Habibie, the Deep State dan Jajak Pendapat di Timor Timur


Oleh: 
Aboeprijadi Santoso

Sehari setelah Peristiwa Santa Cruz 12 November 1991, isu Timor Timur meledak di Eropa. Ratusan demonstran tewas. Tayangan video yang diselundupkan dari Dili merajai media dunia. Malam itu juga saya menelepon Wakil Perjuangan Timor Timur José Ramos-Horta, saat itu di Strassbourg, menyampaikan belasungkawa. Beberapa hari kemudian tampil seorang warga Indonesia, secara anonim, di televisi memprotes kekejaman tentara. Satu hal yang jarang terjadi di media dunia. Dia-lah George Junus Aditjondro. Sejak itu, kami sering berkontak, bertemu di Portugal, Amsterdam, dan Jakarta. Ia pun sering menjadi narasumber siaran kami di Radio Nederland.

George Junus Aditjondro, seorang cendekia-cum-aktivis yang gigih malang melintang di seantero Nusantara. Tulisannya mendalami kondisi perjuangan di Timor Timur, masalah lingkungan hidup di Jawa, penindasan penduduk di Papua hingga isu korupsi elite kuasa di Jakarta. Dari Ramelau, Kedung Ombo, dan Papua hingga mata rantai korupsi dan bisnis presiden, ia menguraikan kesewenangan penguasa yang tak hendak menghormati hak-hak warga. Ia mengangkat ihwal “korupsi” dalam arti luas: korupsi kuasa. Yaitu: kesewenangan aparat negara sejak pendudukan militer (Orde Baru terhadap Timor-Leste), kesewenangan terha- dap kelestarian lingkungan hidup yang mengancam kehidupan masyarakat, kesewenangan terhadap hak-hak rakyat lokal (Jawa, Papua) dan kesewenangan terhadap sumber daya finansial. Inti- nya: ia menohok kesewenang-sewenangan negara.

Dengan semangat yang sama, tulisan berikut hendak mendalami karakter rezim pendudukan Indonesia di tanah jajahan yang bernama “Provinsi ke-27 Timor Timur”, dengan mencatat perkembangan di masa kepresidenan B.J. Habibie menyusul mundurnya Presiden Soeharto, dan Jajak Pendapat (Referendum) PBB di Timor Timur Agustus 1999. 1)

London, April 1998

Sebulan sebelum Presiden Soeharto mundur, Wakil Presiden B.J. Habibie menghadiri KTT Asem (Asia-Europe Meeting) II di London diikuti sejumlah tokoh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Saat itu penguasa Orde Baru waswas ter- hadap pergulatan kuasa antara kelompok perwira tinggi ABRI selama dekade 1990-an antara lain seputar isu Tim-Tim. Soeharto tengah memperkuat legitimasinya dengan melirik politisi Islam. Sejak 1970-an, jauh selepas Genosida 1965-1966, Orde Baru tidak lagi mencemaskan perlawanan massa. Sumpah serapah Gebuk! (1989) yang dialamatkannya kepada Benny Moerdani sepulang dari Beograd, menandai obsesi Soeharto beralih ke aparat bekas tunggangannya, yaitu mengatur agar elite ABRI tidak mengganggu kuasanya. Pada saat bersamaan, sementara kalangan ICMI berbicara tentang ABRI dan pimpinannya yang disebut dengan kode: “aparat”.

Di London April 1998 itu salah satu tokoh ICMI, Adi Sasono, hadir sebagai staf wapres. Saya mengenal Mas Adi sejak 1980- an di tengah para aktivis INGI—Adnan Buyung Nasution, Mulya Lubis, Hakim Garuda Nusantara, Gus Dur—saat berkumpul di Bussum. Adi Sasono kemudian dikenal sebagai salah satu dari Trio Habibie. Berjumpa di lorong hotel, dia menyapa spontan “Hai Tos, selamat ya! Tim-Tim, beres deh!” Saya tertegun. Apa yang “beres”?

