oleh : Basmeri
Self-determination atau hak menentukan nasib sendiri adalah prinsip dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa masyarakat berhak menentukan bentuk pemerintahan mereka sendiri . Prinsip ini sering kali dikaitkan dengan dekolonisasi dan pengakuan hak-hak politik, sosial, dan ekonomi dari berbagai komunitas dan bangsa.
Self-determination bisa dilakukan tanpa melibatkan PBB dan tidak selalu harus melalui referendum. Cukup dengan kesepakatan masyarakat setempat mengenai masa depan mereka, self-determination bisa diwujudkan. Kehadiran PBB seharusnya memang lebih mengarah pada penegakan perdamaian dunia, namun jika terlibat dalam menentukan masa depan suatu wilayah dan masyarakat, hal tersebut bisa dianggap sebagai bentuk intervensi.
Kasus pengembalian Hong Kong dan Makau adalah contoh di mana proses tersebut terjadi melalui negosiasi bilateral antara negara-negara yang terlibat (Britania Raya dan Tiongkok untuk Hong Kong, Portugal dan Tiongkok untuk Makau) tanpa keterlibatan langsung PBB.
Namun, PBB sering terlibat dalam proses self-determination, terutama dalam konteks di mana ada potensi konflik, ketidakstabilan, atau ketika hak-hak dasar masyarakat diabaikan. Keterlibatan PBB dalam kasus-kasus seperti ini bertujuan untuk memastikan bahwa proses berlangsung secara adil, transparan, dan damai.
Dalam konteks penyelesaian Timor Timur pada tahun 1999, banyak pihak, termasuk Integrasionis Timor Timur, menganggap bahwa PBB tidak netral dalam perannya. PBB lebih condong kepada pihak anti-Integrasi seperti FRETILIN dan CNRT, yang berdampak negatif bagi mereka yang mendukung integrasi dengan Indonesia. ini salah satu faktor yang menyebabkan ketidakadilan dalam penanganan konflik tersebut.
Pada tahun 1976, Timor Timur secara resmi bergabung dengan Indonesia melalui sebuah proses yang didasarkan pada kesepakatan politik antara partai-partai lokal utama seperti Apodeti, UDT, KOTA, dan Trabhalista. Keempat partai ini merepresentasikan suara mayoritas masyarakat Timor Timur yang pada saat itu memilih untuk mengintegrasikan wilayah mereka dengan Indonesia sebagai jalan untuk mencapai stabilitas dan kemajuan.
Kesepakatan yang monumental ini diwujudkan dalam bentuk Petisi Integrasi, sebuah dokumen bersejarah yang dibawa ke Jakarta oleh ketua PSTT, Arnaldo dos Reis Araujo, dan rombongannya. Petisi ini diterima dengan tangan terbuka oleh Presiden Indonesia, Soeharto, dan kemudian disahkan oleh DPR dan MPR Indonesia, memberikan landasan hukum yang sah bagi Timor Timur untuk menjadi bagian dari NKRI. Namun, di balik proses ini, tersembunyi kontroversi yang cukup pelik, terutama mengenai sikap PBB terhadap permasalahan Integrasi.
PBB, sebagai lembaga internasional yang diharapkan netral dan objektif, ternyata terlibat dalam situasi yang mempengaruhi proses self-determination di Timor Timur secara tidak adil. PBB tidak mengakui proses integrasi melainkan malahan menerima klaim Portugal sebagai administering power. Meskipun faktanya Portugal telah meninggalkan Timor Timur dalam kondisi chaos dan bahkan memberikan dukungan senjata kepada faksi Fretilin. Yang kemudian digunakan Fretilin untuk meleyapkan rival politik mereka dari Apodeti, UDT, KOTA dan Trabhalista, agar mereka bisa diterima sebagai satu satunya wakil sah rakyat Timor Timur.
Seyogianya, PBB mengambil sikap netral dan objektif dengan mengakui dan menrima kesepakatan yang telah dicapai oleh mayoritas masyarakat lokal, yang direpresentasikan oleh keempat partai politik tersebut. Namun, keputusan PBB mengakui Portugal sebagai administering power justru menunjukkan ketidaktepatan dalam menganalisis situasi yang sesungguhnya, sekaligus memperlihatkan ketidaknetralannya.
Masalah ini mencuat dimana media internasional, dengan segala pengaruhnya, yg mana hanya memberikan perhatian kepada pihak Anti Integrasi, sehingga narasi konflik yang tersebar luas lebih mengarah pada sudut pandang mereka. Kisah ini kemudian menyebar ke seluruh dunia, menciptakan opini publik yang didasarkan pada versi Anti Integrasi. Opini dunia yang telah terbentuk ini kemudian menghakimi Pro Integrasi dan juga pemerintah Indonesia sebagai "Bad Guy" dan Anti Integrasi sebagai "Good Guy." Pandangan ini bertahan lama dan diterima sebagai kebenaran mutlak, yang pada akhirnya mempengaruhi PBB dalam penyelesaian konflik di Timor Timur. PBB datang dengan prasangka negatif terhadap Pro Integrasi, yang tercermin dalam tindakan dan pendekatan mereka.
Opini dunia yang telah terbentuk dan diterima sebagai kebenaran menyebabkan PBB cenderung mendukung Anti Integrasi dan menghakimi Pro Integrasi sebagai "Bad Guy," bahkan sebelum kehadirannya di Timor Timur.
Ketika PBB terlibat dalam penyelenggaraan jajak pendapat di Timor Timur dengan, peran mereka menjadi subjek kritik. PBB dianggap tidak memahami secara mendalam dinamika konflik yang ada, dan cenderung terjebak dalam asumsi yang telah dibangun oleh kelompok perlawanan anti-Integrasi seperti Fretilin dan CNRT. Ketika PBB bertugas dalam misi UNAMET pada tahun 1999, ada kecenderungan untuk memandang Timor Timur sebagai entitas yang harus dilepaskan dari Indonesia, berdasarkan asumsi yang lebih mendukung pandangan anti-Indonesia. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam penanganan konflik, di mana pandangan dan kepentingan pihak pro-Indonesia yang mendukung Integrasi tidak sepenuhnya dipertimbangkan.
Hasil yang kontroversial dari jajak pendapat tersebut kemudian diikuti dengan pembentukan UNTAET sebagai tahapan transisi, sebelum PBB menyerahkan Timor Timur kepada salah satu faksi yang bertikai, seperti CNRT atau neo-FRETILIN pada masa itu. Para pemimpin mereka adalah individu yang terlibat dalam konflik saudara di antara kelompok-kelompok seperti Apodeti, UDT, KOTA, dan Trabhalista. Sejak saat itu, Timor Timur yang kemudian menjadi Timor Leste dikelola oleh mereka, dan dampaknya sudah dapat dievaluasi setelah 24 tahun di bawah kepemimpinan orang-orang yang pernah terlibat dalam kekerasan pada tahun 1975-76.