Tulsan ini adalah respon dari konten ini.
Kpd. Admin Millenialzkece
1. Saya sudah menonton videonya hingga tuntas. Namun ada hal penting untuk di beritahu. Menit 09.04-06 disebut KKO alias Kopuassus Indonesia. Yang benar ketika itu adalah KKO (Marinir/AL) dan Kopasshanda (kini namanya ialah Kopassus). Menit 09.09 disebut Fretilin menyerah. Yang benar, mereka tidak pernah menyerah secara kelembagaan, kalau secara personal ya banyak. Selanjutnya, saat jelaskan kisah 2 minggu sebelum 12 Nop 1991, admin hanya sebutkan korban kekerasan dipihak pro-kemerdekaan, padahal dimalam yang sama, ada juga korban mati di pihak pro integrasi. Hati-hati bang Admin kena propaganda sejarah...hehehehe. Saat referendum, disebut memilih merdeka, PADAHAL tidak ada opsi merdeka dalam kertas suara Jajak Pendapat (bukan Refrendum yaa). Oya, Indonesia di Timtim tak lepas dari konteks Perang Dingin, sebuah hal penting yang tidak menjadi “penekanan utama” dalam konten ini (lihat no.13 dibawah).
2. Saya meyakini, sumber admin cukup banyak, namun sayangnya kebanyakan berkiblat pada data dari pihak Barat, padahal kini sudah banyak buku-buku orang Indonesia yang menulis masa lalu dan kini tentang Timor Leste (Timles)/Timor Timur (Timtim).
3. Saya coba berbagi soal masa lalu Timtim yang dibahas dalam konten ini, semoga dapat melengkapi dengan baik. Setelah Portugal keluar dari Timor Portugis (Timpor) pada Agustus 1975, konflik politik antar partai berubah menjadi konflik bersenjata. Sejak saat itu, Timpor berstatus “wilayah tak berpemerintah”. Sejak Fretilin berkuasa hingga awal Desember 1975, musuh-musuh politiknya dieksekusi. Siapa yang pro integrasi, maka nasibnya buruk. Berapa jumlahnya yang tewas dalam 3 bulan Fretilin berkuasa? puluhan ribu.
4. Akhirnya ada 2 kubu yang bertentangan. Di satu sisi adalah Fretilin yang kiri (komunis) disisi lainnya ialah pro integrasi (Apodeti, UDT, Trabalista, dan KOTA). Pihak pro integrasi meminta bantuan kepada ABRI. Sejak Oktober 1975 perang terbuka semakin meluas, di dalam kota Dili juga di perbatasan. Selanjutnya, pihak pro integrasi tersingkir ke perbatasan bersama puluhan ribu pengungsi, dan mereka yang mau berperang lalu kembali masuk ke Timpor dengan bantuan ABRI.
5. Hingga pertengahan Nopember 1975, Fretilin semakin terdesak karena kantong-kantong pertahanan mereka di perbatasan sudah direbut “Blue Jeans Soldier” dan kekuatan 4 partai Timpor. Kondisi mendesak inilah yang mengharuskan Fretilin buat Proklamasi sepihak tanggal 28 Nopember 1975. Fretilin anggap Timpor merdeka, sambil tetap menganggap Portugal masih berkuasa di Timpor. Fretilin terus menghubungi Portugis agar kembali lagi ke Timpor untuk selesaikan program dekolonisasi yang sudah dicanangkan, namun negara itu tak pernah kembali setelah meninggalkan koloninya begitu saja dalam keadaan chaos. Mereka antar orang Timor saling membunuh, meraka terlibat perang saudara berdarah.
6. Berselang 2 hari kemudian, pihak pro integrasi melakukan proklamasi tandingan dengan nama “Balibo” padahal ditandatangani di Bali, namun pernyataan yang isinya adalah keinginan ber-integrasi dengan Indonesia adalah fakta yang tidak pernah diingkari oleh mereka yang menandatanganinya. 7. Proklamasi Balibo inilah berarti sebagai bentuk ajakan, undangan, dan dijadikan pijakan bagi ABRI secara terbuka masuk dan menguasai Timpor. ABRI seperti “teman baik yang kuat” dari keempat partai yang terdesak oleh Fretilin. Dengan kekuatan besar, ABRI memasuki Dili. Perang tak terelakan sejak pagi hari. Siangnya, sudah dibawah kendali ABRI.
8. Operasi Seroja ini berangsung selama 3 tahun, 1975-1979. Perang terbuka banyak terjadi di kota hingga ke desa, karena kalah maka Fretilin lari ke hutan-hutan. Bersama rakyat Timpor yang kebanyakan tidak paham akan terjadi perang besar, lari hingga ke gunung-gunung. Perang terus terjadi, rakyat yang terkena dampaknya. Dari kena alat perang hingga terdampak kelaparan. Dalam 3 tahun inilah, tercatat dalam sejarah RDTL sebanyak ratusan ribu, atau umumnya bertengger pada angka 250 ribu orang tewas. 9. Angka sebesar itu tentunya perlu klarifikasi yang terukur. Kenapa ?, pencatatan jumlah penduduk yang buruk dijaman Portugis itu bisa hasilkan bias, metode perhitungan yang akurat, dan tentunya pembuktian. Untuk menguatkan, bisa mencontoh Bosnia dengan cara penggalian kuburan massal dan sejenisnya. Setelah itu, dipastikan apakah korban benar tewas karena senjata atau bom, atau karena kelaparan?. Hitung, mana yang lebih banyak?. Apakah mereka sipil yang tewas karena serangan pasukan pro integrasi, atau korban “tameng hidup” yang dipersiapkan Fretilin?.
10. Sejak tahun 1980-1999, kekuatan Fretilin terus berkurang. Dengan demikian, sepengetahuan saya, perang/kontak senjata terbuka dan seringkali berjam-jam, berhari-hari, nyaris tidak pernah terjadi. Bahkah, setelah 1979, tidak pernah ada kontak senjata yang menewaskan anggota ABRI sebanyak 50 jiwa dalam 1 kali pertempuran.
11. Oleh karena terdesak amunisi dan personil, Fretilin memilih bergerilya. Teknik “hit n run” adalah cara untuk memukul kekuatan ABRI yang mencari dan memburu sisa-sisa Fretilin paska Operasi Seroja. Dengan teknik gerilya ini, Fretilin mengacaukan rencana ABRI sebagai pendukung pembangunan di propinsi baru, yaitu Timor Timur (Timtim). Ya, akhirnya secara sadar, ABRI melokalisir agar konflik hanya terjadi di gunung, di hutan, jauh dari perkotaan agar tak mengganggu laju pembangunan.
12. Fretilin kalah dengan kekuatan militer ABRI, dan mereka mulai buat strategi baru dengan merangsek ke pemuda di kota-kota dengan cara klandestein, target utamanya ialah pemuda Timtim yang mendapatkan akses pendidikan tanpa diskriminasi jaman integrasi. Pemuda terpelajar inilah yang menjadi “tulang punggung” untuk “show” ke dunia internasional tentang “apa yang sebenarnya terjadi di Timtim” tentunya menurut versi pihak yang anti integrasi.
13. Sebelum Perang Dingin usai, usaha pihak anti integrasi/pro kemerdekaan hanya sebuah “mimpi di siang bolong”, tidak berdampak apa-apa, dunia seakan membungkam. Namun kemudian, semua berbalik arah ketika Uni Soviet bubar, isu dunia berubah. Sejak 1990, sekutu-sekutu yang selama ini, secara terbuka membela, lalu “mundur teratur” meninggalkan Indonesia. Tidak mengagetkan jika demonstarsi Santa Cruz yang berdarah itu, dapat dengan cepat mendapat atensi dunia.
14. Kekerasan memang terjadi di Timtim, namun wilayah lainnya juga. Sebut saja Talang Sari dan Tanjung Priok. Bukan wilayah konflik (DOM) tetap kena hajar rezim. Membawa Timtim dengan kasus pelanggaran HAM ternyat laku dipasaran, namun tidak dengan kasus lainnya. Di sini saya percaya, bahwa “kontrak politik perang dingin” di Timtim sudah berakhir, dan segera Timtim akan lepas dari NKRI.
15. Krisis politik, dan diperparah dengan krisis ekonomi, membuat Indonesia merasa terbebani dengan pembiayaan “perawatan” propinsi Timtim. Maksudnya ?, Timtim sah jadi bagian NKRI tahun 1976, berarti 30-an tahun tertinggal dari propinsi lainnya. Secara kilat, propinsi ke-27 ini digelontorkan dana untuk kejar pebangunan. Label “anak emas” ya gara-gara ini, “97% pembangunan dari uang APBN dan 3% PAD (Pendapatan Asli Daerah)”. Lebih “men-emas-kan" Timtim, kemudian menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara mayoritas muslim yang membuatkan Patung Yesus terbesar kedua di dunia ketika itu untuk propinsi baru. Mobil nasional pakai nama “Timor”, dan bisa mendatangkan Pemuka Katolik No.1 di dunia, yaitu PAUS untuk datang ke Timtim padahal belum genap 15 tahun bersama Indonesia dimasa integrasi.
16. Saat Habibi menjabat, bagi dirinya adalah menjadi beban bagi masa depan NKRI, oleh karenanya Timtim sengaja dilepaskan. “Kesengajaan” ini terlihat jelas dari perbedaan mencolok jika dibandingkan bagaimana usaha keras pemerintah dalam Pepera di Papua. Sepertinya Habibi ingin berkata, jika Timtim tidak dilepas maka perbaikan ekonomi Indonesia (termasuk pinjaman internasional) yang berbanding lurus dengan usaha demokratisasi dan desentralisasi akan terhambat. Jelas, kepentingan domestik (dalam negeri) menjadi pertimbangan kuat dirinya, dan ternyata setelah itu, beban terlepas bebas juga menguntungkan dalam pergaulan internasional serta ekonomi. Hingga kini Timles (RDTL) menjadi pelanggan rutin produk Indonesia. Sekitar 70-80% kebutuhannya diimpor dari NKRI. Pada titik inilah, Habibie disanjung-sanjung sebagai sosok cerdas yang berani mengambil keputusan jajak pendapat untuk Timtim.
17. Oya, yang tahun 1999 itu jajak pendapat, bukan referendum. Beda utamanya ialah hasil jajak pendapat tidak pengaruhi pisahnya sebuah wilayah, hanya untuk mengetahui pendapat saja. Setelah itu bukan langsung ambil keputusan pisah atau menyatu seperti pola referendum, akan tetapi hasilnya diserahkan ke parlemen. Makanya, MPR memutuskan untuk menyatakan “tidak berlakunya TAP yang mengatur penyatuan Timtim sebagai propinsi ke NKRI” Terus ? lihat point no.3, yaitu kondisi Timtim dikembalikan sebelum gabung ke Indonesia, yaitu berstatus “wilayah tak berpemerintah”.
18. Kondisi status ini ternyata kemudian di ambil alih oleh PBB dengan menetapkan masa transisi untuk sebuah negara baru selama 3 tahun sejak 1999-2002. Bagi saya, ini adalah bagian dari “proses dekolonisasi yang tertunda sejak 1975”.
19. Mereka yang “Tidak Menerima Otonomi” atau media ketika itu menyebutkan sebagai pihak Pro kemerdekaan menguasai secara de fakto di seluruh Timtim (East Timor) sejak hasil Jajak Pendapat diumumkan. Sementara itu, mereka “Yang Menerima Otonomi” atau lazim disebut Pro integrasi memilih jadi WNI dan bermukim di perbatasan (NTT) atau wilayah NKRI lainnya. Klaim bahwa mereka dipaksa masuk ke wilayah Indonesia harus diklarifikasi ulang karena ribuan, bahkan ratusan ribu orang Timor masih memilih NKRI hingga kini.
20. Masa transisi 3 tahun itu, adalah masa untuk menentukan arah negara Timtim yang baru. Oleh karenanya seluruh rakyat Timor ditanya terlebih dahulu, maunya dengan konsep apa masa depan negaranya. Yupz, yang ditanya adalah seluruhnya, selanjutnya warna perbedaan politik (amat mungkin) akan muncul menjadi 3 bagian, yakni 1). merdeka dengan negara baru, 2). bergabung dengan NKRI, dan 3). tidak keduanya (bisa terpengaruh/dipengaruhi). Mereka, rakyat Timor ditanyakan melalui Referendum sebagai bagian integral dari self determination.
21. Jika semua rakyat Timor sepakat, maka negara baru Timtim bisa menjadi sebuah negara seperti RDTL kini, namun jika beda pendapat maka bisa beda hasilnya. Misalnya, Timtim bisa dibelah dua dengan bagian Timur menjadi negara baru untuk pro kemerdekaan, dan Barat untuk propinsi baru NKRI. Siapakah yang berhak memiliki suara dalam proses ini?, mereka yang ada di dalam wilayah Timtim atau mereka yang ada di wilayah Indonesia, termasuk orang Timor yang berada diluar kedua wilayah tersebut.
22. Kenyataannya, referendum untuk menyatakan nasib orang Timor tidak terlaksana hingga kini. Malahan, bukan referendum yang dilakukan akan tetapi menyelenggarakan Pemilu untuk lahirnya negara baru yang jelas-jelas “menyingkirkan” pendapat orang Timor pro integrasi yang ada di perbatasan. Seakan terlihat, Timtim (East Timor) dibuat oleh PBB hanya untuk orang Timor yang anti integrasi/pro kemerdekaan. So, bagaimana suara orang Timor yang beda pilihan saat jajak pendapat lalu?. Bukankah mereka juga berhak atas tanah kelahirannya (home land)?.
23. Setelah jadi RDTL, negara Australia yang datang bagai “malaikat tak bersayap” jelang dan saat jajak pendapat tahun 1999, kemudian “berulah”. Ungkapan “there’s no free lunch” tak berlebihan jika dilihat tindak-tanduk Australia dikubangan minyak Timor. “Penguasaan” minyak bumi oleh Australia akhirnya membawa RDTL ke mahkamah internasional untuk melawan dan menyelesaikan “kenakalan” Australia ini.
24. Nahasnya ialah Indonesia. Negara tetangga ini yang mengatur Timtim selama 24 tahun dengan gaya militeristik yang terbiasa dengan metode kerasnya, hingga kini disebut-sebut sebagai penjajah. Sementara itu, Portugis yang jelas-jelas menjajah selama 450 tahunan berikut penindasan, perbudakan, juga pembunuhan, dan Australia yang “menggerogoti bahkan menggondol” komoditas utama Timles, yaitu minyak bumi, mereka aman-aman saja. Kebencian terhadap Orde Baru dengan jaman integrasinya, tanpa disadari warga Timles kemudian tetap dilestarikan hingga “berubah” menjadi (tetap) benci Indonesia. Banyak diantara mereka sulit memisahkan Orde Baru dengan Indonesia (kini).
25. Kebencian yang di atau ter-lestarikan ini dengan labelnya: “INDONESIA MENJAJAH TIMOR LESTE” tak lepas dari pendidikan RDTL melalui mata pelajaran sejarah khususnya. Ya, ini adalah bagian dari “pembangunan sebuah bangsa”. Bagi WNI ini terasa menjengkelkan, terlepas kisah buruk kekerasan di masa integrasi, saya sendiri menyebut Indonesia di Timtim sebagai “Pembawa Peradaban Moderen” dan juga sebagai “Pencipta Revolusi Pendidikan”. 450 tahun keterbelakangan di jajah Portugis, dengan cepat diubah secara drastis. Kini, hasil produk integrasi, mayoritas menjadi tulang punggung keberlangsungan roda kehidupan Timor Leste.
26. Lazim disebuah negara baru, khususnya Timor Leste, mereka mengikis dan menghapus jejak para “penjajah yang tidak diharapkan” yaitu Indonesia. Namun, itu pasti sulit terjadi, salah satu alasannya “perang propaganda” media online dan realitas akan selalu muncul. “Kisruh” keberadaan Indonesia di Timtim 1975-1999 akan abadi dalam sejarah dan masa lalu kedua belah negara.
27. Saya berterima kasih atas kontennya, ini juga membuka pengetahuan kita sebagai bangsa, dan juga proses “meng-abadi-kannya”. Setiap tahun, kisah sejarah itu akan diproduksi. Salam Admin Timtim Files Channel