Mengapa dia katakan itu dengan nada menjanjikan? Soeharto saat itu masih jaya. Perkembangan terakhir menunjukkan Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan Uskup Timor Carlos Felipe Ximenes Belo mencoba membujuk presiden agar menimbang opsi otonomi khusus, tetapi Soeharto menolak. Pernah, saat di helikopter usai meresmikan patung Yesus Christus Rei di Dili, Uskup Belo memohon kesempatan audiensi di Jakarta. Soeharto menjawab dengan senyum kosong. Alatas menangkis pertanyaan sekitar special autonomy dengan menggambarkan sikap “sepihak” para penyokong Timor Timur.“Well, they want to have the cake and eat it, too, he?” Tukasnya menuduh mereka hanya menuntut untuk kepentingan sendiri: kini otonomi, kelak merdeka. Meskipun di bawah tekanan dunia, Soeharto berkeras kepala.

Soeharto, Sang Gubernur Jenderal

Soeharto adalah penguasa paling lama sejak kepulauan Nusantara menjadi sebuah unit negara di bawah Gubernur Jenderal J.C. Van Heutsz (1905-1910). Mirip gubernur jenderal Belanda, Soeharto berambisi digdaya, menuntut keamanan terkendali dengan kuasa semacam gouverneur general yang memiliki exorbitante rechten (hak-hak luar biasa) dan menuntut Rust en Orde (Kamtibnas). Kuasa negara menjadi tolok ukur prestisenya. Mengakui hak otonomi khusus bagi Timor Timur—atau Aceh, Papua—tak ada dalam kamusnya.

Lebih dari para pendahulunya, Soeharto berhasil menanamkan doktrin kesatuan teritorial pada aparatnya, ABRI. Meski sempat bimbang tentang cara-cara menyerbu Tim-Tim, tetapi sekali menyerbu pada 1975 berkat desakan Benny Moerdani dan lampu hijau Presiden Amerika Serikat Gerard Ford dan Menlu Henry Kissinger, dan menganeksasinya pada 1976, dia berkepala batu. Serupa Napoleon dan Hitler untuk Eropa, rezim Soeharto seperti memimpikan kesatuan negara dengan memanipulasi konsep “Wawasan Nusantara” dalam Law of the Sea yang mencakup Timor Timur. Sejak dasawarsa 1970-an itulah kita mengenal frasa “NKRI Harga Mati” (Unitary State or Death) yang pada prakteknya menjadi doktrin politik ABRI.

Dengan pintu tertutup rapat bagi solusi apa pun mengenai Tim-Tim pada 1998, antusiasme Adi Sasono tadi menjadi teka- teki. Setengah tahun kemudian, Habibie mengusulkan Jajak Pendapat (Referendum) PBB.

The Deep State

Sayang, tak banyak diketahui, cerita lengkap di balik itu. Maklum, Trio Habibie itu harus berkutat di tingkat elite negara di tengah transisi selama setahun sebelum pemilihan umum. Timor Timur pada 1997-1998 dilanda kerusuhan yang meradang sejak aksi- aksi lompat pagar aktivis Timor di sejumlah perwakilan asing di Jakarta sejak 1995. Trio Habibie tidak terkait perkembangan di lapangan. Mereka jauh dari aksi-aksi pro-Timor di dalam dan luar negeri.

Untuk “sektor” ini, media pada 1990-an harus berpaling ke aktivis HAM Ibu Ade Rostina Sitompul, kawan-kawan aktivis LSM, PRD, Pijar, Solidamor, Yayasan Hak, para jurnalis dan media dalam dan luar negeri. Di Eropa kebangkitan gerakan pro-Timor sejak 1975 bergulir lebih dini. Gerakan ini dirintis oleh Olle Tornquist dan Hendrik Amarhorseja di Stockholm, Swedia, kemudian Carmel Budiardjo dan Liem Soei Liong dari Tapol di London, Yvette Lawson dan Hasjrul Junaid dari Kommittee Indonesie di Amsterdam, serta Kusni Sulang dan Umar Said di Paris. Kemudian juga George Junus Aditjondro sekembali dari Amerika Serikat (1992). Tapol berperan kunci. Sejak 1993-94, dengan APCET di Manila—antara lain dengan José Ramos-Horta, Jose Amorim Dias, Paulino “Mouk Moruk” Gama, Rachland Nashidik, Tri Agus Siswowihardjo, Agus Lennon, Radziku, Helmy Fauzi, Max Lane, dan aktivis-aktivis Asia—aksi-aksi solidaritas di Eropa itu bersambung dengan di Indonesia.

Trio Habibie jauh dari semua itu. Mereka “bermain” di kubu seberang, di zona resmi negara yang aman, tetapi tidak populer bagi jejaring aktivis menjelang reformasi. Mereka berada di dalam state pada saat aparat state berada di persimpangan krusial: menjadi sasaran protes sekaligus bertransisi. Sebagai peralihan, rezim ini “dikawal” dari dalam tubuh rezim. Meminjam khasanah politik Turki, inilah apa yang disebut the Deep State, yaitu unsur-unsur formal dan informal di dalam institusi-institusi negara—jenderal-jenderal dengan klientelenya yang memantau tindak-tanduk penguasa resmi. Spektrumnya meliputi kelompok Hijau, berorientasi Islam seperti Feisal Tanjung, Prabowo, dan Kelompok “Merah-Putih” (nasionalis) termasuk unsur-unsur intel BAIS bentukan Benny Moerdani. Maka, tepat, pengamat Amerika Jeffrey Winter, dini hari, di akhir Mei 1998, memperingatkan bahwa Soeharto pada 22 Mei 1998 sebenarnya bukan stepping down (turun), melainkan stepping aside (minggir).

Barangkali, karena berada di tengah elite negara tapi giat di luar elit militer, Trio Habibie mampu “berbunyi” karena membawa citra membangun demokrasi. Setidaknya, untuk sementara. Tapi di mata para aktivis, mereka dicemoohkan karena terwaris citra cemar Orde Baru. Bukankah Habibie sepanjang dua dasawarsa (1978-1998) turut membantu diktator Soeharto. Mereka adalah “orang-orangnya Soeharto” yang menggantikan Soeharto dan orang-orangnya. Masih ingat gambar Habibie bagai Kaisar Napoleon yang galau, terpampang dalam ukuran amat besar di dinding Kedai Tempo di Utan Kayu, Jakarta, tempat rendezvous para jurnalis dan aktivis kala itu?

Trio Habibie

Ada kerancuan, memang, ketika negara seolah “hanya berganti baju”. Di satu pihak, mereka orang-orang lama, di lain pihak mereka berada di ambang era baru. Secara antropologis-historis, mereka bagai bocah di tengah rites de passage (alih-jenjang). Ingatlah peran pemuda di tengah pergolakan 1940-an, masa- masa perjuangan kemerdekaan kemudian kita kenal sebagai Revolusi Pemuda. Soerjono, aktivis Pesindo, misalnya, yang ikut pergerakan dari Blitar ke Surabaya dengan gelora revolusioner (kelak menjadi eksil di Amsterdam), memastikan bahwa tanpa spirit pemuda tak akan ada “10 Nopember 1945”. Di akhir 1990-an, yang “muda” bukanlah tokoh-tokohnya melainkan elan dan semangatnya: semangat baru menjelang tiga dekade kediktatoran.

Kiasan di atas penting untuk memahami upaya menggolkan jerih kerja mereka sehingga Presiden B.J. Habibie pada akhir Februari 1999 mengusulkan Jajak Pendapat PBB untuk Timor Timur. Tiga di antara mereka adalah Ginanjar Kartasasmita, Dewi Fortuna Anwar, dan Adi Sasono. Ginanjar, kala itu Menteri Energi dan Pertambangan di kabinet Habibie, menjadi pemicu. Sekembali dari sebuah konferensi di Jenewa, Ginanjar mengeluh tentang kealotan komunitas internasional terhadap Indonesia karena terkendala masalah Tim-Tim. Alatas, menlu yang paling kenyang menggeluti soal Tim-Tim, merumuskannya dengan jitu: ada kerikil di dalam sepatu kita. Jitu, tapi eufemistis: kerikil itu sesungguhnya sudah menjadi batu karang di hadapan bangsa. Di luar negeri, orang lebih suka menyebutnya Achilless heel (titik lemah) rezim.

Masukan Ginanjar menjadi pertimbangan penting bagi Habibie saat belum setengah tahun menjabat presiden. Sementara Dewi berkiprah di panggung, menjadi penasehat presiden bidang luar negeri, melayani media, diam-diam bertemu dengan wakil resmi gerakan kemerdekaan Timor Timur CNRM, José Ramos-Horta dan beberapa aktivis di luar negeri. Sedangkan Adi Sasono bermain sepi. Pasca Mei 1998, soal Tim-Tim menjadi hot potatoes yang harus dituntaskan demi menanggulangi krisis moneter dan menyukseskan kepresidenan Habibie. Dan, harus segera. Hal ini membuat Menlu Alatas, di Jakarta, dan Wakil Tetap RI untuk PBB Wisnumurti, saat mendarat di New York, terkejut ketika mendengar bahwa Habibie telah resmi mengumumkan Jajak Pendapat PBB.

Para jenderal kunci seperti Menko Polkam Feisal Tanjung dan Pangab Wiranto menyetujui solusi jajak pendapat untuk Tim-Tim. Mereka yakin kelompok pro-integrasi akan menang. Hanya satu— Zacky Anwar Makarim—meramalkan kekalahan atau kemenangan tipis. Dari semak-semak Deep State inilah, tim Kopassus—Zacky Anwar Makarim, Garnadi, Gleny Kahuripan, Adam Damiri, Tony Suratman, Yayat Sudrajat, Nur Moeis—menyiapkan Plan B yang dikenal sebagai “Dokumen Garnadi”. Oleh karena situasi remang- remang itulah, agaknya, Adi Sasono enggan bercerita lengkap, tetapi mengisyaratkan dengan menekankan pentingnya “aparat” (ABRI) meninggalkan bumi Timor Timur “karena demokrasi,” tegasnya, “menjadi hak rakyat.”

Sebaliknya, Habibie, yang sejak awal kepresidenannya terancam kudeta Letjen Prabowo Subianto, ingin bergerak cepat. Oleh karena itu, Trio Habibie merasa perlu menyiapkan opsi Otonomi Khusus sebelumnya. Mereka tahu gagasan tersebut akan ditolak Soeharto, tapi dengan perhitungan politik bahwa mereka harus menata momentum untuk mengawal Habibie dalam menggolkan hak-hak rakyat Tim-Tim.

Ikon-Ikon Bangsa Terjajah

Tahun 1998, tahun genting, tahun krusial, bagi Indonesia. Tahun 1999, tahun waswas, tahun yang menentukan bagi Timor Timur. Isyarat Ginanjar—ada “kerikil” dunia gara-gara “kerikil” Tim- Tim—mendapat perhatian serius. Dalam keadaan gamang itu, pertengahan Desember 1998 datang surat PM Australia John Howard yang mengusulkan agar Timor Timur diberi waktu demi otonomi khusus sebelum memilih status-tetap—seperti solusi bagi Kaledonia Baru, jajahan Prancis di Pasifik. Presiden Habibie terkejut dan tersinggung. Kalau Alatas dulu berdalih ide otsus itu curang, Habibie menafsirkan usul Howard sebagai “kebijakan kolonial”.

Alih-alih disambut Jakarta, banting-stir Howard malah menyulut amarah. Walhasil, usulan Habibie demi Jajak Pendapat PBB sesungguhnya bertolak dari kekesalan tatkala usul PM Australia dianggap menyamakan Indonesia dan Prancis sebagai penjajah.

Bagi Timor Timur, usulan Habibie bagai pucuk dicinta ulam pun tiba. Jajak Pendapat PBB membuka pintu untuk memulihkan hak penentuan nasib sendiri. Sedangkan motif referendum pada Habibie adalah menolak gagasan tersirat bahwa Indonesia adalah penjajah Timor Timur. Bagi Trio Habibie, selaku aktor politik negara, motif itu tak soal. Itu adalah bagian dari momentum taktis.

Sejak Peristiwa Santa Cruz 1991 publik Indonesia, menyusul publik jagad, mulai mencium aib soal Tim-Tim. Sejarawan Ong Hok Ham di The Jakarta Post menggambarkan Orde Baru bagai rezim Hindia Belanda. Ben Anderson, saya jumpai di Estoril, Portugal (1993), menunjuk: “(Situasi) Tim-Tim itu persis seperti (perang kolonial) Belanda dulu (1945-1949).” Secara militer Tim- Tim “bisa dihabisi” oleh ABRI, seperti laskar-laskar Indonesia bisa dipatahkan oleh Belanda, tetapi opsi militer ini pasti buntu. Begitu pula penahanan Xanana Gusmão di Cipinang (1992): dampaknya sama dengan penahanan Sukarno di Yogyakarta dan Parapat (1949). Karena itu, Soeharto-ABRI, analog dengan Belanda-KNIL, demi kepentingannya sendiri, harus membebaskan “ikon-ikon bangsa” terjajah itu untuk mencari solusi politik.

Seperti konflik Aceh dan Papua dicemari gelombang kekerasan terhadap penduduk sipil, solusi Tim-Tim pun dinodai aib. Agen- agen Deep State—juga Menteri Transmigrasi Hendropriyono yang mendeportasi ribuan warga Tim-Tim ke provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)—memainkan Plan B sejak hasil Jajak Pendapat PBB pada 4 September mengumumkan kemenangan pihak pro- kemerdekaan (79%). Mereka melancarkan aksi kekerasan dan bumi-hangus dengan mengerahkan ratusan milisi sebagai proxies. Hasilnya menelan 1400-an jiwa, mendeportasi 200-an ribu warga ke NTT dan menjarah harta benda pejabat lokal.2  Di Dili pada 5 September 1999, rumah hunian kelompok Solidamor di Rue de Carvalho dibakar, kami mengungsi. Bagi rakyat Tim-Tim, mengungsi itu lazim. “Lari dan mengungsi menjadi tradisi kami sejak Indonesia masuk,” keluh sebuah keluarga di Dili.

Di situlah terungkap keterbatasan fatal peran Trio Habibie, termasuk Habibie sendiri. Lagi-lagi, pihak luar disalahkan. Alasannya: kekerasan terjadi karena Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mempercepat pengumuman hasil Jajak Pendapat. Padahal, selaku Panglima Tertinggi, Habibie pada 20 September baru memerintahkan agar mengendalikan keadaan dan mengundang pasukan Australia saat darah sudah mengalir. Aib sudah terjadi.

Walhasil, mewarisi kediktatoran Orde Baru Soeharto, Habibie, tragiknya, tak kuasa mencegah kesewenangan ABRI dan milisinya. Namun harus dicatat ia menyumbang nilai-nilai demokrasi, memulihkan hak-hak rakyat Timor-Leste, membebaskan tahanan politik dan menggelar pemilu di Indonesia (1999).

Menurut pihak ABRI, kekerasan di Tim-Tim terjadi akibat “perang saudara” antara kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan. Suatu hipokrisi, karena mengabaikan agresi dan intervensi opsus di bawah Ali Moertopo dan Benny Moerdani sejak 1974 yang memperkuat kelompok-kelompok pro-Indonesia untuk melawan Fretilin. Menjelang referendum, mencegah “perang saudara” adalah misi Pangab Wiranto. José Ramos-Horta, saya temui di Jenewa, menanggapi “nyanyian” Pangab itu begini: Jenderal Wiranto seperti Jack the Ripper (penjahat Inggris Abad XIX) “pretending to reconcile the women he raped” (mengaku mau mendamaikan perempuan-perempuan yang diperkosanya).

