Jum`at, 2 Juni 2006
Oleh: Dmitri Kosyrev
Vice Persident Asosiasi Kebijakan Luar Negeri Rusia
Melihat kerusuhan yang terjadi di Timor adalah melihat rangkaian kebodohan dan kenaifan, ketamakan, sinisme, kelemahan yang tidak termaafkan, dan kejanggalan.
Kebodohan dan kenaifan itu ada pada "opini publik Barat" terhadap peristiwa 1999, peristiwa yang sampai sekarang belum terungkap. Saat berkunjung ke Timor saat itu lewat jalur tidak biasa, saya sangat kaget melihat perbedaan tajam frase standar agen-agen informasi internasional terhadap kenyataan sesungguhnya di Dili saat itu. Sekitar 99% aktivis HAM yang gencar menyebarkan opini mereka tentang Timor, tentang "kepahlawanan pejuang-pejuang kemerdekaan" dan "TNI yang kejam", bukan hanya belum pernah datang ke sana, tetapi juga mungkin kesulitan mencari letak Timor di dalam peta.
Beberapa Negara adikuasa tertentu Indonesia tidak termasuk menunjukkan ketamakan dan sinisme mereka dengan harapan bisa mengontrol minyak yang ada di Celah Timor. Selain itu tentu saja, berharap bisa melemahkan Indonesia.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menjadi korban kebijakan semacam itu hanya karena perannya yang semakin menguat di masa mendatang. Sebab itu tidak cocok dengan desain geopolitik negara-negara adikuasa itu. Memecah belah wilayah Indonesia dan, yang lebih buruk lagi, menjadikannya pesakitan abadi di kursi pengadilan, begitulah saya melihat tujuan dalang peristiwa Timor itu.
Di lain pihak, pemerintah Indonesia menunjukkan kelemahan dan kejanggalan yang tunduk pada pesimisme dan tekanan internasional, akhirnya melepaskan beban tanggung jawab wilayahnya. Sebagai seorang Rusia, saya bisa memaklumi mentalitas rakyat yang negerinya telah terpuruk, dan kehilangan sedikit wilayah bisa dianggap sebagai bayaran yang murah untuk menunda hukuman mati. Itu adalah kelemahan; tetapi juga ketidakmampuan untuk menunjukkan, di era informasi seperti ini, pandangan, fakta dan kesimpulan seseorang kepada dunia luar dan kepada jaringan agen-agen informasi internasional. Ketidakmampuan adalah penyakit kronis yang dimiliki oleh banyak pemerintahan saat ini. Karena itu harus ada cara untuk menyembuhkannya.
Pada 1999 itu, dunia menyaksikan dua krisis yang hampir mirip. Satu di Yugoslavia, yang kini tinggal nama, dan satu lagi Indonesia, yang untungnya masih ada. Jika Yugoslavia didera oleh wilayah yang bernama Kosovo, Indonesia oleh Timor.
Kemiripan lain adalah keadaan di kedua wilayah itu: kekerasan yang tidak kunjung usai dan sukar dibayangkan. Jika di kedua wilayah itu, mereka yang disebut pejuang kemerdekaan telah mendapatkan keinginan mereka, lalu mengapa mereka terus bertingkah seperti bandit dan orang-orang biadab?
Saya kira jawabannya adalah karena Anda tidak boleh memberi hadiah kemerdekaan kepada para bandit dan orang-orang biadab. Memang, sejarah manusia penuh dengan kasus seperti itu. Tetapi kemanusiaan harus belajar, cepat atau lambat. Jika suatu bangsa terjerumus ke dalam kekacauan hanya karena 593 tentaranya tidak senang dengan disiplin militer dan kemudian dipecat; jika target mereka adalah warga sipil; jika pemerintah, tentara, dan polisi negeri itu tidak bisa mengatasinya itu artinya negeri itu tidak pantas merdeka.
Karena itu, saya ingin menyajikan opini berikut ini untuk bisa dijadikan pembahasan:
1. Indonesia dan rekan-rekannya di dunia luar, pada akhirnya harus mengakui dengan terbuka kemerdekaan Timor Timur adalah kesalahan, yang bukan hanya menyusahkan negara sekitarnya. Setelah empat tahun, plus bantuan internasional yang berlimpah, cukup menunjukkan bahwa Timor Timur tidak berkembang menjadi bangsa dan masyarakat sipil. Karena itu kita menghadapi suatu bangsa gagal yang harus dikembalikan kepada Indonesia lewat mandate PBB.
2. Apa yang terjadi merupakan pelajaran pahit bagi Australia. Timor-Timur adalah panggung pertunjukan kegagalan kebijakannya. Negeri itu tengah gamang: apakah mereka tetap menjadi bagian Pasifik, dengan keluarga multinasional, ataukah menjadi "polisi Barat" yang mendapat misi khusus ke Asia Tenggara. Kegagalan pasukan Australia mengontrol kota yang tidak besar-besar amat, itu seharusnya bisa membuka mata rakyat Australia tentang keabsahan kebijakan Canberra. Ini harus disuarakan keras.
3. TNI harus dibersihkan namanya di mata dunia, dibebaskan dari tuduhan genosida dan penggunaan kekuatan kelewat batas. Sejak 1975 TNI berjuang memerangi perusuh dan pembunuh dan melindungi rakyat sipil, mereka tidak bisa dipersalahkan karena hal yang sama juga dilakukan oleh polisi di jalanan Paris dan New York saat ini.
Yang terakhir, pejabat Indonesia seharusnya sudah belajar bagaimana menyajikan dan mempertahankan opini mereka di era informasi global saat ini.