Kemarin, 5 Juli 2023, saya dan rombongan Tim Dosen Universidade da Paz (UNPAZ), meninggalkan Dili, menuju Kupang. Tiba di Kupang jam 8 malam.
Salah satu foto dalam catatan ini, dibuat di Hotel Sylvia Kupang, NTT Indonesia. Foto tersebut (celana pendek), diambil oleh Dekan Fakultas Hukum Universidade da Paz (UNPAZ), Dr. Leonito Ribeiro,SH.,MHum., pada 5 Juli 2023 tadi malam, saat baru tiba dari Dili, setelah menempuh perjalanan darat sekitar 12 jam lamanya.
Foto ini dibuat sebagai simbol untuk ikut mengenang 48 tahun Pertemuan Camp David Maryland USA, antara Presiden Gerald Ford dari USA, dan Presiden Soeharto dari Indonesia, 5 Juli 1975, yang membicarakan 7 topik krusial. Salah satu topik di antaranya adalah tentang status wilayah Timor Portugis, topik yang secara protokoler, ditempatkan di urutan 3. Dalam pertemuan tersebut, Menlu USA hadir terlambat pada pukul 12.40 Waktu USA.
Dalam pertemuan tersebut, nama (kata TIMOR), disebutkan dengan pola(risasi) 31, yaitu; Presiden Soeharto menyebutkan nama TIMOR sebanyak 3X, sementara Presiden Gerald Ford, melafalkan nama TIMOR sebanyak 1X.
Setelah pertemuan bersejarah tersebut, berselang 155 hari, tepatnya pada 7 Desember 1975, Otoritas Rezim Orde Baru, memutuskan untuk melakukan invasi atas wilayah Timor Portugis, dengan mengangkut Pasukan Linud (Lintas Udara) Batalyon 501 TNI (Tentara Nasional Indonesia) dari Lapangan Terbang Iswayudi Madiun Jawa Timur dan menerjunkannya di Kota Dili, pada Minggu pagi. Serangan (invasi) itu dilakukan, hanya kurang dari 24 jam setelah di Presiden Gerald Rudolph Ford beserta Menlunya, Henry Kissinger meninggalkan Jakarta kembali ke USA. Bisa disimpulkan, invasi berdarah 7 Desember 1975, atas persetujuan (green light) dari Pemerintahan pimpinan Gerald Ford. Maka seharusnya, dalam memandang sejarah berdarah Timor Timur selama 24 tahun, secara moral maupun hukum, Amerika dan Indonesia harus berada di level yang sama. Amerika dengan politik standar gandanya, memiliki kontribusi signifikan atas setiap tetesan darah di Timor Timur.
Pada 48 tahun lalu, saat akan meninggalkan Bandara Soekarno Hatta, Menlu Henry Kissinger bertanya dengan suara berbisik kepada Kepala Intelijen, Benny Moerdani: "Pesawat apa yang akan digunakan untuk mengangkut pasukan?" Benny Moerdani menjawab: "Hercules 130". Salah satu jenis pesawat buatan Amerika.
Invasi berdarah 7 Desember 1975, tanpa persejutujuan DPR RI. Bahkan Anggota DPR RI tidak tahu rencana invasi tersebut. Maka jika ada pelanggaran HAM di Timor Timur selama 24 tahun, bukan tanggung-jawab rakyat Indonesia. Tapi tanggung-jawab sebuah rezim yang kini telah berlalu. Sebagaimana pesan simpatik yang disampaikan Presiden Gusdur, saat mengunjungi Dili Timor Leste tahun 2000. Tokoh pluralistik dari NU itu berkata: "Bukan hanya rakyat Timor Timur yang baru merasakan kemerdekaan. Kita di Indonesia juga baru merasakan alam kebebasan".
Anyway, saat berlangsungnya invasi berdarah 7 Desember 1975, ada 79 Anggota TNI yang batal diterjunkan hari itu. Salah satunya adalah Letnan Dua Luhut Binsar Panjaitan, salah satu orang kepercayaan Presiden Jokowi, yang pada tanggal 1 Juli 2023, bersama rombongan dari Indonesia, ikut menghadiri acara kenegaraan di Kantor Presiden Timor Leste.
Orang bijak berkata; "Sebuah revolusi, berhasil atau gagal, orang-orang kecil akan selalu menjadi korban".
Salam persaudaraan dari Kota Kupang yang indah. TUHAN YESUS memberkati kita semua. Amen.