Beruntung bagi Wiranto dan kawan-kawannya, mereka belakangan “diselamatkan” dari tribunal internasional. Februari 2003 Panel Spesial “Serious Crimes Unit” (SCU) PBB mendakwa mereka melakukan tiga jenis Kejahatan Kemanusiaan (Crimes against Humanity): persekusi, pembunuhan massal dan deportasi. Namun ketika Jaksa Agung Timor-Leste Longuinhos Monteiro meminta SCU menahan Wiranto (Mei 2004), Presiden Xanana Gusmão membatalkan penahanan tersebut. Ironinya adalah keputusan strategis-diplomatis itu menyelamatkan mereka dua tahun setelah Timor-Leste merdeka (20 Mei 2002) di tengah potensi ancaman ribuan milisi dan keberadaan pasukan Indonesia di NTT—provinsi Indonesia yang berpotensi membahayakan negara tetangga baru.

Walhasil, Pengadilan ad-hoc HAM Indonesia mencabut dakwaan terhadap para perwira tinggi ABRI itu (2003), juga dengan intervensi dan pelukan Xanana menyambut Wiranto di Jakarta (2004), maka kedua negara melimpahkan impunitas bagi para penanggungjawab dan pelaku kekerasan September 1999. Empat tahun kemudian, Agustus 2008, atas prakarsa Timor-Leste, negara baru ini bersama pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersepakat mengubur “semuanya untuk selamanya”: tidak hanya kasus kekerasan April-September 1999, tapi juga kejahatan perang dan pendudukan selama 24 tahun, hanya dengan dua gores tandatangan kesepakatan CTF (Timor- Leste-Indonesia Joint Commission of Truth & Friendship atau KKP, Komisi Kebenaran dan Persahabatan) di Denpasar (2008). 3)

Dengan demikian, di bawah kutukan geopolitik, persahabatan baru David dan Goliath dibayar dengan impunitas timbal-balik secara menyeluruh. Tak seorang pun perwira dan milisi—kecuali Eurico Guterres—dihukum. Begitu juga mereka yang pernah berperilaku kejam di pihak ABRI maupun Fretilin. Di jajaran ABRI, mereka bahkan naik pangkat meski tetap berstatus resmi selaku terdakwa SCU.

Tangan-Tangan Genosidal

Perang rahasia Indonesia melawan Fretilin (1974-1978), disusul status Tim-Tim sebagai daerah militer dan provinsi tertutup hingga 1989, telah menempatkan ABRI di Tim-Tim sebagai kelas sosial kuasa yang hegemonik. Pertama kali dalam sejarah sebuah aparat negara Indonesia menjadi ruling social class. Ernst Utrecht di tahun 1970 menyebut Indonesia, di bawah Orde Baru, diperintah oleh sebuah kasta militer. Faktanya: sepanjang 1990-an Tim-Tim menjadi isu panas yang membelah jajaran elite ABRI. Ben Anderson menyindir dengan menunjuk perlunya slogan “Bebaskan Indonesia dari (isu) Tim-Tim”.

Peran eksklusif oligarki ABRI selaku kasta militer sesung- guhnya berlaku di Timor Timur sepanjang 1970-1990-an, ketimbang di Jakarta. Sepanjang pendudukan selama 24 tahun, ABRI— hanya elite ABRI—menguasai geopolitik dan infrastruktur di Timor Timur. Hanya mereka yang mengetahui dan menguasai kondisi politik, sumber daya ekonomi-keuangan (kopi PT Denok dibawah Benny Moerdani), struktur dan jaringan klientelis lokal yang memungkinkan mereka merekrut elite lokal dan milisi. Semua unsur birokrasi yang terlibat penyelenggaraan Jajak Pendapat PBB, dari Presiden, Trio Habibie, sejumlah kementerian (Luar Negeri, Hukum dan HAM, Transmigrasi) di pusat hingga pemerintah daerah dan camat, harus bekerja sama dengan ABRI. Semua itu memungkinkan elite militer bersinkronisasi secara rahasia menjalankan kerusuhan di masa Jajak Pendapat. Tak heran, uang palsu untuk membiayai milisi-milisi pun bisa beredar. Kasta militer itu bercokol di Dili, bukan di Jakarta.

Satu-satunya kekuatan yang mengganggu kasta ABRI sepanjang Jajak Pendapat adalah kehadiran ratusan wakil lembaga PBB UNAMET, media dan sejumlah LSM asing. Menurut penasehat politik UNAMET Geoffrey Robinson, hal itu “membuat penguasa militer terkejut”, tak siap. 4)  Dengan kata lain, jika tanpa mata dunia itu, persekusi dan genosida—face-to-face genocide ala 1965-1966—bisa terjadi meluas.

Pahitnya, aksi-aksi dan potensi kekerasan itu disaksikan dan dibiarkan terjadi oleh tim pemerintah selaku laison officers yang bertugas memantau penyelenggaraan Jajak Pendapat. Mereka hadir di jumpa pers, berkeliling kota dan beristirahat di bungalow di Pantai Makassar. Anehnya, mereka—Marzuki Darusman, Dino Patti Djalal, Timbul Silaen, Benyamin Mangkudilaga, dan lain-lain—telah kembali ke Jakarta sebelum 4 September, dua hari sebelum aksi bumi hangus bermula, yang seharusnya bisa mereka laporkan untuk mencegahnya. Begitu pula para jurnalis media arus utama Jakarta. Salah seorang wartawan mengaku “kami ditelpon Cilangkap diperintahkan pulang.” Benyamin Mangkudilaga, salah satu pejabat tadi, ketika saya temui, membenarkan: “Habis gimana, kami diminta pulang oleh Cilangkap kok.” 5)

Semua itu menegaskan adanya operasi Deep State langsung dari Markas Besar ABRI di Cilangkap. Setidaknya ada dua rantai komando bekerja di situ: komando resmi (Wiranto, Adam Damiri ke satuan-satuan lokal) dan jaringan antardepartemen di bawah Menko Polkam Feisal Tanjung. Namun, di lapangan ada satuan Kopassus di bawah Letkol. Tony Suratman, yang oleh diplomat asing disebut “paling mengancam keamanan.” Para komandan lapangan di mata rantai itulah yang menggalang aksi kekerasan milisi pro-integrasi sejak serbuan ke rumah keluarga Carrascalao di Dili, April, hingga bumi hangus, deportasi dan penjarahan pada September 1999.

The Deep State dengan demikian telah mempraktikkan doktrin “NKRI Harga Mati” menjadi semacam runaway nationalism dengan memakai tangan-tangan genosidal milisi-milisi pro-integrasi. Sejarah kemerdekaan Timor-Leste menjadi suatu pembelajaran pahit, tetapi berharga bagi publik maupun Republik Indonesia dan Timor-Leste.


Catatan

1)   Artikel ini sebagian saya turunkan dan perbarui dari catatan saya “Trio Habibie dan Tim-Tim”, https://indoprogress.com/2016/09/trio-habibie-tim-tim/

2)   Aboeprijadi Santoso. “East Timor: Army’s Plot and Human Tragedy”, diakses di http://aboeprijadi.com/2020/10/east-timor-armys-plot-and-a-human-tragedy/

3)  Aboeprijadi Santoso. “CTF report: Burying some inconvenient truth”, diakses di http://aboeprijadi.com/2020/10/ctf-report-burying-some-inconvenient-truth/. Semula terbit di The Jakarta Post, 22 Juli 2008.

4)  Aboeprijadi Santoso. “What of truth commission for East Timor?”, diakses di https://gsp.yale.edu/case-studies/east-timor/bibliography/what-truth-commission-east-timor. Semula terbit di The Jakarta Post, 10 Januari 2005.

5  Aboeprijadi Santoso. “Timor-Leste 1999 or, how to sell lies”, diakses di https:// www.etan.org/et2007/may/05/01tl 1999.htm. Semula terbit di The Jakarta Post, 1 Mei 2007.


*) Artikel ini merupakan Bab 8, hal. 99-111 dari buku ‘Meniti Jalan Berduri. Mengenang George Junus Aditjondro’, (ed.) Stanley Adi Prasetyo, Aderito de Jesus Soares & Basilius Triharyanto, (238 hal) 2023, yang diluncurkan di Jakarta pada 29 Mei 2023.

Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama