Kisah Kelam di Balik Jeruji
Prolog:
Melanjutkan kesaksian Januario Carvalho, kita kembali menyusuri lorong-lorong kegelapan di penjara yang penuh derita. Hari-hari di sana tidak hanya diwarnai oleh kelaparan dan kekejaman, tetapi juga oleh ketidakpastian hidup yang menggantung di setiap napas. Januario menceritakan bagaimana mereka harus berjuang hanya untuk sepotong ubi, sebuah gambaran tragis tentang bagaimana kemanusiaan direnggut dari mereka. Dalam bagian ini, ia mengisahkan lebih lanjut penderitaan yang dialami, terutama pada hari Natal, yang seharusnya menjadi hari penuh harapan, namun justru berubah menjadi puncak kebrutalan yang tak terbayangkan.
Hari berikutnya, selepas tengah hari, kami mendengar keriuhan -- orang-orang Fretilin tidak akan melakukan sesuai tanpa keriuhan seperti pasar -- para penjaga penjara kami membuka pintu-pintu gerbang untuk memungkinkan kami mendapatkan makanan kotor, bau hari itu.
Dengan menyerupai serangan lebah, teman-teman kami yang ada di sana sebelum kami, melepas baju-baju mereka melompat ke arah pintu gerbang. Mendorong, menendang dll. Orang-orang baru seperti saya, pertama kali tidak tahu apa
yang mereka lakukan. Kemudian kami tahu bahwa baju-baju itu mereka gunakan untuk membawa ubi-ubi rebus yang dibagikan. Kata "cepat-cepat" adalah tanda bahwa yang berada di belakang tidak akan kebagian jatah makan hari itu. Kami melakukan hal yang sama. Berlari. Melepas baju. Mendorong, memukul. Orang-orang Fretilin menikmati pemandangan tersebut. Kelaparan. Akankah itu cukup untuk semua orang? Haruskah saya mengambilnya? Ya, lapar membuat kami egois. Orang-orang Fretilin tertawa-tawa sinis. Ubi-ubi rebus panas yang baru diangkat. Sadis. Mereka menanyai kami: "Apakah anda mau membawanya dengan tangan? Kami akan memberimu lebih banyak". Ubi masih panas sekali, tak seorang pun tahan memegangnya. Dua atau tiga potong ubi rebus untuk jatah satu orang setiap hari. Besok kami makan atau tidak, bukan masalah. Sekarang kami sudah mendapatkannya. Besok tidak usah dipikirkan, lihat saja besok. Dengan cepat tiga potong ubi hilang dari tenggorokan. Masih ada lainnya? Tidak, tidak ada lagi yang lain.
Setelah makan, pintu ditutup. Dengan duduk bersandar dinding, kami melihat sekeliling. Seorang teman atau lainnya akan menceriterakan suatu kisah lucu. Kemudian hening, saya melihat sekeliling. Apa yang saya lihat dalam mereka, mereka tentu saja juga akan melihat dalam diri saya. Apa yang nampak, hanyalah tulang berbungkus kulit. Kerangka-kerangka. Luka-luka karena cambuk dan popor senapan itulah yang terlihat paling jelas pada tubuh kami.
Terkadang kesunyian dipecahkan oleh suara sayup-sayup, kemudian menghilang. Kemudian seseorang mulai berdo'a dan lainnya ikut memohon pertolongan kepada Tuhan atas kemalangan kami.
Hampir selalu setelah kami berdo'a, kami diserbu para penjaga, dengan cambuk-cambuk di tangan mereka berkata, kamu dan kamu, dan kamu ke sini. Memukul mereka sampai puas. Kemudian sekali lagi, kamu, kamu, dan kamu. Kebrutalan tersebut akan berlangsung berjam-jam hingga malam hari, sampai orang-orang Fretilin lelah menghajar kami. Banyak teman saya mati selama masa-masa brutal ini. Mereka dibawa pergi dalam keadaan pingsan, dan mereka tidak pernah kembali lagi. Bahkan sekarang pun saya masih sering terngiang di telinga saya suara: "Kamu, kamu, dan kamu, ke sini".
Segera setelah mereka pergi kami akan mendengar nyanyian-nyanyian, dan tepuk tangan ketika orang-orang minum-minum hingga mabuk. Kami tidak tidur malam itu. Kami yakin mereka akan kembali, dan kami yakin salah satu dari kami akan mati bila mereka kembali. Kali ini mereka akan membawa obor dan biasanya mereka akan memilih orang yang lebih tegap, dan kebrutalan akan berlangsung lama, hingga orang tersebut akhirnya jatuh bergelimang darah dan dibawa ke luar. Jika mereka hanya setengah mabuk, mereka akan membawa seorang lagi. "Kamu, anjing keparat ... kamu ingin merasakan ini, bukan? Ayo, jawab, kamu merasa orang suci seperti malaikat? Kamu akan segera menyusul mereka. Kamu ingin dipukul?" Dicambuk? Jeritan-jeritan. Tawa gemuruh dari para eksekutor. Lihat anjing ini tersungkur. Cambuk lagi. Kini hanya bisikan. "Anda ingin menghabisi dia...?" Lain-lainnya memberi semangat. "Pukul dia, habisi dia". "Ya, begitu"..., dan korban pun jatuh tersungkur, merintih kesakitan, membuka dan menutup mulutnya, minta air, namun air tidak pernah muncul, dan dia dibawa pergi. Dalam keheningan kami berdo'a untuk arwahnya. Orang-orang pertama yang dipukul biasanya akan menambah jumlah kematian. Orang-orang terakhir, biasanya lolos dari kematian brutal.
Diantara semua masa brutal ini, yang paling mengerikan tepatnya pada hari Natal. Pada tanggal 25 Desember, setelah nyanyian biasanya, sekelompok orang Fretilin yang dipimpin oleh komandan penjaga -- Domingos Pareira -- Salah seorang yang paling keji.... memasuki penjara. Dia mabuk, matanya merah. Para tawanan Apodeti diperintahkan Pereira berkumpul di sudut. Satu demi satu dipukuli secara brutal. Bila mereka jatuh, mereka ditendang. Salah seorang yang disiksa, adalah Luiz dos Reis Araujo, kemenakan Bapak Arnaldo dos Reis Araujo. Terhadap teman yang malang ini, Domingos Pereira dan kelompoknya memperlakukan dia dengan begitu kejam, hanya nampak makhluk merah, bermandikan darah. Darah mengucur dari kepala, telinga, mulut dan punggung, saya tidak dapat mengenali bekas-bekas cambuk lagi. Segera setelah dia kehilangan kesadaran, kelompok itu mengguyurnya dengan air untuk menyadarkannya kembali. Itu terjadi beberapa kali, hingga air menjadi tak berguna lagi untuk menyadarkannya. Sebagai akibat kebrutalan ini, Luiz mati beberapa hari kemudian di Ainaro. Jasadnya dikebumikan di daerah Mano-Tali.
Saat-saat terakhirnya, terjadi karena orang-orang Fretilin sial itu ingin menyaksikan kematiannya secara sadis. Namun bagian ini akan saya ceriterakan kemudian.
Saya tidak akan pernah melupakan tanggal 25 Desember, hari Natal. Dengan Luiz dalam keadaan koma, dan banyak diantara kami diperlakukan secara brutal di hari kelahiran Juru Selamat kami, suatu hari bahagia digantikan oleh perlakuan brutal orang-orang Fretilin untuk mengirim kami ke alam sana.