Oleh: Basmeri
Menuju Maubisse: Perjalanan Penuh Derita dan Harapan yang Sirna
Prolog:
Setelah melewati cobaan berat di penjara Aileu, Januario de Carvalho dan rekan-rekan tahanan lainnya menghadapi ujian baru. Dengan pengawalan ketat, mereka diangkut menuju Maubisse, di bawah terik matahari dan hujan deras yang mengiringi perjalanan panjang. Harapan untuk kebebasan mulai pudar, digantikan oleh kenyataan pahit yang semakin mengikis semangat mereka. Di tengah perjalanan, mereka menyaksikan brutalitas yang tak henti, menghadapi ketidakpastian dan ketakutan akan nasib mereka. Bagian kedua dari kesaksian ini menggambarkan penderitaan yang terus berlanjut, dengan secercah harapan yang perlahan sirna di bawah kekejaman Fretilin.
Di luar penjara kami berbaris hingga berjumlah total seratus sepuluh orang. Empat orang Fretilin mencatat nama kami dan elemen-elemen identitas lainnya dengan kelambatan yang disengaja, karena kami berada di bawah terik sinar matahari yang membakar. Orang-orang Fretilin menyelesaikan tugas mereka setelah dua jam lamanya. Tidak lama setelah diabsen, kami naik ke atas dua buah truk, yang dikawal oleh orang-orang Fretilin bersenjata. Kendaraan-kendaraan tersebut menempuh jalan menuju Maubisse. Sepanjang perjalanan kami kumat-kamit berdo'a, berharap dibunuh di suatu tempat dalam perjalanan tersebut, namun semakin dekat ke Maubisse kami percaya, itulah sebenarnya tujuan kami. Kami mencapai desa itu setelah tengah hari, dan sebagaimana di Aileu orang-orang Fretilin menggunakan gudang ubi sebagai penjara, dan di sini pintu gerbang dan jendela-jendela juga dicat hijau. Melihat kecerahan warnanya, nampak bahwa itu baru saja dicat.
Di Maubisse inilah kami bertemu saudara-saudara kami para tawanan dari beberapa bagian pulau ini. Dengan kedatangan kami isi penjara tersebut melebihi jumlah tiga ratus orang.
Kembali ke pernyataan-pernyataan Bapak Moniz Maia, yang tinggal di Aileu setelah keberangkatan Bapak Januario De Carvalho, kami mencatat berikut ini: "Pada hari yang sama, tanggal 9 Desember, ketika teman-teman kami dipisahkan untuk dibawa ke tempat yang tidak diketahui, apa yang kami temukan kemudian di Maubisse, orang-orang Fretilin semakin kesulitan. Kami melihat gerakan-gerakan luar biasa, karena ada spekulasi bahwa pasukan-pasukan kami berada dalam perjalanan ke Aileu. Orang-orang Fretilin beberapa kali sehari berkumpul dalam pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin mereka, mulai tanggal di atas. Kami berharap pasukan-pasukan kami tiba secepat mungkin.
Kami masih mengharapkan kebebasan kami. Hari-hari berlalu dalam penjara. Disamping kebrutalan-kebrutalan biasanya, makananpun menjadi semakin sedikit dan terkadang mereka lupa memberi kami makan.
Pagi-pagi sekali pada tanggal 24 Desember, Pedro Aquino, saat itu, sebagai kepala penjaga penjara dan Komandan Milisia di Aileu, masuk ke penjara bersama dengan binatang-binatang bersenjata lainnya. Aquino dengan keangkuhan biasanya dan menyeringai seperti serigala, memerintahkan untuk memisahkan para pemimpin Apodeti, UDT, dan banyak simpatisan kedua partai tersebut lainnya. Dari kelompok yang dipisahkan tersebut, saya masih ingat nama-nama mereka: saudara Luiz dan Jose Oliveira, Luiz Queiroz Joao Assuncao, Joao Gusmao, Wakil Presiden Apodeti Bapak Hermenegildo Martins yang berumur sekitar tujuh puluh tahun, saudara Feliciano C. Tilman dan Delfin Tilman.
Kelompok yang dipisahkan berjumlah lebih dari seratus orang. Lepas tengah hari, beberapa orang Fretilin yang lebih moderat mengatakan kepada kami, bahwa teman-teman kami dipindahkan ke penjara-penjara militer di Aileu. Kami tidak percaya. Terhadap pertanyaan-pertanyaan kami tentang dimana beberapa pemimpin UDT seperti Bapak Cesar Mausinho, Senanes, Fernando Lue, dan Let.Kol. Masjiolo. para penjaga Fretilin tersebut mengangkat bahu mereka, mengatakan: "Mereka mungkin di suatu tempat di penjara-penjara militer".
Kenyataannya, kami tidak pernah bertemu mereka kembali, mudah untuk meyakini bahwa teman-teman kami yang malang tersebut sudah pergi untuk selamanya.
Potongan-potongan makanan sudah berlangsung selama berhari-hari sejak tanggal 27 Desember ketika kami mendapatkan perintah untuk keluar dari penjara dan berbaris. Untuk kelompok kami bersama Bapak Jose Fernando Osorio, yang ditahan di sebuah sel militer dan juga seorang tokoh Fretilin Antonio Mota, yang menyerah secara suka rela di Dili kepada pasukan gabungan kami pada tanggal 18 Desember. Dia menerima untuk membawa pesan yang menyerukan penyerahan Fretilin tanpa syarat, untuk menghindari pertumpahan darah. Pesan tersebut ditujukan kepada kepala faksi bersenjata Francisco Xavier Do Amaral.
Menurut beberapa penjaga Fretilin, Mota ditahan segera setelah tiba di Aileu, beberapa lainnya ingin membunuhnya, namun dia diselamatkan oleh Nicolau Lobato. Kendati demikian dia ditahan.
Kembali ke tanggal 27 Desember. Setelah dibariskan kami lebih dari tiga ratus orang, berbaris dua-dua membentuk suatu barisan besar menempuh jalan Aileu- Maubisse dengan belasan penjaga bersenjata berat. Di depan
dan di belakang kendaraan-kendaraan ringan membawa para tokoh yang lebih penting.
Banyak diantara kami dipukul dan akhirnya setelah satu jam baru kami sampai di jalan raya. Cuaca begitu buruk. Awan-awan hitam menutup langit dan tidak lama setelah itu hujan lebat mengguyur kami. Siksaan baru harus kami terima dan dengan hanya menggunakan sobekan-sobekan kain dan kaki belanjang, kami harus berjalan. Hanya Tuhan yang tahu penderitaan kami. Beberapa orang mengatakan kami akan ke Maubisse, lainnya dengan gemetar ketakutan, mengatakan kami akan ditembak dalam perjalanan tersebut. Dalam kenyataannya berapa orang lanjut usia dan tawanan yang lemah yang tidak bisa menahan itu, ditembak. Untuk menghapuskan keraguan saya bertanya kepada seorang penjaga kita akan pergi ke mana: "Ke Maubisse" katanya.
Tersiksa oleh kebrutalan-kebrutalan, dengan tidak mengetahui kapan ini semua akan berakhir, tersiksa oleh ketidakpastian bagaimana dan dimana orang-orang yang kami kasihi berada, dengan hanya ditutupi sobekan-sobekan kain dalam guyuran hujan lebat, dalam hati saya hanya bertanya kapan ini semua berakhir. Hujan lebat terus berlangsung. Payung, jas hujan? Oh, tidak ada. Jalan, jalan, jalan. Bangsat-bangsat Fretilin, ya, mereka memakai jas hujan, atau tetap kering dan hangat dalam kabin-kabin mobil. Mereka bahkan tidak melihat pada kami.
Setelah lima mil pertama, kami biasanya mulai jatuh karena setidaknya kami sudah dua hari tidak makan. Salah seorang penjaga yang berjalan dekat saya berkata kepada saya ketika saya jatuh: "Apa kamu ingin menyusul Hermenegildo dan Magiollo?". Saya bertanya kepadanya dimana mereka berada, dan si penjaga menjawab: "Mereka semua sudah dihabisi".
Andai sebuah batu menghantam mulut saya, itu tidak akan lebih sakit dari kata-kata di atas. Semua mati. Semua mati, hanya karena mereka mencintai pulau kecil ini dan menentang Fretilin. Dan Letnan Kolonel Masjiolo dengan karier militer brilian, tidak tinggal diam membiarkan pulau ini begitu saja. Sebagai seorang anti-komunis, dia tampil untuk menghindari pulau ini dinodai kekuasaan komunis. Semua mati, mendahului kami. Hati saya mengatakan bahwa kami akan segera menyusul. Saya menangis.
Dengan pikiran menerawang pada teman-teman yang hilang, hujan, angin, lapar, semuanya akhirnya menjadi tak terasa, jalan, saya harus berjalan. Kami sampai di kawasan Dai-Soli, hari masih hujan. Kami diperintahkan untuk berhenti. Kami dipisahkan dalam kelompok-kelompok kecil dan menyebar di suatu area kecil, yang dikelilingi oleh senjata-senjata otomatis G-3 biasa, yang dibawa oleh para penjaga Fretilin sebagai alat pembunuh bila ada gerakan kami yang mencurigakan. Siapa yang mengurus kehidupan? Dan Tuhan? Ya, keyakinan saya. Bila ada kehidupan, maka ada harapan. Kami menghabiskan malam di Dai-Soli.
Untuk mengingat, saya mulai dengan berceritera bahwa ketika Maia berada dalam perjalanan ke Maubisse, saya sudah ada di sana sejak tanggal 9 Desember, bersama dengan seratus sepuluh teman tawanan yang diangkut dua truk dari Aileu.
Ketika kami bergabung dengan teman-teman tersebut, kami jadi tahu bahwa kami hanya akan mendapatkan makan satu kali sehari dan sering terjadi satu kali setiap dua hari. Sialnya, ketika kami tidak, kami tidak diberi makan sehingga hari berikutnya kami kelaparan.