Kelicikan Australia dalam Sengketa Maritim dan Ketidakmampuan Diplomasi Timor Leste

 

Oleh : Basmeri Integrasionis

Sengketa batas laut antara Australia dan Timor Leste bukan hanya mencerminkan ketimpangan kekuatan diplomasi, tetapi juga memperlihatkan bagaimana negara besar seperti Australia mampu memanfaatkan kelemahan negara kecil demi keuntungan ekonomi. Timor Leste, yang baru saja didirikan pada tahun 2002, memasuki negosiasi dengan posisi lemah, dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang gagal memahami kompleksitas geopolitik dan ekonomi maritim.

Licik dan Dominan: Strategi Australia

Pada tahun 2002, menjelang dibentuknya "negara Timor Leste" oleh PBB, Australia mengambil langkah kontroversial dengan menarik pengakuannya atas yurisdiksi Mahkamah Internasional (ICJ) dan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dalam sengketa maritim. Langkah ini secara strategis dirancang untuk memastikan bahwa negosiasi perbatasan laut tidak diputuskan oleh badan internasional yang cenderung lebih adil. Australia menyadari bahwa jika sengketa dibawa ke ICJ atau UNCLOS, hasilnya mungkin tidak menguntungkan karena prinsip garis tengah (median line principle) hampir pasti akan memberikan sebagian besar ladang minyak dan gas kepada Timor Leste.

Sebagai gantinya, Australia memanfaatkan posisi tawarnya yang kuat dalam negosiasi bilateral, sebuah forum di mana ia dapat mendikte syarat-syarat yang menguntungkan dirinya. Contoh paling mencolok adalah Perjanjian Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS) tahun 2006. Perjanjian ini menunda pembahasan batas laut permanen selama 50 tahun dan hanya membagi hasil eksploitasi minyak dan gas dari ladang Greater Sunrise dengan porsi yang sangat timpang: 50% untuk Timor Leste, sisanya untuk Australia. Padahal, secara geografis, ladang tersebut lebih dekat ke Timor Leste.

Lebih jauh lagi, Australia menggunakan taktik intelijen untuk memastikan dominasinya dalam negosiasi. Pada 2013, terungkap bahwa dinas intelijen Australia (ASIS) menyadap ruang kabinet Timor Leste selama pembahasan CMATS. Informasi ini digunakan untuk membaca strategi negosiasi Timor Leste, yang akhirnya membuat posisi mereka semakin terpojok.

Ketidakmampuan Diplomasi Timor Leste

Di sisi lain, kelemahan diplomasi Timor Leste juga memainkan peran besar dalam hasil yang tidak adil ini. Pemimpin-pemimpin Timor Leste, meskipun memiliki semangat nasionalisme yang tinggi, gagal menunjukkan visi strategis dalam memperjuangkan hak-hak maritim negara mereka. Ada beberapa faktor yang menonjol:

1. Kurangnya Pemahaman Teknis

Timor Leste datang ke meja perundingan tanpa persiapan teknis yang memadai. Tidak ada strategi komprehensif untuk melawan posisi Australia yang sangat kuat. Ketergantungan mereka pada penasihat asing juga menjadi kelemahan, karena banyak dari mereka yang tidak sepenuhnya memahami dinamika lokal dan geopolitik kawasan.

2. Kepemimpinan yang Tidak Visioner

Pemimpin Timor Leste saat itu, termasuk Xanana Gusmão, lebih fokus pada simbolisme kemerdekaan daripada mengamankan fondasi ekonomi jangka panjang. Alih-alih memprioritaskan negosiasi batas laut yang adil, mereka lebih sering terjebak dalam retorika politik yang tidak efektif. Hasilnya, perjanjian seperti CMATS menjadi cerminan kegagalan mereka dalam melindungi kepentingan nasional.

3. Diplomasi yang Reaktif

Timor Leste terlalu sering mengambil langkah diplomasi reaktif, hanya merespons tekanan Australia tanpa inisiatif strategi proaktif. Hal ini membuat mereka tampak seperti “pemohon” daripada mitra sejajar dalam negosiasi.

Refleksi: Ketimpangan Sistemik atau Kegagalan Individu?

Sengketa maritim ini menunjukkan ketimpangan sistemik dalam hubungan internasional, di mana negara kecil seperti Timor Leste kerap menjadi korban dominasi negara besar. Namun, hal ini juga mencerminkan bagaimana kegagalan individu dan kelemahan institusi domestik dapat memperparah situasi.

Australia memang cerdik dalam mengeksploitasi celah hukum internasional dan kelemahan lawan. Namun, tidak dapat disangkal bahwa Timor Leste sendiri juga turut bertanggung jawab atas hasil yang timpang ini. Dengan kepemimpinan yang lebih visioner dan diplomasi yang lebih terorganisir, hasilnya mungkin berbeda.

Penutup

Kasus ini bukan hanya tentang minyak dan gas, tetapi juga pelajaran penting tentang pentingnya diplomasi yang kuat dan terencana. Bagi Timor Leste, ini adalah pengingat bahwa simbolisme kemerdekaan tidak cukup untuk membangun masa depan yang berkelanjutan. Dan bagi dunia internasional, ini adalah contoh nyata bahwa keadilan dalam hukum internasional sering kali tunduk pada kepentingan kekuatan besar.


Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama