Hasil Referendum Timor Timur diumumkan pada tanggal 4 September 2020. Namun, hasil tersebut ternyata tidak langsung diakui Indonesia. Lebih dari sebulan yakni 19 Oktober 1999 barulah hasil tersebut diakui Indonesia.
Hasil referendum Timor Timur ( Timtim) disetujui melalui Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yaitu memutuskan bahwa Timtim bukan lagi wilayah Indonesia.
Signifikansi perubahan Timtim dimulai pada Januari 1999 saat Habibie mengumumkan ‘pilihan kedua’ bagi Timtim untuk memilih antara otonomi daerah atau kemerdekaan.
Habibie meminta Sekjen PBB saat itu, Kofi Anan, untuk menjembatani Indonesia dan Portugal soal Timtim. Kemudian, dicapai kesepakatan untuk menggunakan jajak pendapat dalam konsultansi dengan masyarakat Timtim.
New York Agreement
Melansir dari buku Midwifing a New State: The United Nations in East Timor karya Markus Benzing, pada 5 Mei 1999, dicapai kesepakatan antara Indonesia dan Portugal untuk membuat perjanjian referendum di Timtim. Perjanjian ini dikenal sebagai New York Agreement.
PBB juga membentuk United Nations Mission in East Timor (UNAMET) untuk mengawal kesepakatan Indonesia dan Portugal dalam prosesnya menuju referendum Timtim. Referendum akhirnya dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 dan dilaksanakan dengan dua opsi. Dua opsi itu yaitu menerima otonomi khusus untuk Timtim dalam NKRI atau menolak otonomi khusus.
Dikutip dari buku Self Determination in East Timor oleh Ian Martin, hasil referendum menunjukkan bahwa sebanyak 94.388 penduduk atau sebesar 21,5 persen penduduk memilih tawaran otonomi khusus. Sementara, 344.580 penduduk atau 78,5 persen dari total penduduk Timtim memilih untuk menolaknya.
Sidang Umum MPR setujui hasil referendum
Pada 19 Oktober 1999, Sidang Umum MPR menyetujui hasil referendum Timor Timur yang artinya Timor Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keputusan ini kemudian diatur dalam Ketetapan Nomor V/MPR/1999, yang menyatakan bahwa Ketetapan Nomor VI/MPR/1978 tentang Pengukuhan Penyatuan Wilayah Timor Timur ke dalam NKRI tidak berlaku lagi.
Kemudian, Xanana Gusmao pun dibebaskan setelah tujuh tahun menjadi tahanan politik di Jakarta. Ia kembali ke Dili sebagai pemimpin dari Conselho Nacional de Resistencia Timorense (CNRT).
Melihat situasi dan kondisi yang ada, PBB memutuskan untuk mengizinkan pembentukan pasukan multinasional di bawah pimpinan Australia yang bernama International Force for East Timor (INTERFET). Pengizinan ini dilakukan untuk menjaga perdamaian dan keamanan di Timtim sementara waktu.
Melansir laporan dari laman resmi Human Rights Watch tahun 2011, dalam masa transisi setelah lepas dari Indonesia, PBB membentuk United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET). Badan ini dibentuk sebagai hasil dari Resolusi Dewan Keamanan PBB pada 25 Oktober 1999.
UNTAET bertanggung jawab penuh terhadap urusan administrasi Timtim selama masa transisinya menuju kemerdekaan. UNTAET tidak hanya terdiri dari komponen-komponen sipil, tetapi juga kekuatan militer dengan kekuatan hingga 8.950 prajurit. Serah terima komando operasi militer dari INTERFET ke UNTAET selesai dilaksanakan pada 28 Februari 2000.
Sekjen PBB, Kofi Anan, menunjuk Sergio Vieira de Mello dari Brazil, yang sebelumnya merupakan Ketua UNMIK, sebagai perwakilan khusus dan mengatur urusan administrasi transisi. Persiapan kemerdekaan Timtim dimulai dengan diadakannya pemilihan konstituante pada 30 Agustus 2001. Pemilihan ini merupakan pemilihan badan perwakilan pertama secara demokratis dalam sejarah Timor Timur. Tugas utama konstituante adalah menyusun draf konstitusi untuk Timor Timur yang merdeka dan demokratis.
Pada April 2002, Xanana Gusmao pun dipilih sebagai Presiden pertama Timtim dengan persentase 82,7 persen dari total pemilih. Setelah beberapa abad kuasa kolonialisme Portugis, 24 tahun menjadi bagian dari Indonesia, dan 2,5 tahun pengurusan administrasi oleh PBB, Timor Timur merdeka pda 20 Mei 2002.
Bersamaan dengan itu, UNTAET dibubarkan dan digantikan oleh United Nations Mission of Support in East Timor (UNMISET).
Badan ini masih ada di Timor Timur hingga Mei 2005 ketika United Nations Office in Timor-Leste (UNOTIL) mulai beroperasi