Seroja: Pahlawan atau Korban?


Banyak yang menangis ketakutan ketika mereka diterjunkan pertama kali di medan perang Timor Timur. Lama-lama terbiasa juga dengan suasana berdarah-darah. Terjun di medan ranjau, kehilangan tangan, kaki, bahkan paru-paru. Para veteran perang Operasi Seroja Timor Timur kini resah, karena mulai diabaikan. Lalu, di mana tempat mereka dalam sejarah nasional kita?

MALAM mulai larut ketika api unggun disulut di lapangan olahraga Kompleks Wisma Seroja, Harapan Jaya, Bekasi, Jawa Barat, Ahad dua pekan lalu. Tiga ratusan orang yang mengitari api unggun itu tampak mulai tegang. Sejurus kemudian, Kolonel (purnawirawan) Michael Rodrick Ronny Muaya melangkah ke arah unggun. Mantan prajurit Lintas Udara (Linud), Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), itu melemparkan sehelai kertas ke api yang berjilam-jilam.

Itulah piagam penghargaan Satya Lencana Seroja miliknya, yang langsung dijilat lidah api dengan ganasnya. Aksi Ronny Muaya segera diikuti rekan-rekannya. Malam itu, tak kurang dari 200 piagam penghargaan dan replika Lencana Seroja hangus dibakar para penghuni Wisma Seroja. Padahal, piagam dan lencana itu diberikan pemerintah sebagai penghargaan atas jasa para pahlawan dan veteran Operasi Seroja, 1975-1978, ketika Timor Timur diintegrasikan ke wilayah RI.

Upacara pembakaran itu dilakukan tepat pada pukul 22.00, atau pukul 24.00 waktu Dili, Timor Timur. Pada saat itu, di Dili berlangsung pelantikan Xanana Gusmao sebagai presiden pertama Timor Leste. "Kami menganggap piagam dan lencana itu sudah tak ada artinya lagi," kata Ronny Muaya, 55 tahun, yang kehilangan tangan kirinya akibat dikoyak peluru musuh semasa Operasi Seroja.

Sebelum acara pembakaran, Ronny membacakan pernyataan keprihatinan warga Seroja atas sikap pemerintah, yang dianggap mengecilkan mereka. Kehadiran Presiden Megawati Soekarnoputri pada acara pelantikan Xanana di Dili mereka rasakan sangat menyinggung. Sejak tiga hari sebelum upacara pelantikan Xanana, warga Seroja pun serempak mengibarkan bendera Merah-Putih setengah tiang. Mereka menyatakan berdukacita atas rencana Megawati menghadiri perayaan kemerdekaan Timor Leste dan pelantikan Xanana.

Mereka juga sempat berunjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, meminta Megawati membatalkan kunjungannya ke Timor Leste. Tapi, bak kata peribahasa, "anjing menggonggong kafilah berlalu". Presiden Megawati tetap bertolak ke Dili. "Pengorbanan para prajurit pejuang integrasi Timor Timur kini sudah tak dihargai lagi," kata Ellen Malonda Rantung, 43 tahun. Ia adalah janda Sersan Mayor (anumerta) Julius Rantung, yang gugur di Timor Timur pada awal 1978.

Usai pembakaran piagam penghargaan tadi, Ellen membuat suasana upacara kian syahdu lewat puisi yang dibacakannya. "Dua puluh empat tahun lalu/Tetapi seperti baru kemarin/Engkau gugur di medan laga/Setelah tubuhmu terkoyak mesiu/Kini tinggal tulang-belulang entah di mana...." Demikian bunyi satu bait puisi karya Ellen, yang dibacakannya seraya berurai air mata.


Pasir Tempat Darah Tertumpah

BAGI Ellen, kenangan pada sang suami memang tak lekang oleh waktu. Hingga kini, seakan ia belum percaya suaminya telah tiada. "Dia seperti pergi jauh, entah ke mana...," katanya kepada Gatra di kediamannya, Senin pekan lalu. Matanya menerawang nanap, dengan tatapan kosong. Di pangkuan ibu satu anak itu tergeletak sebuah kaleng kecil warna hijau, dengan gambar tentara menyandang senapan. Sebuah pita lusuh warna merah-putih melilitnya.

Isi kaleng itu tak lebih dari pasir bercampur serpihan batu dan bubuk arang. Tapi, bagi Ellen, benda itu harus diterima sebagai pengganti kuburan suami yang dicintainya. "Kami selalu menziarahinya kapan pun kami mau," katanya. Kaleng "keramat" itu ia letakkan di salah satu pojok kamar tamunya. Jasad suaminya, Julius Rantung, yang gugur dalam sebuah pertempuran di Timor Timur, memang tak pernah ditemukan.

Padahal, dua hari sebelum Julius dinyatakan tewas, Ellen menerima surat ke-11 yang dikirim suaminya dari bumi Lorosae. Surat itu berkabar baik. "Ia mengatakan, peperangan segera berakhir. Ia sedang bersiap-siap pulang," tutur Elen dengan mata berkaca-kaca. Malang ternyata tak bisa ditolak. Ellen kemudian mendapat pemberitahuan, suaminya gugur di daerah yang dikuasai musuh, pada pertempuran 19 November 1977. "Mayatnya hilang entah ke mana," kata Ellen. Ia tak kuasa lagi membendung air matanya.

Ketika anggota kompi suaminya --yang masih tersisa-- pulang, pada 26 Februari 1978, Ellen cuma diserahi kaleng tadi oleh komandan kompi. "Kami sudah berupaya mencari jenazah Sersan Julius Rantung, tapi ternyata sudah menghilang dari tempatnya tertembak," kata sang komandan, seperti dituturkan Ellen. "Pasir di kaleng ini diambil dari tempat jasad suami saya tergeletak," Ellen menjelaskan sambil menyeka air mata.

Tiap tiba Hari Pahlawan, 10 November, Ellen dan putri semata wayangnya, Lita Yusi Rantung, selalu melakukan ziarah khusus dengan taburan bunga di kaleng itu. Ellen, kelahiran Manado, Sulawesi Utara, menikah dengan Julius Rantung pada 1973. Kala itu, Julius berdinas di Batalyon 321 Kostrad, Galuh Taruna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Julius kemudian ditarik ke Brigade Infanteri (Brigif) XII Guntur Siliwangi, Cianjur, pada 1975, dan mendapat jabatan komandan regu.

Dua tahun di sana, Julius diterjunkan ke Timor Timur. Ellen, yang ketika itu baru saja melahirkan Lita, hanya ditinggali sebuah pesan oleh suaminya: "Jaga Lita baik-baik." Setelah menitipkan Ellen dan bayinya kepada para tetangga, Julius pun berangkat ke medan tempur. Julius tak pernah kembali lagi. Ellen pun harus membesarkan putrinya dengan uang pensiun yang tak seberapa.


Merebut Landasan Udara Baucau 

PESAN serupa juga diterima Suhainah ketika suaminya, Pembantu Letnan Dua Hasan Basri Nunuk, hendak berangkat ke Timor Timur, pada pertengahan 1977. "Jaga anak-anak," kata Nunuk, yang waktu itu juga menjabat komandan regu di Brigif XII Guntur, Cianjur. Dalam tiga bulan pertama di Timor Timur, Nunuk masih rajin mengirim surat, setidaknya sekali dua pekan. "Beliau selalu menanyakan kabar anak-anak," kata Suhainah, 50 tahun.

Namun, sejak mengirim surat kelima, Nunuk tak pernah berkabar lagi. Sebulan kemudian, Suhainah menerima pemberitahuan bahwa suaminya telah gugur. Jenazahnya ditemukan dalam keadaan mengenaskan, dan langsung dikuburkan di Timor Timur -- entah di mana. Sejak itu, Suhainah harus membesarkan empat anaknya sendirian. Untunglah, pada 1981, ia bersama Ellen mendapat jatah rumah seluas 45 meter persegi di Kompleks Wisma Seroja yang dibangun Yayasan Dharmais, milik (mantan)Presiden Soeharto.

Uang pensiun pun mulai ditambah hingga mencapai sekitar Rp 500.000 per bulan. Tapi, jumlah itu tentu saja masih jauh dari cukup. "Saya harus mencari tambahan dengan usaha kecil-kecilan," kata Suhainah, tanpa menyebutkan "bisnis"-nya. Gerakan reformasi mereka anggap membawa dampak buruk bagi nasib para veteran Seroja. "Setelah Pak Harto lengser, penghargaan terhadap para pahlawan dan veteran Seroja tak ada lagi," kata Ellen Rantung.

Kondisi ekonomi yang kian sulit makin mencekik kehidupan mereka. "Kesejahteraan kami pun tak pernah diperhatikan lagi," Ellen menambahkan. Yang paling menyakitkan adalah lepasnya Timor Timur melalui dua opsi yang ditawarkan Presiden B.J. Habibie, pada jajak pendapat tiga tahun lalu. Rakyat Timor Timur akhirnya memilih merdeka ketimbang berintegrasi dengan otonomi khusus.

"Karya besar para pejuang Seroja direnggut begitu saja," kata Ellen. Wajarlah, menurut dia, jika para veteran Operasi Seroja dan keluarganya menganggap pengorbanan mereka sia-sia. "Kalau Timor Timur mau dilepaskan lagi, mengapa dulu kami harus disuruh berperang?" kata Kopral Kepala (purnawirawan) Lustiawan, penghuni lain Kompleks Seroja. Pria 47 tahun itu kini harus berjalan tertatih, karena kaki kirinya disambung kaki palsu.

Ia menginjak ranjau ketika pasukannya dari Batalyon Kostrad 408 Solo, Jawa Tengah, hendak merebut Landasan Udara Baucau, pada operasi penyusupan ke Timor Timur, pertengahan 1975. Lustiawan termasuk anggota pasukan "umpan" yang dikirim secara rahasia ke Timor Timur pada tahap-tahap awal operasi. Ketika itu, ia masih berpangkat prajurit dua. Umurnya baru 20 tahun.


Awalnya Perintah Latihan Perang

BANYAK hal sudah tak diingatnya lagi. Namun, ia menuturkan, sebagian anggota pasukannya menangis ketakutan begitu hendak diterjunkan ke medan tempur di pantai Timor Timur, di tengah malam buta. Harap maklum: sebelumnya mereka cuma diberitahu mau latihan perang di Pulau Alor, dekat Timor. "Kami diturunkan sekitar 500 meter dari pantai, di tengah hujan tembakan musuh," kata Lustiawan.

Pada saat itulah semangat tempur mereka bangkit. "Begitu ada teman tertembak, semangat membalas langsung membara," kata Lustiawan. Ia bersama pasukannya berhasil merebut beberapa daerah musuh dalam perjalanan ke Baucau. Tapi, prajurit Lustiawan yang minim pengalaman perang kurang berhati-hati memilih jalan. Kaki kirinya menginjak ranjau darat, dan langsung meledak menghancurkannya.

Pengalaman prajurit muda yang takut perang juga dituturkan Sersan Mayor Sukoro, yang saat ini menjabat Ketua Veteran Khusus Wisma Seroja. Sukoro, 48 tahun, kini hidup cuma dengan sebelah paru-paru, setelah dadanya tercabik pelor musuh, 24 tahun silam. Sukoro dikirim pertama kali ke Timor Timur pada Oktober 1975, ketika umurnya baru 20 tahun. Ketika itu, ia berdinas di Batalyon 512 Brigif Malang, Jawa Timur, dengan pangkat prajurit dua.

Bersama 3.000-an anggota pasukan dari tiga batalyon lain di Jawa Timur, Sukoro diangkut dari Pelabuhan Tanjungperak, Surabaya, dengan kapal barang Bogowonto. "Awalnya, kami diperintahkan mengikuti latihan perang gabungan bersandi Wibawa VII, di Atapupu, Timor Barat," kata Sukoro. Tapi, ia mulai curiga ketika tiap personel dibekali magasin berpeluru tajam.

Setelah berlayar tiga hari, mereka tiba di Pelabuhan Atapupu. Dari sana mereka diangkut dengan truk militer ke Atambua. Di sinilah mereka mendapat penjelasan bahwa, sebenarnya, mereka hendak berperang membantu para pejuang Timor Timur prointegrasi. Tugas mereka membuka jalur ke markas tentara Fretilin, pimpinan Xanana Gusmao, di Bobonaro. "Saya sendiri sempat menangis ketakutan," kata Sukoro. Tapi, komandan regunya berhasil menenangkan dia, bahkan membangkitkan semangat tempurnya.

Keesokan harinya, Sukoro dan pasukannya mulai bergerak. Setelah seharian berjalan kaki, mereka tiba di kota pertama yang dikuasai musuh, Maliana. Kota itu dapat direbut melalui pertempuran sekitar tiga jam. Kota berikutnya, Lahomea, diambil alih setelah bertempur seharian. Korban berjatuhan dari kedua pihak. "Banyak hal mengerikan saya temui," kata Sukoro. Lama-lama, ia pun mulai terbiasa dengan suasana perang yang berdarah-darah.


Dari Timur Tengah ke Timor Timur

SETELAH bertugas selama delapan bulan, Sukoro dipulangkan. Ia sempat menikah sebelum dikirim kembali ke Timor Timur pada awal 1978. Nah, ketika menjalankan tugas kedua itulah ia mengalami nahas. Dada kanannya tertembak pada pertempuran di Celah Cailako, satu-satunya gerbang menuju Bobonaro. Paru-paru kanannya hancur sehingga terpaksa dibuang. Sejak itu, Sukoro harus membatasi aktivitasnya. "Kalau kecapekan, saya megap-megap dan pusing," katanya.

Ia juga harus menjaga kesehatan paru-parunya yang tinggal sebelah itu secara ketat. "Saya tak boleh merokok atau minum alkohol seumur hidup," kata ayah dua putra dan satu putri ini. Tapi, persoalan yang dialami Lustiawan setelah kehilangan kaki kirinya lebih gawat. Pada usia 20 tahun, bujangan itu harus menerima kenyataan sebagai penyandang tunadaksa. "Jiwa saya terguncang hebat," kata Lustiawan.

Cita-cita menjadi prajurit TNI kebanggaan keluarga harus dipendam di dalam perasaannya yang teramat pedih. Ia perlu waktu belasan tahun untuk memulihkan kembali semangat hidupnya. Hingga akhirnya, ia berhasil membina keluarga dengan seorang anak. Guncangan jiwa yang sama juga sempat dialami para veteran Seroja lainnya yang mengalami cacat fisik permanen, termasuk Ronny Muaya.

Pensiunan perwira dengan pangkat tertinggi di Wisma Seroja itu merasa tak punya semangat hidup lagi ketika tangan kirinya terpaksa diamputasi, pada akhir 1978. "Waktu itu, saya merasa hidup saya sudah habis," kata Ronny kepada Gatra. Maklum, sebagai perwira muda, harapannya dalam meniti karier ketentaraan sangat besar. Ronny, yang lahir di Bandung, Jawa Barat, 29 September 1947, lulus dari Akabri, Magelang, Jawa Tengah, pada 1972. Ia kemudian ditempatkan di Batalyon 502 Linud Kostrad, Malang, Jawa Timur.

Ronny pertama kali dikirim ke medan perang Timor Timur pada Desember 1975 sampai September 1976. Tugas pertama diselesaikannya dengan mulus. Begitu kembali ke Jawa, pemuda berdarah Manado itu sempat menikahi mojang Bandung, Vivi Silvia, yang kemudian memberinya dua putra. Ronny bahkan sempat dikirim selama 10 bulan ke Timur Tengah sebagai anggota pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menjaga perdamaian di Gurun Sinai, Mesir.

Sekembalinya dari sana, pada November 1977, Ronny, yang sudah berpangkat kapten, langsung mendapat tugas kembali ke Timor Timur. Ia diserahi jabatan komandan kompi, yang membawahkan empat peleton dengan jumlah personel 160 tentara. Tragedi yang mengubah jalan hidupnya terjadi pada 5 Desember 1978. Ketika itu, Ronny memimpin pasukannya untuk menyerbu sarang Fretilin --yang biasa disebut gerombolan pengacau keamanan (GPK)-- di Gunung Matebian, Viqueque.


Ditembak Musuh atau Teman Sendiri

SERANGAN itu berhasil merebut kembali puluhan senjata yang sebelumnya direbut musuh. Namun, pada saat hendak kembali ke markas induk di Uatu Carabau, mereka dihadang Fretilin. Pertempuran sengit pun tak terelakkan. Berondongan peluru musuh mengoyak pangkal lengan kiri Ronny. Ia terkapar berlumuran darah. Pingsan. Ronny baru siuman ketika ditandu pasukannya dalam proses evakuasi.

Ia diterbangkan dengan helikopter ke Uatu Carabau, dan selanjutnya ke Rumah Sakit Dili. Di sanalah tangannya diamputasi. Setelah itu, ia diterbangkan ke Jakarta dan menjalani perawatan selama tiga bulan di Rumah Sakit Gatot Subroto. Sejak itu, Ronny hidup dengan tangan kiri palsu. "Berbagai perasaan berkecamuk," katanya, mengenang peristiwa 24 tahun lalu itu. Selain menganggap karier militernya sudah tamat, ia juga mulai dihinggapi perasaan rendah diri yang teramat besar. "Saya cemas, takut istri tak lagi membutuhkan saya," katanya.

Dengan kondisi fisik yang tak utuh lagi, Ronny masih sempat diserahi tugas-tugas administrasi di Markas Kostrad Jakarta. Namun, ia merasa tersiksa karena seperti diperam di dalam ruangan dengan tugas-tugas enteng. "Sebagai tentara, habitat saya di lapangan," katanya. Akhirnya, pada 1989, Ronny meminta dikaryakan di luar institusi militer. Ia diterima bekerja di Kantor Pusat Pertamina sebagai komandan sekuriti.

Jabatannya kemudian naik menjadi Kepala Bidang Hukum dan Pertanahan Pertamina. Selama bekerja di BUMN berlogo kuda laut itu, ia juga telah menerima dua kali kenaikan pangkat, hingga menyandang melati tiga, saat ini. Ia dipensiun dini dari TNI, tiga tahun lalu. Kisah Letnan Kolonel Deden Nugraha, tetangga Ronny di mes perwira Kompleks Seroja, lain lagi. Deden, pria kelahiran Bandung, Mei 1952, kini harus hidup dengan usus cacat.

Ketika dia bertempur di Timor Timur, perutnya terkena berondongan pelor. Beberapa bagian usus dua belas jari dan usus halusnya terkoyak, sehingga terpaksa dipotong. Lulusan Akabri angkatan 1975 itu mengalami nasib nahas juga di puncak Matebian. Ketika itu, 25 Oktober 1978, satu kompi pasukannya dari Batalyon 328 Kostrad Cilodong, Bogor, melakukan pengejaran GPK ke Gunung Matebian. Deden menjabat salah satu komandan peleton di kompi itu.

Pasukan TNI dari batalyon lain datang membantunya. Bahkan, sebuah helikopter Angkatan Udara berputar-putar di atas mereka. Entah siapa yang memulai, kata Deden, tiba-tiba terdengar rentetan tembakan. Helikopter pun turut memuntahkan pelurunya. Pada saat itulah Deden merasa perutnya terkoyak. "Saya tak yakin, apakah saya terkena tembakan musuh atau teman sendiri," kata Deden.


Gangguan Jiwa Permanen 

IA segera diterbangkan dengan helikopter ke Baucau. Setelah sempat menerima transfusi darah, Deden lalu diterbangkan lagi ke Rumah Sakit Dili. Sedangkan seorang temannya, komandan peleton lain, gugur akibat lukanya terlampau parah. Setelah menjalani operasi usus di Dili, Deden dipulangkan ke Jakarta. Sejak itu, kondisi fisik Deden turun drastis. Ia sering merasa kecapekan. Tekanan darahnya pun kerap drop.

"Proses penyerapan makanan tidak optimal, karena usus saya kini lebih pendek," ia menjelaskan. Awalnya, Deden tentu saja hampir frustrasi. Ia merasa kariernya bakal terpasung. Deden mengaku agak terharu melihat karier temannya, Mayor Jenderal Syamsul Maparepa, yang kini menjabat Panglima Divisi I Kostrad. "Dulu kami sama-sama menjadi komandan peleton dalam satu kompi, ketika bertempur di Matebian," katanya.

Toh, kenyataan itu harus ia terima. Setelah tertembak di Timor Timur, Deden lebih banyak diserahi tugas di Pusat Rehabilitasi Cacat, Departemen Pertahanan dan Keamanan, di Bintaro, Jakarta Selatan. Tapi, tahun lalu, ia sempat dipercaya memegang komando kembali, sebagai Komandan Distrik Militer Bogor. Kini, sambil menunggu masa pensiunnya tiba, ia ditempatkan sebagai Perwira Sosial Politik di Kodam Jaya.

Deden mengaku prihatin atas perhatian pemerintah pada para veteran penyandang cacat, khususnya "korban" Operasi Seroja. "Mereka berkorban untuk negara, tapi imbalannya tak memadai," katanya. Tunjangan pensiunnya amat minim, padahal mereka tak mungkin mendapat penghasilan tambahan dari sumber lain, karena keterbatasan fisiknya. Ketua Veteran Khusus Seroja Bekasi, Sersan Mayor Sukoro, sependapat dengan Deden. Menurut dia, para veteran dan keluarga pahlawan Seroja kini seolah mempertanyakan status mereka.

Apakah mereka masih dianggap pejuang atau korban perang belaka? Malangnya, pemerintah cuek saja. Kepergian Presiden Megawati ke Dili mungkin masih bisa ditoleransi kalau sebelumnya ada dialog dengan mereka. "Mohon hargailah kami," kata Sukoro. Wisma Seroja, yang dibangun pada awal 1980-an, saat ini dihuni 400 keluarga veteran dan para janda pahlawan Operasi Seroja. Sembilan orang di antaranya berpangkat perwira pertama hingga perwira menengah.

Dari 160 penyandang cacat, lebih dari setengahnya tergolong cacat berat. Umumnya kehilangan tangan atau kaki. Ada juga yang mengalami gangguan kejiwaan permanen akibat trauma perang. Kini, mereka malah seperti cemas menunggu kepastian status kepahlawanannya. Padahal, seperti kata orang bijak, pahlawan itu dilahirkan, bukannya diciptakan. Tapi, tetap tertinggal satu pertanyaan: di mana tempat mereka dalam sejarah nasional kita?

Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama