Perjalanan sejarah mencatat, sejak abad ke-16 Timor Timur bergolak dalam tarikan kepentingan, perebutan yang akhirnya mewariskan kehilangan berujung kemiskinan di masa sekarang.
Oleh
KRISHNA P PANOLIH/AGUSTINA PURWANTI
25 Februari 2020 08:08 WIB
Sejarah mencatat, Indonesia pernah kehilangan salah satu provinsinya, yaitu Timor Timur. Perebutan kepentingan dan munculnya beberapa kesepakatan menjadi nuansa yang kental melatarbelakangi perjalanan warga negara Indonesia (WNI) eks Timor Timur yang memilih lebih bertahan dalam kemiskinan di Indonesia.
Jika menganut ”…kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…” sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945, seharusnya WNI eks Timor Timur pun diperhatikan dan merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya.
Kenyataannya, kondisi WNI eks Timor Timur di Nusa Tenggara Timur belum sepenuhnya demikian. Mereka masih berkutat dengan persoalan kesejahteraan.
Kompas mencatat, pada tahun 2010, atau 11 tahun sejak Timor Timur berpisah dari Indonesia, ribuan pengungsi menetap di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selama di pengungsian, ratusan, bahkan ribuan, jiwa masih hidup dalam kondisi tidak layak.
Banyak warga terpaksa bekerja serabutan dengan upah seadanya. Banyak juga warga yang menganggur dan tak sedikit juga mereka yang mengandalkan bantuan orangtua ataupun tetangga.
Sebelum mengungsi, mereka sebenarnya bisa mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Dengan kerja nelayan di Dili, misalnya, warga pengungsi ini bisa menghasilkan Rp 200.000-Rp 300.000 per bulan. Sementara, upah kerja serabutan hanya sekitar Rp 100.000 sebulan.
Fasilitas dan kondisi fisik rumah yang mereka tempati juga terbilang sangat minim. Dengan kayu-kayu rumah yang sudah banyak keropos, listrik baru terpasang setelah ada protes dari warga pengungsi ini.
Status kepemilikan tanah atas tempat tinggal itu pun tidaklah jelas ketika itu. Rumah yang mereka tempati adalah hunian relokasi, tanpa membayar biaya apa pun tetapi juga tidak bersertifikat tanah.
Mengangkut air bersih dari penampungan air umum menggunakan ember menjadi keseharian mereka. Rupanya memang ada istilah khas untuk kondisi warga ini, yaitu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Karena mereka terbiasa membawa ember setiap hari, MBR itu dipelesetkan menjadi ember. Maka mereka menamai diri mereka ”manusia ember” (Kompas, 20 Agustus 2013).
Sebagian cerita kemerdekaan ekonomi yang belum kunjung diraih WNI eks Timor Timur di Provinsi NTT masih tersisa hingga sekarang.
Sejarah panjang
Hidup terkatung-katung dalam penderitaan sudah dialami warga Timor Timur sejak berabad-abad. Tanah milik mereka yang mengandung sejumlah kekayaan alam menjadi tanah perebutan yang justru membawa mereka kepada kemiskinan.
Pada abad ke-16 (1515), terjadi perebutan di Pulau Timor oleh Belanda dan Portugis. Salah satu yang diincar adalah kayu cendana yang melimpah di Pulau Timor. Minyak alam dan kopi Arabika juga menjadi incaran koloni.
Perebutan secara sporadis berlangsung pada tahun 1701 hingga 1755. Kemudian lahir kesepakatan Contact of Paravinci pada tahun 1755, di mana Belanda dan Portugis membagi Pulau Timor menjadi 2 bagian.
Belanda berkuasa atas Timor Barat, yang berpusat di Kota Kupang. Sementara Portugis berkuasa atas Timor Timur yang berpusat di Kota Dili. Saat itu disebut Timor Portugis.
Selepas itu, kembali terjadi perebutan wilayah lain di Timor Timur antara Belanda dan Portugis, salah satunya adalah Oecuse. Kegagalan kesepakatan dalam perebutan daerah Oecuse membawa Belanda dan Portugis ke Pengadilan Internasional pada tanggal 3 April 1913. Dalam pengadilan arbitrasi, diputuskan bahwa Belanda menang atas klaim daerah-daerah yang masih disengketakan.
Penguasaan Portugis atas Timor Timur terus berlangsung. Hingga, pada tahun 1910 sampai 1912, pemberontakan warga Timor Timur pun akhirnya pecah. Mereka menjarah dan membakar permukiman orang Portugis.
Saat Perang Dunia II, Australia dan Belanda menduduki Timor Timur meskipun Portugis bersikap netral. Saat itu Jepang menjadi sekutu. Jepang menduduki Timor Timur pada Februari 1942.
Kejadian tersebut kembali melibatkan warga Timor Timur ke dalam perang. Ribuan orang Timtim mengungsi karena pertempuran-pertempuran tersebut. Jepang menguasai Timtim hingga tahun 1945.
Rupanya memang ada istilah khas untuk kondisi warga ini, yaitu MBR atau masyarakat berpenghasilan rendah. Dan karena mereka terbiasa membawa ember setiap hari, MBR itu dipelesetkan menjadi ember. Maka, mereka menamai diri mereka ”manusia ember”.
Setelah perang berakhir, Timtim kembali dikuasai Portugis. Hingga pada tahun 1955, Timtim disebut sebagai ”Provinsi Luar Negeri” Republik Portugal. Dua dekade berlalu, Portugis kalah dengan adanya Revolusi Anyelir atau Revolusi Bunga (Revolucao dos Cravos).
Salah satu tuntutan dalam revolusi tersebut adalah Portugis harus melepaskan daerah-daerah koloni yang tercatat sebagai provinsi luar negeri. Portugis pun berjanji akan memberi kebebasan kepada Timtim.
Menanggapi hal ini, terbentuklah partai-partai yang akan memperjuangkan kemerdekaan. November 1975, Fretilin (Revolution Front for an Independent East Timor), salah satu gerakan kemerdekaan Timtim, mendeklarasikan kemerdekaan dari jajahan Portugis.
Deklarasi ini dinilai sebagai kehendak sepihak. Sebab partai lainnya ingin bergabung dengan Indonesia. Perang partai pun tak terelakkan, yang tak lain adalah perang saudara.
Situasi semakin mencekam dan sebagian rakyat memilih menghindar dengan mengungsi ke Indonesia. Ribuan orang Timtim menyeberang ke Timor Barat menuju Kota Atambua. Mereka adalah orang-orang yang dilanda ketakutan dan menyeberang ke perbatasan demi mempertahankan hidup mereka.
Kompas mencatat, pada Agustus 1975, 5.000 pengungsi dari Timor Timur masuk ke Indonesia. Kemudian, pada September 1975, Palang Merah Indonesia (PMI) menangani sekitar 25.000 pengungsi yang masuk ke Indonesia. Pada masa itu, Indonesia mengeluarkan Rp 6 juta per hari untuk keperluan pengungsi.
Referendum
Pada tahun tersebut, Pemerintah Indonesia memasuki kawasan Timtim karena kekosongan pemerintahan. Hingga akhirnya, pada 17 Juli 1976, Timtim bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia atas dasar Undang-Undang Nomor 7 tahun 1976. Sejak saat itu, Timtim menjadi provinsi ke-27 NKRI.
Peristiwa ini disebut Deklarasi Balibo. Lela E Madjiah dalam buku Timtim: Perginya Si Anak Yang Hilang (2003) mencatat adanya perkembangan selama Timtim bergabung dengan Indonesia. Sejumlah perkembangan tersebut secara nyata terjadi pada aspek pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi.
