Oleh: Agus Siswanto
Kata Timor Timur tidak pernah terbayang dalam pikiranku saat menempuh Pendidikan di IKIP Negeri Yogyakarta. Yang ada di benak begitu sederhana. Lulus dari Pendidikan Diploma 3, mengabdi jadi guru di Jawa, titik.
Tapi nasib berkata lain. Tahun 1988 setelah wisuda, kesempatan menjadi guru dengan jalur diploma terasa sulit. Karena sejak saat itu lulusan program diploma tidak otomatis diangkat menjadi pegawai negeri.
Karena kondisi inilah akhirnya aku terlempar ke Timor Timur, sebuah tempat yang tidak pernah sekali pun singgah di benak ini. Bersama dengan 125 teman yang lain, pada bulan September 1989 kami diberangkatkan ke Timor Timur.
Yang ada di benakku saat itu waktu mendaftar program ke Timor Timur, yang penting dapat SK PNS, itu saja. Segala hal yang ada di Timor Timur, menjadi urusan nanti. Yang penting pegang SK dulu, jika mungkin nanti mengajukan pindah ke Jawa lagi.
Menjalani profesi guru di Timor Timur, dengan pengalaman mengajar 0 tahun, benar-benar luar biasa. Semua ilmu yang selama 3 tahun kuhisap dari para dosen hebat di IKIP Negeri Yogyakarta, di tanah ini tidak berguna semuanya.
Hal-hal yang aku temui, jauh dari tetek bengek ilmu Pendidikan yang selama ini kupelajari. Hal ini dialami pula oleh teman-teman yang lain.
Dari kondisi ini, akhirnya kemampuan mengajar kami justru menjadi semakin hebat. Tantangan yang ada justru menjadi pemicu semangat kami.
Sepuluh tahun mengajar di tanah yang mempunyai nama lain Loro Sae ini, berjalan penuh suka dan duka. Namun situasi yang paling sulit justru terjadi pada tahun 1998-1998. Saat itu mulai muncul keinginan kuat Timor Timur untuk memisahkan diri.
Di sinilah muncul kesulitan kami para guru untuk menahan murid-murid agar mau tetap sekolah. Sebagian besar anak sudah enggan sekolah lagi. Mereka telah teracuni berbagai pikiran jelek tentang kami para guru yang dianggap menyesatkan.
Dari ratusan murid yang ada, hanya tinggal sekitar 10% yang masih bertahan. Mereka adalah anak-anak baik. Saat itu ada nasihat kami yang selalu kami sampaikan pada mereka.
“Kalian, anak Timor Timur tetaplah belajar dengan giat. Sebab kalaupun nanti tanah ini Merdeka, menjadi sebuah negara, Timor Timur membutuhkan orang-orang terpelajar, dan kalianlah orangnya. Namun jika pun tidak Merdeka, kalian akan tetap dipakai. Sebab kalian adalah putra daerah.”
Nasihat itu yang kami serukan ke telinga mereka. Dan hasilnya luar biasa. Ketika Timor Timur Merdeka, sekitar 5 - 10 tahun kemudian anak-anak tersebut yang tampil sebagai pemimpin di negara baru tersebut.
Mereka menduduki banyak jabatan. Mulai dari kepala kantor, guru, staf kementrian, pegawai negeri, dokter, dan lain-lain. Ijazah yang mereka miliki, menjadi senjata mereka untuk mendapatkan posisi tersebut. Saat itu PBB banyak membutuhkan tenaga seperti mereka.
Sebaliknya, mereka yang saat menjelang kemerdekaan terjun dalam berbagai aksi massa, justru tidak menjadi apa-apa. Bekal Pendidikan, termasuk ijazah tidak mereka miliki. Itulah pilihan mereka yang keliru.
Satu hal yang luar biasa, hingga saat ini murid-murid itu masih terhubung lewat dunia maya. Baik lewat WhatsApp maupun media sosial. Satu hal lagi yang membuat kami haru, mereka selalu mengucapkan terima kasih atas apa yang telah kami berikan. Mereka yakin tanpa campur tangan kami, para guru, mereka tidak akan menjadi apa-apa. ***