Mendirikan Negara: Pelajaran dari Indonesia dan Timor Leste

 

Oleh : Basmeri Integrasionis

Mendirikan sebuah negara bukanlah tugas yang sederhana. Ini adalah tanggung jawab besar yang menuntut visi yang jelas, perencanaan yang matang, serta diskusi mendalam tentang arah dan tujuan jangka panjang. Jika langkah-langkah ini diabaikan, hasilnya adalah sebuah negara yang rapuh, tanpa arah, dan rentan terhadap kegagalan. Perbandingan antara proses kemerdekaan Indonesia dan Timor Leste menjadi cerminan nyata atas pentingnya persiapan yang matang dalam membangun sebuah negara.

Indonesia: Kekuatan dari Visi dan Perencanaan

Perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah contoh bagaimana visi dan perencanaan yang matang dapat membangun fondasi yang kokoh bagi sebuah negara. Para pendiri bangsa menyadari bahwa kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari perjalanan panjang membangun bangsa.

Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk untuk merancang dasar negara, bentuk pemerintahan, dan visi pembangunan bangsa. Dalam BPUPKI, berbagai diskusi mendalam dilakukan, melibatkan pemikir, tokoh masyarakat, dan intelektual. Hasilnya adalah Pancasila, sebuah dasar negara yang inklusif dan mampu mempersatukan keragaman Indonesia, serta UUD 1945 yang menjadi pedoman hukum dan pemerintahan.

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, bangsa ini sudah memiliki arah yang jelas untuk pembangunan masa depan. Proses perencanaan ini menunjukkan betapa pentingnya struktur dan visi dalam mendirikan negara yang stabil dan tangguh, meskipun menghadapi tantangan besar di tahun-tahun awal kemerdekaan.

Timor Leste: Ketidaksiapan yang Berujung Kerapuhan

Sebaliknya, proses pendirian Timor Leste menawarkan pelajaran berbeda. Perjuangan anti-Integrasi yang dipimpin oleh Fretilin lebih berfokus pada perlawanan terhadap "kekuasaan asing" dan mempertahankan eksistensi di tengah ketidakpastian politik internasional. Gugatan Portugal di PBB tentang status Timor Timur memberi ruang bagi gerakan ini untuk bertahan secara politik, meskipun Portugal sendiri telah meninggalkan wilayah tersebut tanpa mengambil tanggung jawab.

Namun, yang mencolok adalah ketiadaan diskusi strategis atau forum khusus untuk merancang masa depan negara. Tidak ada lembaga seperti BPUPKI yang memikirkan dasar negara, bentuk pemerintahan, atau strategi pembangunan. Ketika akhirnya Timor Leste didirikan oleh PBB pada tahun 2002, kepemimpinan yang ada tidak memiliki visi atau rencana jangka panjang yang dapat mengarahkan negara ke masa depan yang lebih baik.

Sejak awal perjuangan para pemimpin anti-Integrasi seperti Xanana Gusmão dan José Ramos-Horta dikenal lebih sebagai simbol perlawanan terhadap Indonesia daripada sebagai perancang masa depan Timor Leste. Reputasi internasional mereka dibangun di atas narasi "heroisme revolusioner," yang berfokus pada menonjolkan kehebatan masa lalu.

Namun, setelah meraih apa yg mereka sebut kemerdekaan dengan dibantu PBB, kelemahan visi mereka menjadi semakin jelas. Alih-alih menciptakan rencana pembangunan jangka panjang, Timor Leste justru hanya mengandalkan Petroleum Fund, dana hasil eksplorasi minyak dan gas, sebagai satu-satunya sumber pendapatan negara. Tidak ada diversifikasi ekonomi, tidak ada investasi besar-besaran dalam pendidikan, dan tidak ada upaya nyata untuk membangun infrastruktur berkelanjutan. Akibatnya, ketergantungan yang ekstrem terhadap sumber daya alam ini membuat perekonomian Timor Leste sangat rentan.

Dengan populasi hanya sekitar 1 juta jiwa dan sumber daya alam yang melimpah, Timor Leste sesungguhnya memiliki potensi besar untuk menjadi negara maju. Namun, lebih dua dekade potensi ini tidak berhasil diwujudkan. Dana besar dari eksplorasi minyak dan gas tidak dimanfaatkan secara optimal untuk menciptakan ekonomi yang mandiri. Sebaliknya, Timor Leste menunjukkan kemunduran dibandingkan dengan masa integrasi bersama Indonesia.

Latar Belakang Penuh Darah dan Kekurangan Kepemimpinan

Para pemimpin anti-Integrasi ini memiliki latar belakang yang penuh konflik, termasuk keterlibatan dalam kejahatan kemanusiaan selama perang saudara. Kekejaman terhadap sesama rakyat Timor Timur, terutama terhadap pendukung Apodeti atau kelompok pro-Integrasi, menjadi noda hitam yang sulit dihapuskan. Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius: bagaimana orang-orang dengan sejarah demikian dapat dipercaya memimpin sebuah negara?

Alih-alih menciptakan rencana pembangunan jangka panjang, Timor Leste justru hanya mengandalkan Petroleum Fund, dana hasil eksplorasi minyak dan gas, sebagai satu-satunya sumber pendapatan negara. Tidak ada diversifikasi ekonomi, investasi besar-besaran dalam pendidikan, atau upaya nyata untuk membangun infrastruktur berkelanjutan. Ketergantungan yang ekstrem terhadap sumber daya alam ini membuat perekonomian Timor Leste sangat rentan.

Eksistensi Komunitas Pro-Integrasi: Alternatif yang Terabaikan

Komunitas pro-Integrasi, yang memilih untuk tidak mengakui keberadaan Timor Leste, tetap bertahan dengan keyakinan bahwa integrasi dengan Indonesia adalah solusi terbaik bagi rakyat Timor Timur. Bagi mereka, negara yang dipimpin oleh orang-orang dengan sejarah gelap tidak akan pernah bisa membawa keadilan, kesejahteraan, atau kemajuan.

Pilihan komunitas pro-Integrasi untuk hidup di luar Timor Leste adalah bentuk konsistensi terhadap prinsip mereka. Mereka menolak legitimasi negara Timor Leste karena merasa bahwa hak mereka untuk menentukan nasib sendiri tidak dilaksanakan secara adil dan bahwa kepemimpinan negara tersebut tidak memiliki visi yang jelas untuk masa depan.

Refleksi: Pentingnya Visi dan Kepemimpinan Sejati

Sejarah telah menunjukkan bahwa mendirikan sebuah negara bukan hanya soal meraih kemerdekaan, tetapi juga tentang membangun fondasi yang kokoh untuk masa depan. Indonesia menjadi contoh bagaimana visi, perencanaan, dan kepemimpinan yang inklusif dapat menghasilkan negara yang stabil, meskipun menghadapi tantangan besar.

Sebaliknya, Timor Leste menghadapi risiko besar menjadi negara gagal jika tidak melakukan perubahan radikal dalam arah dan pola kepemimpinan. Ketergantungan pada Petroleum Fund yang terus menipis, dikombinasikan dengan kegagalan membangun ekonomi yang berkelanjutan, hanya akan memperburuk situasi. Dunia pada akhirnya akan melirik komunitas pro-Integrasi, bukan sebagai pihak yang kalah dalam sejarah, tetapi sebagai kelompok yang konsisten dengan prinsip-prinsip mereka.

Tanpa visi yang jelas dan kepemimpinan yang kuat, ilusi kemerdekaan yang diperjuangkan hanya akan menghasilkan kekecewaan. Negara ini akan tetap rapuh, terpecah, dan kehilangan arah, sementara komunitas pro-Integrasi terus menawarkan visi alternatif yang lebih menjanjikan stabilitas, kemajuan, dan persatuan.


Sumber


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama