DILEMA JAJAK PENDAPAT : Keputusan Emosional yang Mengubah Nasib Timor Timur


 

Oleh : Basmeri Integrasionis

Pada tahun 1999, Indonesia dihadapkan pada sebuah keputusan bersejarah yang mengguncang fondasi nasionalisme: pelepasan Timor Timur. Keputusan ini bukan sekadar hasil dari dinamika politik internasional, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor emosional dan personal yang mempengaruhi kebijakan negara. Narasi di balik keputusan ini menggambarkan kompleksitas kemanusiaan seorang pemimpin yang berhadapan dengan tekanan dan kekecewaan mendalam.

Latar Belakang: Upaya Penyelesaian Damai

Pada pertengahan tahun 1998, Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengusulkan penyelesaian damai untuk masalah Timor Timur dengan memberikan status khusus dan otonomi luas. Usulan ini diajukan kepada Presiden Habibie dan dibahas dalam Rapat Koordinasi Politik dan Keamanan (Rakor Polkam). Usulan tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Opsi I, memperoleh persetujuan dari Rakor Polkam dan disampaikan secara resmi kepada Sekretaris Jenderal PBB pada 18 Juni 1998.

Pada pertemuan tingkat menteri di bulan Agustus 1998, Ali Alatas menjelaskan bahwa Indonesia siap memberikan otonomi khusus kepada Timor Timur sebagai solusi akhir. Namun, Portugal menganggap ini hanya sebagai penyelesaian sementara dan menuntut agar rakyat Timor Timur diberi kesempatan menyuarakan pendapat mereka. Pembicaraan berlanjut dengan perundingan teknis dari September hingga Desember 1998, namun kritik internasional terus mengalir. Tokoh-tokoh anti-Integrasi Timor Timur dan komunitas internasional menuntut hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Timor Timur.

Sentimen Pribadi: Ketersinggungan dan Penghinaan

Saat menghadapi masalah Timor Timur, Presiden Habibie merasa adanya perbedaan mendasar antara Timor Timur dan provinsi lain seperti Aceh. Timor Timur tidak termasuk dalam wilayah yang diproklamirkan sebagai bagian dari Republik Indonesia pasca-penjajahan Belanda. Dalam upaya mencari solusi, Habibie berusaha berdialog dengan tokoh-tokoh penting di Timor Timur, salah satunya Uskup Belo. Habibie berharap bisa mendapatkan masukan objektif dan tulus dari Uskup Belo.

Namun, upaya ini menemui jalan buntu ketika Uskup Belo, yang memiliki pengaruh besar di Timor Timur, menolak undangan Habibie. Uskup Belo menyatakan bahwa ia "mewakili Tuhan" dan tidak punya waktu untuk bertemu dengan Presiden Indonesia, yang hanya mewakili 220 juta rakyat. Penolakan ini menimbulkan kekecewaan mendalam bagi Habibie. Sikap Uskup Belo dianggap meremehkan usaha dialog Habibie, yang kemudian mendorongnya mempertimbangkan opsi lain.

Tekanan Internasional: Surat dari Australia

Selain faktor internal, tekanan dari komunitas internasional turut mempengaruhi keputusan Presiden Habibie. Perdana Menteri Australia, John Howard, mengirim surat yang menyarankan solusi mirip dengan pendekatan New Caledonia, di mana rakyat diberi otonomi luas selama sepuluh tahun sebelum memutuskan masa depan mereka. Howard beranggapan bahwa memberikan kesempatan bagi rakyat Timor Timur untuk menentukan nasib mereka sendiri akan lebih diterima oleh komunitas internasional.

Kombinasi antara tekanan internasional, kekecewaan pribadi, dan dinamika politik domestik mendorong Habibie mempertimbangkan opsi yang sebelumnya dianggap tidak mungkin. Ia menyadari bahwa mempertahankan Timor Timur dalam kondisi ketidakpastian hanya akan menambah biaya dan kritik internasional terhadap Indonesia.

Keputusan yang Mengubah Segalanya

Pada Januari 1999, dalam sidang kabinet paripurna, Habibie membahas usulan otonomi khusus selama sepuluh tahun dari PM Australia John Howard. Habibie meminta jaminan dari para menteri dan Panglima ABRI Wiranto bahwa rakyat Timor Timur akan memilih tetap bergabung dengan NKRI setelah sepuluh tahun. Ketika tidak ada yang bisa memberikan kepastian, Habibie memutuskan untuk memberikan opsi jajak pendapat: otonomi khusus atau lepas dari NKRI. Inilah yg dikenal sebagai Opsi II.

Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengusulkan penundaan keputusan ini. Ia mengakui bahwa dalam sidang kabinet, ia kalah dalam memperjuangkan penundaan keputusan tersebut. Meskipun awalnya Menlu Alatas berusaha menunda keputusan hingga perundingan selesai, kebocoran informasi ke media mempercepat pengambilan keputusan. keputusan Presiden Habibie untuk melepaskan Timor Timur melalui Jajak Pendapat akhirnya diterima oleh sidang kabinet. Keputusan ini mencerminkan kekecewaan pribadi Habibie terhadap sikap tinggi hati Uskup Belo dan tekanan internasional yang kuat.

Dengan segala kompleksitasnya, keputusan ini menunjukkan bagaimana dinamika pribadi, tekanan internasional, dan pertimbangan politik domestik bisa bersatu dalam membentuk kebijakan yang mengubah sejarah. Keputusan ini juga mengungkapkan dampak emosi dan penghinaan pribadi terhadap kebijakan penting negara, menekankan perlunya keputusan bijaksana demi menjaga integritas dan kepentingan nasional. Ini adalah titik balik penting dalam sejarah Indonesia yang memerlukan refleksi mendalam untuk memahami implikasi dan pelajaran dari peristiwa tersebut.


Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama