Oleh: Basmeri
Penderitaan di Balik Jeruji
Kesaksian ini mengungkap penderitaan yang dialami oleh Januario de Carvalho, seorang tahanan Apodeti yang selamat dari kekejaman rezim Fretilin. Dalam narasi yang penuh dengan detil mengerikan, ia menceritakan tentang pemindahan dari penjara Dili ke Taibesse, penyiksaan brutal, dan perjuangan untuk bertahan hidup di tengah kondisi yang tidak manusiawi. Ini adalah bagian pertama dari kesaksian beliau yang menggambarkan pengalaman pahit sebagai tahanan politik di masa-masa kelam tersebut.
Saya dan teman-teman Apodeti saya, yang ditahan di Dili di bangunan museum, dipindahkan dari sana, dimana kami dikurung sejak bulan Oktober ke penjara-penjara markas umum di Taibesse, pada tanggal 2 Desember 1975. Kami bergabung dengan para tawanan UDT, Kota dan Trabalhista yang sudah di sana sejak bulan Agustus dan September 1975.
Dengan kelompok besar kami sel menjadi penuh sesak, dalam keadaan seperti ini kami tidak bisa bergerak dan kami tidur berdiri karena ruangnya tidak cukup untuk bahkan untuk mendapatkan posisi duduk. Biasanya di pagi hari para penangkap kami membuka gerbang besi untuk memungkinkan kami memasuki emperan kecil berpagar kawat kasa dan bagian atasnya ditutup kawat berduri. Para penjaga Fretilin yang diperlengkapi dengan senjata mesin (submachine) berada di luar mengawasi gerakan-gerakan kami.
Pembagian makanan juga berlangsung di emperan tersebut, dan sebagaimana biasanya itu dengan suatu porsi yang sedikit sekali. Minggu-minggu sebelumnya, para tokoh Fretilin sudah menghentikan semua kunjungan ke penjara-penjara dan rumahsakit-rumahsakit, dimana banyak teman kami diopname karena luka-luka berat akibat siksaan-siksaan yang kami terima. Dengan penghentian kunjungan-kunjungan, sanak keluarga dan teman-teman kami tidak dapat membawakan makanan, sebagaimana sebelumnya, untuk kami.
Meskipun kami mendengar banyak spekulasi dari pengawal yang selalu mengancam kami namun kami tidak yakin dengan keselamatan kami. Dalam inkognito (samaran) ini kami dipertahankan hingga tanggal 7 Desember 1975. Satu pagi dini hari kami mendengar letusan-letusan keras senjata-senjata berat dan rentetan-rentetan senapan mesin yang tiada henti. Meskipun kami tidak tahu apa yang sedang berlangsung di Dili, namun hati kami mengatakan, pasukan-pasukan kami sudah tiba di Dili dan konsekuensinya kebebasan kami sudah pasti.
Sekitar pukul 8 pagi orang-orang Fretilin yang meninggalkan lembah-lembah kota, berkonsentrasi dalam kelompok-kelompok sekitar Taibessi hingga Rumahsakit untuk menahan laju pasukan-pasukan kami. Di Markas Umum Taibessi Milisia Fretilin berjumlah ratusan. Orang-orang Fretilin melipat gandakan pengawasan terhadap para tawanan. Sepanjang pagi, gelombang-gelombang berkesinambungan orang-orang Fretilin keluar masuk dari kam Militer Taibessi.
Sekitar pukul 2 sore, kami mulai melihat kesalahpahaman dan kekacauan diantara orang-orang Fretilin. Diantara teriakan-teriakan histeris perintah dan larangan, orang-orang Fretilin mondar-mandir kebingungan seperti orang gila, di tengah-tengah teriakan dan tembakan di semua arah, kemudian lari dari markas; lain-lainnya berada dalam posisi siap tempur sekitar markas. Semua ini bisa kami lihat melalui jendela-jendela berkisi sel-sel kami. Beberapa penjaga yang ingin menyerah mengatakan kepada kami bahwa beberapa pemimpin mereka sudah lari ke perbukitan. Para pemimpin lainnya, khususnya orang-orang eks-militer, masih berada di Dili, berusaha untuk mengorganisir pertahanan. Namun sebelum mereka bisa melakukannya orang-orang mereka sudah lari seperti anjing melolong dan berteriak ketakutan. Diantara para pemimpin mereka hanya satu yang dapat menenangkan orang-orang yang ketakutan. Dialah Nicolau Lobato, yang menenangkan orang-orangnya yang sok, mengajak mereka ke penjara, dan memerintahkan pintu-pintu dibuka dan memerintahkan kami berbaris. Setelah berbaris dia berkata kepada kami "Apakah anda ingin mati sekarang dengan "berondongan" atau bekerja sama dengan kami?"
Banyak diantara kami, dengan harapan bahwa suatu kesempatan mungkin muncul untuk lari, menjawab kepada Nicolau bahwa kami menerima kerjasama. Salah satu saudara si pemimpin, Antonio Lobato nampak di tempat itu, matanya penuh dengan kebencian. Dia bertugas sebagai Polisi Militer. Diperlengkapi dengan sebuah senjata automatic G-3, dia mengisi senjata tersebut dan berkata dengan suara lantang bahwa dia akan membunuh kami; namun saudaranya Nicolau melompat menghalanginya dan merebut senjata tersebut serta membawanya pergi, dan memperingatkannya.
Setelah insiden yang bisa mengancam jiwa kami ini, kami dibawa ke beberapa tempat di Markas tersebut, dimana mereka mendistribusikan kotak-kotak amunisi dan kontainer "persenjataan" lainnya. Dua orang dipaksa untuk membawa sebuah kotak amunisi yang beratnya mencapai 60 pound.
Setelah distribusi kami dibariskan dua-dua dengan seorang Fretilin di tengah dan banyak yang berada disekeliling mengawasi kami. Kami melalui jalan setapak berbaris menuju jalan Dili-Aileu, terus berjalan dengan bentakan-bentakan agar berjalan lebih cepat sementara keadaan kami semakin melemah karena membawa beban yang demikian berat. Dalam kondisi yang sangat lelah kami sampai di perkebunan kopi Costa Alves di Balibar, 10 mil jauhnya dari Dili sekitar 400 meter di atas permukaan laut.
Catatan: Sebagai informasi untuk para pembaca yang tidak mengenal kawasan tersebut, jalan penghubung antara Dili-Aileu terus mendaki hanya sedikit turunan dan sekali-sekali mendatar, yang berdebu selama musim kemarau, berlumpur dan licin selama musim penghujan, yang bisa melintasi jalan tersebut hanya mobil dobel kardan atau kendaraan militer. Kami beristirahat di tempat terbuka malam itu. Karena hari sebelumnya kami tidak makan dan lelah sekali, kami berbaring di tanah basah berlumpur. Kami hanya memakai baju dan celana pendek dan sepanjang malam kami kedinginan, berbaring di tanah seperti anjing.
Kami hampir tidak bisa mengatupkan mulut untuk tidak merintih. Berapa lama lagi kepedihan kami akan berlangsung? Saya terbayang orang-orang yang saya cintai. Dimana mereka berada? Mereka pasti menganggap saya sudah mati. Dengan memandang sekeliling saya melihat seorang penjaga bersenjata, saya bertanya-tanya: "Oh, saudaraku mengapa kau begitu membenciku? Mengapa begitu membenciku?" Dan saya berusaha untuk memastikan, saya menjawabnya sendiri: "Bukankah saya menginginkan kesejahteraan negeri ini? Oh, malangnya kami.... anda, yang mungkin menganggap saya sebagai teman dan saudara dalam Tuhan, kini anda akan membunuh saya jika saya melakukan gerakan yang mencurigakan". Dan dengan berlinang air mata saya mengalihkan pikiran saya ke Tuhan, berdo'a dalam hati memohon pertolongannya untuk diri saya, untuk semua teman saya dan untuk orang-orang yang diperlakukan seperti kami. Saya begitu lelah dan jatuh kedalam dunia impian. Pagi-pagi sekali hari berikutnya, kami diperintahkan berjalan dalam barisan menuju Aileu.
Beberapa menit setelah kami memulai kembali perjalanan hari mulai hujan, pada mulanya sedikit. Namun setelah sekitar lima menit hujan mulai bertambah lebat dan tiba-tiba hujan lebat turun, kami kedinginan hingga tulang sumsum. Di alam terbuka tanpa payung dengan bentakan-bentakan untuk terus berjalan, sementara kami sudah hampir tidak bisa berjalan. Sebaliknya para penjaga kami memakai jas hujan dan hanya membawa senjata mereka. Berjalan mendaki bermil-mil, diperlemah karena lapar, perlakuan brutal dan memikul kotak-kotak amunisi, saya sendiri dan beberapa teman senasib lainnya berjalan terseok-seok, terpeleset kesana kemari. Segera setelah kami terjauh banyak yang berlari ke arah kami, memukul kami dengan popoer senjata dan menendang untuk memaksa kami berdiri dan terus berjalan. Dalam setiap pukulan popor senapan para penjaga membentak kami dengan mengatakan: "Bangun anjing. Apa ingin ditembak kepalamu?". Dengan segala upaya, kami masih bisa berdiri untuk menghindari pukulan lebih lanjut. Terhadap kebrutalan ini, mantan kepala pemetintahan sipil, Pak Mario Santa, yang sudah tua dan sakit-sakitan, tidak kuat melakukan itu, dan jatuh setiap meter dan dipukul setiap kali dia jatuh. Dia meminta binatang-binatang itu menghabisinya. Di suatu tempat tertentu dalam perjalanan kami tidak melihat lagi Pak Santa. Kami tidak pernah menjumpainya lagi. Belakangan, kami tahu bahwa teman kami yang malang tersebut ditembak mati oleh para penjaga Fretilin di suatu tempat sepanjang jalan Dili-Aileu.
Tanpa berhenti untuk istirahat dan terus berada di bawah guyuran hujan lebat, pukulan-pukulan popor senapan, pukulan-pukulan dan siksaan-siksaan bila kami memohon untuk beristirahat, membuat kami baru mencapai Aileu sekitar pukul 3 sore. Di sana, dalam formasi militer kami dimana kami melepaskan beban berat kontainer-kontainer "persenjataan". Dari sana kami kembali ke gudang-gudang ubi, yang berlokasi dekat bangunan pemerintah. Basah kuyub, kelelahan dan terhuyung-huyung kami menyeret kaki kami. Di kedua sisi jalan banyak orang sipil dan Fretilin bersenjata menonton iring-iring kami yang menyedihkan. Orang-orang berjiwa rendah ini berteriak kepada para penangkap kami ketika kami lewat, bunuh, bunuh anjing-anjing itu. Namun untunglah para penangkap kami tidak memenuhi permintaan publik tersebut, mungkin juga karena mereka lelah setelah perjalanan yang melelahkan. Dalam bangunan yang penuh sesak, kurang makan dan hanya diperbolehkan sekali sehari buang air besar. Kami mengambil kesempatan untuk menghilangkan rasa haus dengan minum air ledeng dekat toilet-toilet drum. Ini semua berlangsung hingga tanggal 9 Desember. Pada hari itu, pagi-pagi sekali penjaga penjara yang bertugas, Pedro Aquino, yang juga disebut Komandan, masuk ke penjara gudang dan dengan sombong dia berkata: "Semua tawanan dari Dili keluar untuk mencatatkan namanya di luar....", sambil tersenyum dia menambahkan "Kami akan mempermudah perjalanan anda dalam kapal hitam atau dalam sebuah pesawat tanpa sayap".
Istilah-istilah tersebut kami ketahui sebagai peringatan-peringatan tersembunyi bahwa kami akan dibunuh pada suatu saat oleh orang-orang Fretilin. Banyak diantara kami yang berasal dari Dili menjadi ketakutan, namun saya sendiri dan puluhan lainnya punya perasaan yang sama, kami siap menerima nasib apapun yang dilakukan oleh orang-orang primitif tersebut. Saya sendiri menganggap bahwa jika saya harus mati hari itu, itu akan menjadi akhir dari penderitaan-penderitaan saya.
Sebelum kami berangkat, kami titip pesan kepada teman-teman kami yang ada di belakang bahwa jika mereka selamat, tolong katakan kepada sanak keluarga kami tentang penderitaan kami dan juga katakan kepada mereka bahwa kami akan mati dengan mengingat Tuhan dan orang-orang yang kami cintai. Tanpa sikap gentar dan percaya bahwa segera kami akan bersama Tuhan, kami bisa menahan air mata kepedihan.