Pada awal bergabungnya Timtim ke Indonesia, hanya memiliki 51 fasilitas pendidikan (SD, SMP, dan SMA). Setelah dua dekade bergabung, sudah dibangun 55 TK, 709 SD, 114 SMP, dan 54 SMA sederajat. Bahkan, 4 universitas berhasil dibangun di Timtim.
Di bidang kesehatan, awalnya hanya terdapat 2 klinik dan 2 rumah sakit, tanpa dokter dan apotek. Pada tahun 1999, sudah terdapat 1.220 fasilitas kesehatan, di antaranya puskesmas, klinik, rumah sakit, dokter, dan apotek.
Panjang jalan yang berhasil diaspal sudah mencapai 2.354 kilometer. Sebelumnya hanya sepanjang 20 kilometer. Pertumbuhan ekonomi pun meningkat, hingga mencapai 9,93 persen.
Namun, di tengah perkembangan yang begitu pesat, tersisa konflik yang tak kunjung berakhir. Konflik tersebut terjadi antara pendukung kemerdekaan Timor Timur dan pendukung integrasi Timor Timur ke Indonesia.
Perseteruan kepentingan itu bermuara pada munculnya dua opsi. Opsi pertama adalah otonomi khusus bagi Timor Timur untuk mengurusi daerahnya secara mandiri tetapi masih di bawah payung NKRI. Opsi kedua adalah Timtim merdeka sebagai negara sendiri.
Untuk mengambil keputusan atas kedua opsi tersebut, dilaksanakan penentuan pendapat. Penentuan pendapat dilaksanakan pada 30 Agustus 1999. Buku Chega!: Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor-Leste (CAVR) mencatat bahwa terdapat 451.792 calon pemilih yang terdaftar.
Pada hari pelaksanaan penentuan pendapat, 98,6 persen dari pemilih terdaftar memberikan suaranya. Hasil tersebut diumumkan oleh PBB pada 4 September 1999. Sebanyak 21,5 persen memilih otonomi dalam Indonesia, sedangkan 78,5 persen menolaknya.
Dengan demikian, dinyatakan bahwa Timtim menolak otonomi dan memilih melepaskan diri dari Indonesia. Kini, berdiri sebagai negara sendiri dengan nama Timor Leste. 20 Mei 2002 menjadi peresmian kemerdekaan Timtim oleh PBB dan resmi menjadi anggota PBB ke-191 pada September 2002.
Namun, perbedaan pilihan kembali berujung konflik. Perang saudara terjadi lagi, dan sebagian warga kembali memilih mengungsi ke Indonesia, kali ini dalam jumlah lebih besar.
Berdasarkan publikasi Penanganan Pengungsi Timor Timur di NTT, jumlah pengungsi yang eksodus ke wilayah Provinsi NTT secara bergelombang sejak tanggal 4 September 1999 hingga 19 Oktober 1999 sebanyak 54.706 KK atau 284.414 jiwa. Pengungsi tersebar di tempat penampungan (kamp) yang terletak di Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, dan Kupang.
Jika menganut …kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…, seharusnya mereka pun diperhatikan dan merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya.
Kehadiran pengungsi tersebut menimbulkan permasalahan baru. Untuk menanganinya, dilakukan sejumlah kebijakan berupa repatriasi (pemulangan kembali pengungsi ke Timor Timur), relokasi (pemukiman kembali dan pemindahan ke wilayah lain di Indonesia), dan pemberdayaan.
Program tersebut dilakukan pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, lembaga nonpemerintah, dan lembaga internasional. Pada September 2002, lebih dari 220.000 pengungsi kembali ke Timor Timur dalam program repatriasi.
Namun, tidak semua pengungsi mengikuti program yang ditawarkan. Kompas mencatat, hingga Agustus 2017 masih terdapat 13.400 keluarga eks Timtim yang tinggal di Kabupaten Belu, NTT. Mereka bertahan dalam hidup yang jauh dari kata sejahtera. (LITBANG KOMPAS)