ini, telah menimbulkan perdebatan keras di kalangan masyarakat dan aktivis hak asasi manusia. Masyarakat yang digusur, sebagian besar berasal dari kalangan miskin dan rentan, kehilangan tempat tinggal mereka tanpa pemberian ganti rugi yang memadai atau solusi alternatif yang layak. Banyak yang terpaksa hidup di kondisi yang lebih buruk setelah penggusuran tersebut.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa kebijakan penggusuran paksa ini dilaksanakan tanpa adanya pengawasan atau perlawanan yang signifikan dari lembaga-lembaga lain yang seharusnya menjadi penyeimbang, seperti presiden republik, parlemen nasional, organisasi masyarakat sipil, kalangan akademisi terutama mahasiswa, maupun lembaga-lembaga keadilan. Tidak ada protes besar-besaran atau gerakan massa yang mampu menahan kebijakan ini, meskipun dampaknya sangat merugikan kelompok yang sudah terpinggirkan.

Isu ini sangat jelas memperlihatkan bagaimana seorang pemimpin, dalam hal ini Xanana Gusmao, dapat dengan mudah melakukan kebijakan yang berdampak buruk bagi rakyat tanpa ada kontrol atau koreksi dari pihak lain yang memiliki wewenang. Ketika sistem checks and balances gagal berfungsi, kebijakan otoriter dapat berkembang tanpa hambatan, meskipun kebijakan tersebut merugikan segmen-segmen masyarakat yang paling rentan.


B.4. Korupsi dan Penegakan Hukum yang Lemah

=========================================

Masalah korupsi di Timor Leste juga menjadi faktor krusial yang menghambat pembangunan negara ini. Sumber daya negara yang terbatas seharusnya bisa dialokasikan untuk membangun infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, tetapi justru banyak yang mengalir ke kantong individu yang berkuasa. Penegakan hukum yang lemah hanya memperburuk keadaan, di mana kasus-kasus korupsi tidak mendapatkan penanganan serius dari aparat yang ada.

Meskipun Xanana Gusmao dan pemerintahannya berkomitmen untuk memberantas korupsi, kenyataannya, sistem yang ada, dalam hal ini KAK (bukan Kawan Amankan Kawan, tetapi Komisi Anti Korupsi), tidak memiliki gigi yang cukup tajam untuk melakukan tindakan yang efektif. Lembaga-lembaga hukum yang ada, termasuk KAK, tidak memiliki independensi dan kekuatan yang cukup untuk menegakkan keadilan, sementara praktik korupsi terus merajalela. 

Sekadar contoh kecil, mengenai masalah “Ro Haksolok”. Dalam salah satu dialog di gedung parlamen nasional, Xanana Gusmao dengan santainya, tanpa ekspresi bersalah mengaku dan berkata; “Mengenai Ro Haksolok, kalian jangan terlalu sibuk. Saya yang akan bertanggung-jawab karena saya ikut menanda-tangani dokumen perjanjian”. 

Pertanyaannya adalah; “Tanggung-jawab seperti apa yang akan diemban seorang Xanana?” Bayangkan, untuk negara kecil dan miskin sepeti Timor Leste, $40 juta (empat puluh juta dolar) haruskah hangus begitu saja tanpa ada tindakan hukum bagi para pelaku yang seharusnya bertanggung-jawab akan isu Ro Haksolok. Angka $40 juta ini, saya meminjam pernyataan Presiden Jose Manuel Ramos Horta. 

Coba saja dari awal, orang Timor Leste mau belajar dari sejarah, bukan hanya melulu belajar tentang sejarah, sehingga tidak terlalu fanatik dengan bangsa Portugis, lalu mengadakan negosiasi dengan PT PAL Surabaya, bayangkan sendiri. Dengan dana sebesar $40 juta (empat puluh juta dolar), berapa unit “Ro Haksolok” yang saat ini sudah beroperasi di Timor Leste. Fanatisme membabi buta itu, bukan hanya jaraknya dengan barbarisme yang hanya setengah langkah, tetapi jaraknya dengan kebodohan malah lebih kurang dari setengah langkah. Karena “kebodohan” itu pulalah, maka untuk kesekian kalinya orang Timor Leste kembali tertipu oleh orang Portugis. Saya meminjam kata “tertipu” ini juga dari pernyataan Presiden Jose Manuel Ramos Horta yang adalah seorang peranakan Portugis. 


C. Penutup: Kesimpulan dan Rekomendasi

====================================


C.1. Kesimpulan: 

==============

Dari analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa sejatinya bukan Xanana Gusmao yang terlalu kuat, tetapi justru kondisi negara yang memungkinkan seorang individu selevel Xanana bisa dengan begitu bebasnya mengonsolidasikan kekuasaan secara berlebihan. Sistem semi-presidensial yang seharusnya memberi ruang bagi pembagian kekuasaan yang seimbang dan demokratis, justru tidak berfungsi dengan baik di Timor Leste. Kelemahan dalam struktur negara ini—baik dalam aspek politik, sosial, maupun ekonomi—menjadi akar masalah yang memperburuk keadaan.


C.2. Rekomendasi:

================

1). Peningkatan Kualitas Institusi Negara: Memperkuat lembaga-lembaga negara seperti presiden, parlemen, dan lembaga-lembaga pengawasan lainnya untuk memastikan bahwa sistem checks and balances dapat berfungsi dengan baik.

2). Pemberantasan Korupsi yang Lebih Serius: Memberikan dukungan yang lebih besar untuk penegakan hukum dan memberantas korupsi dengan cara yang lebih terstruktur dan independen.

3). Pemberdayaan Masyarakat dan Akademisi: Mendorong partisipasi aktif dari masyarakat sipil, akademisi, dan gerakan mahasiswa dalam memperjuangkan perubahan yang positif bagi negara.

4). Penyederhanaan Birokrasi dan Perbaikan Pelayanan Publik: Mengalokasikan anggaran negara dengan lebih bijak dan memastikan bahwa pelayanan publik, terutama di sektor kesehatan dan pendidikan, dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

5). Jika keempat poin di atas tidak bisa diwujudkan, atau diwujudkan tetapi tidak bisa merubah keadaan negara yang sudah bagaikan: “hidup segan tetapi mati tak mau”, maka sudah saatnya wacana mengenai EA2 (Pemilu Dini tahap 2), layak dimunculkan. Lebih baik EA dari pada “tambal sulam” tetapi tidak menyelesaikan masalah, dan malah hanya terus-menerus menggembosi keuangan negara lebih massif. 

Pada akhirnya, meskipun Xanana Gusmao memiliki pengaruh besar di Timor Leste, masalah yang dihadapi negara ini lebih besar dan lebih kompleks dari sekadar sosok individu. Jika sistem-sistem yang ada berfungsi dengan baik, maka konsentrasi kekuasaan yang berlebihan dapat dihindari, dan negara ini bisa berkembang sesuai dengan cita-cita kemerdekaannya.



Catatan Kaki:

Foto-foto yang ditampilkan di artikel ini, bukan karya saya. Saya mengambilnya dari internet.



Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama