Oleh : Basmeri Integrasionis
Pendahuluan
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut adalah tonggak besar dalam diplomasi maritim internasional. Bagi Indonesia, UNCLOS menjadi alat penting untuk mengamankan status sebagai negara kepulauan dengan segala implikasi kedaulatan dan pengelolaan sumber daya maritim.
Peran Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja dalam memperjuangkan pengakuan konsep archipelagic state (negara kepulauan) di UNCLOS 1982 tidak hanya memperkuat posisi Indonesia, tetapi juga menjadi preseden penting dalam hukum laut internasional. Namun, bagaimana jika keberhasilan diplomasi ini justru menguntungkan pihak lain, seperti Timor Leste, setelah wilayah tersebut lepas dari Indonesia?
Peran Indonesia dan Mochtar Kusumaatmadja dalam UNCLOS
Mochtar Kusumaatmadja adalah tokoh kunci dalam memperjuangkan konsep negara kepulauan di UNCLOS. Konsep ini memastikan laut antarpulau diakui sebagai wilayah kedaulatan, bukan laut bebas.
Upaya Indonesia tidak hanya memperkuat kedaulatan maritimnya tetapi juga memberikan landasan hukum bagi negara kecil, termasuk Timor Timur pada masa itu, untuk memperjuangkan hak maritim. Selain itu, UNCLOS memperkenalkan konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut, memungkinkan pengelolaan sumber daya alam di wilayah tersebut.
Setelah proses pelepasan diri Timor Timur, sengketa Celah Timor menjadi ujian nyata atas peran hukum laut internasional. Meskipun UNCLOS memberikan dasar hukum yang kuat untuk menentukan batas maritim berdasarkan prinsip garis median (median line), kenyataannya Australia menolak menggunakan UNCLOS sebagai rujukan utama dalam negosiasi dengan Timor Leste. Sebagai gantinya, Australia menarik pengakuannya terhadap yurisdiksi Mahkamah Internasional (ICJ) dan UNCLOS dalam penyelesaian sengketa maritim pada tahun 2002.
Langkah ini membuat negosiasi berjalan tanpa campur tangan badan internasional, memaksa Timor Leste menerima perjanjian yang lebih menguntungkan Australia. Dalam konteks ini, meskipun UNCLOS dapat memberikan keuntungan yang adil bagi Timor Leste, penggunaannya dalam sengketa ini secara efektif diabaikan.
Dampak UNCLOS dalam Sengketa Celah Timor
Setelah proses pelepasan diri Timor Timur, sengketa Celah Timor menjadi ujian nyata penerapan UNCLOS. Sebelum 1982, batas maritim ditentukan berdasarkan prinsip landas kontinen, yang lebih menguntungkan Australia karena landas kontinen mereka lebih dekat dengan Celah Timor.
Namun, UNCLOS memperkenalkan prinsip garis median (median line), yang memberikan keuntungan lebih adil bagi Timor Leste. Dalam sengketa ini, Timor Leste berhasil:
.Memperoleh kendali atas sebagian besar wilayah maritim sengketa.
.Mengamankan pendapatan signifikan dari ladang minyak dan gas, seperti Greater Sunrise.
Jika Tidak Ada UNCLOS: Australia Lebih Diuntungkan?
Meskipun UNCLOS memberikan kerangka hukum yang adil, langkah Australia untuk menarik diri dari yurisdiksi UNCLOS menunjukkan ketidaktaatan terhadap norma hukum internasional. Dengan langkah ini, Australia tetap mengedepankan prinsip landas kontinen sebagai argumen utama, yang secara geografis lebih menguntungkan mereka. Tanpa UNCLOS, posisi Timor Leste dalam sengketa ini akan jauh lebih lemah karena:
.Tidak ada prinsip garis median yang bisa dijadikan dasar klaim.
.Ketiadaan mekanisme arbitrase internasional untuk menyelesaikan sengketa.
.Australia dapat memaksakan dominasi diplomasi bilateral, seperti yang dilakukan dalam perjanjian sebelumnya dengan Timor Leste.
Dalam kenyataannya, meskipun UNCLOS memberikan landasan hukum yang lebih adil, strategi Australia untuk menghindari badan internasional telah meniadakan penerapan prinsip tersebut dalam kasus ini.
Refleksi dan Ironi Diplomasi UNCLOS
Bagi Indonesia, UNCLOS adalah pencapaian besar yang memperkuat kedaulatan maritim. Namun, hasilnya menciptakan ironi: kerangka hukum ini sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh Timor Leste, yang dulunya bagian dari NKRI, untuk memperjuangkan wilayah maritimnya.
Hal ini mencerminkan bagaimana hukum internasional, seperti UNCLOS, dapat memberikan kerangka kerja untuk keadilan maritim, tetapi tidak memiliki mekanisme pemaksaan yang kuat untuk memastikan kepatuhan semua pihak. Ironinya, meskipun UNCLOS dirancang untuk memberikan keadilan geografis, Australia berhasil menghindari penerapannya, memaksakan perjanjian yang lebih menguntungkan bagi mereka.
Kesimpulan
UNCLOS, yang diperjuangkan Indonesia melalui Mochtar Kusumaatmadja, menjadi sumbangan besar dalam hukum laut internasional. Meskipun dirancang untuk kepentingan Indonesia, penerapannya menunjukkan bahwa hukum internasional dapat menciptakan peluang bagi negara lain.
Tanpa UNCLOS, posisi Australia dalam sengketa Celah Timor lebih dominan. Namun, dengan UNCLOS, keadilan geografis lebih diperhatikan—meskipun hasil akhirnya menjadi paradoks bagi Indonesia. Ini menjadi pelajaran penting tentang bagaimana diplomasi dapat menciptakan dampak di luar tujuan awalnya.