Oleh : Basmeri
George Junus Aditjondro (1946-2016) adalah seorang akademisi, intelektual, dan aktivis sosial Indonesia, meskipun tidak menyelesaikan studi S-1 dan menjadi drop-out, George berhasil diterima di salah satu universitas terkemuka Amerika, yaitu Cornell University, untuk melanjutkan kuliah. Ia berhasil memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang sosiologi pembangunan pada tahun 1989. Pencapaian akademik yang luar biasa ini menunjukkan prestasi gemilang George dalam dunia pendidikan. George dikenal karena kontribusinya dalam bidang ilmu sosial, khususnya antropologi, serta keterlibatannya dalam perjuangan hak asasi manusia dan isu-isu sosial-politik di Indonesia.
Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1992, George terlibat dalam dunia akademik sebagai pengajar di dua universitas ternama, yaitu Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Namun, setelah terjadinya beberapa aksi demonstrasi di lingkungan kampus, George memutuskan untuk melanjutkan karirnya sebagai dosen di Australia.
Pemikiran George Junus Aditjondro seringkali mencerminkan perspektif kritis terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia. Dia secara aktif menggali isu-isu seperti korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, ketimpangan sosial, dan isu-isu agraria. Dalam tulisannya, dia sering menggunakan pendekatan kritis yang melibatkan analisis kelas, kekuasaan, dan teori Marxis.
Selain menjadi seorang akademisi dan intelektual, George Junus Aditjondro adalah salah satu suara kritis yang memperjuangkan demokrasi, hak asasi manusia. George juga dikenal sebagai seorang aktivis pro demokrasi yang secara terbuka mendukung gerakan separatis Timor Timur (sekarang Timor-Leste) dalam melawan apa yg disebutnya ‘pendudukan’ oleh Indonesia pada masa Orde Baru. Pada masa itu, terjadi kolaborasi antara aktivis pro demokrasi Indonesia dengan gerakan separatis Timor Timur karena mereka memiliki tujuan bersama, yaitu melawan rezim Orde Baru yang otoriter.
Perkenalan kami terjadi ketika saya menghadiri sebuah seminar di Yogyakarta. Setelah seminar selesai, George dan saya berkenalan setelah dia mengetahui saya berasal dari Timor Timur. George terlihat antusias dan mengajak saya untuk saling bertukar pikiran mengenai konflik di daerah saya, terutama terkait insiden Santa Cruz di Dili. Dia sangat ingin memperoleh pemahaman yang lebih dalam mengenai hal tersebut. Saya pun menyarankan George untuk mengunjungi Asrama Mahasiswa Timor Timur agar ia dapat mengetahui segala hal yang ingin diketahuinya. Sejak pertemuan pertama itu, kami menjalin kedekatan yang erat. George meminta saya untuk sesekali mengunjunginya di Salatiga, tempat dia mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), dan dia berjanji akan memberikan beberapa informasi yang diperolehnya dari luar negeri terkait Timor Timur.
Namun, dalam proses saling bertukar pikiran, terjadi perbedaan pendapat dan ketidaksepakatan antara kami. Sebagai seorang yang mendukung NKRI dan merupakan seorang anak Apodeti, saya sering kali mengkritisi pandangan-pandangan George yang menurut saya cenderung bias dan tendensius.
George ternyata memiliki sifat yang reaktif dan temperamental, karena dengan cepat dan tanpa berpikir panjang, dia menuduh saya bekerja untuk tentara. Saya juga merespons balik dengan reaktif pula ketika dituduh seperti itu. Saya menjelaskan bahwa meskipun saya adalah seorang anak Apodeti, tetapi saya adalah seorang individu yang independen dan tidak akan menjual diri kepada institusi ABRI seperti yang dituduhkan oleh George. Saya menegaskan dengan mengancam, "Bung George, jangan sembarangan menuduh bahwa semua orang yang memiliki pandangan berbeda dengan Bung tentang Timtim pastilah mata-mata tentara." Saya juga menegaskan bahwa saya memiliki kritik terhadap pendekatan keamanan yang dilakukan oleh tentara di Timor Timur. Dalam hal ini, sikap kita sebenarnya sama. Jadi, mari kita fokus pada persamaan pandangan ini daripada terlibat dalam benturan yang tidak perlu.
Di sinilah terjadi pertentangan antara pandangan saya yang kritis terhadap segala bentuk pelanggaran HAM, namun saya tetap teguh sebagai seorang Apodeti yang mendukung NKRI. Saya mengkritik dengan tujuan memperbaiki integrasi, sementara George mengkritik dengan niat memisahkan Timor Timur dari NKRI. Perbedaan ini merupakan dua kutub yang sulit untuk dipertemukan.
Namun perbedaan ini tidak menghalangi hubungan persahabatan kami, dan George dengan sukarela tetap membagikan setiap informasi tentang Timor Timur yang diperolehnya dari luar negeri. Melalui George, saya juga mendapatkan daftar nama 271 korban insiden Santa Cruz, serta video langka dan penting berjudul "Death of a Nation: The East Timor Conspiracy" karya John Pilger, yang memuat rekaman insiden Santa Cruz di Dili. Pada saat itu, memiliki dokumen-dokumen semacam itu sangatlah berharga dan menjadikan Saya dikenal di kalangan mahasiswa Timor Timur sebagai sumber referensi utama mengenai segala hal dan informasi terkait konflik Timor Timur.
Saya menghargai niat baik George yang senantiasa berbagi informasi terkait Timor Timur. Dia juga memberikan saya papernya yang berjudul "From Memo to Tutala", berisi tentang penelitiannya di Timor Timur yang mencakup perjalanan dari Memo hingga Tutuala. Saya pun membagikan paper ini kepada ayah saya, yang menilai penelitian George sebenarnya bagus dan bermanfaat bagi Timor Timur. Namun, kami sependapat bahwa dalam beberapa penelitiannya, George terlihat memiliki kecenderungan dan ketidakobyektifan tertentu, seperti yang kami diskusikan bersama ayah.
Pada tahun 1995, ketika saya membaca artikel di harian Kompas tentang paper George Junus Aditjondro yang dianggap merendahkan Indonesia, saya juga mendengar kabar dari beberapa teman bahwa rumah George telah dilempari batu sebesar buah kelapa, yang menyebabkan kaca depan rumahnya pecah. Tindakan teror ini membuat George menghadapi situasi yang sulit. Bahkan mbak Tutut, putri Soeharto, turut memberikan tanggapannya terhadap paper George dengan mengatakan, "Ketika berbicara tentang bangsa kita, penting untuk menyampaikan informasi yang benar, dan bukan mencoreng citra bangsa kita di luar." Tanggapan mbak Tutut ini dilaporkan dalam salah satu surat kabar. Tak lama setelah insiden tersebut, George "menghilang" dan kabar terakhir yang saya dengar adalah bahwa ia telah meninggalkan Indonesia dan melanjutkan karirnya sebagai pengajar di Monash University di Australia.
George Junus Aditjondro memiliki kelemahan dalam menyikapi masalah Timor Timur yang terkait dengan ketidakobjektivitasannya. Dia cenderung menjadi pengamat partisan yang hanya melihat satu sisi konflik, yaitu dukungan terhadap FRETILIN. Sikap standard ganda yang ditunjukkan oleh George Junus Aditjondro ketika mengkritik TNI atas pelanggaran HAM di Timor Timur, namun tidak responsif ketika hadirkan bukti kekejaman FRETILIN terhadap pendukung Apodeti yang tewas di kuburan massal di Aileu, dapat menimbulkan pertanyaan tentang objektivitas dan konsistensi pandangannya. Seorang aktivis pro demokrasi seharusnya memiliki komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan secara umum. Mereka harus berupaya untuk mempromosikan keadilan dan mengungkap kebenaran, tanpa memihak secara sepihak kepada pihak tertentu. Dalam menjalankan perjuangannya, seorang aktivis pro demokrasi harus berusaha untuk melihat melampaui kepentingan pribadi atau kelompok, dan memperjuangkan hak asasi manusia serta kebebasan bagi semua individu. Jika George secara selektif mengabaikan kejahatan yang dilakukan oleh satu pihak dan hanya fokus pada kejahatan yang dilakukan oleh pihak lain, itu menunjukkan sikap yang tidak adil dan kurang obyektif. Sebagai aktivis pro demokrasi, seharusnya ia harus tetap berpegang pada prinsip kemanusiaan, mengutuk semua bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, tidak peduli siapa pelakunya. Sikap partisan George dalam hal ini telah mengaburkan sudut pandangnya dan membawa keraguan terhadap kehandalannya sebagai seorang pengamat Timor Timur. Pandangannya yang tendensius dan ketidakmampuannya untuk melihat kejahatan dari semua pihak mencerminkan kelemahan dalam analisis dan kesediaan untuk menghadapi fakta yang tidak sesuai dengan pandangannya.
Setelah George 'mengungsi' ke Australia, komunikasi saya dengannya terputus. dan saya tidak lagi memiliki akses untuk berbagi informasi terkait isu Timor Timur dari luar negeri. Setahun kemudian di tahun 1996, isu Timor Timur kembali mencuat di panggung dunia ketika dua aktivis Timor Timur, yaitu Ramos Horta dan Uskup Belo, dianugerahi Nobel Peace Prize. Penghargaan ini semakin mengangkat isu Timor Timur ke tingkat global, mengakui perjuangan mereka dalam membela rakyat Timor Timur yang tertindas. Namun, belakangan ini, kedua tokoh yang dianggap pantas mendapatkan Nobel tersebut gagal membawa perdamaian di Timor Timur, karena konflik yang telah berlangsung sejak Agustus 1975 masih berlanjut hingga saat ini. Hal ini berbeda dengan upaya menenangkan situasi Apartheid di Afrika Selatan yang berhasil dicapai berkat kepemimpinan yang bijaksana oleh Nelson Mandela.
Pada tahun 1998, tidak lama setelah jatuhnya rezim Orde Baru, George kembali ke Indonesia. Saya melihat dalam tayangan televisi bagaimana George disambut di bandara oleh sekelompok anak-anak yang anti Integrasi, mereka membopongnya sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan mereka. Tepat pada tahun itu, beberapa aktivis pro-demokrasi di Indonesia mulai mendirikan Solidamor, sebuah LSM yang berkomitmen mendukung lepasnya Timor Timur dari NKRI. Saya menduga bahwa George mungkin terlibat dalam pendirian LSM ini.
Setelah Timor Timur lepas, saya kembali bertemu dengan George karena kali ini ia mengajar di Universitas Sanata Dharma dan tinggal di sebuah kontrakan kecil yang tidak jauh dari rumah saya di Tapak Dara Gejayan. Pertemuan ini terjadi dalam suasana yang sangat berbeda, karena Indonesia telah memasuki era keterbukaan dan Timor Timur akhirnya tidak lagi menjadi bagian dari NKRI. Ketika George berbicara tentang keberhasilan kelompok separatis melawan Indonesia, wajahnya terlihat ceria, seolah-olah ia merasa 'menang' atas saya, dengan skor 1-0 untuk George. Yang lebih memprihatinkan, pemerintah yang saya bela selama ini justru menjadi pendukung utama Timor Leste. SBY, yang saat itu menjabat Presiden, bahkan terlihat dekat dengan Xanana, mantan musuhnya. Memang, situasinya telah berubah. Sejak kami tinggal berdekatan, kami sering bertemu hampir setiap pagi di warung internet yang terletak di dekat rumah kami di gang Flamboyan.
Meskipun memiliki pandangan dan sikap yang berbeda tentang Timor Timur, George adalah pribadi yang hangat dan penuh humor. Kami sering saling berbagi candaan dan keceriaan, namun kami sadar bahwa topik Timor Timur adalah sensitif bagi kami berdua. Ketika topik tersebut muncul, kami menyadari bahwa perbedaan pandangan dapat memicu debat yang tidak produktif. Oleh karena itu, kami memilih untuk jarang membahasnya dan lebih fokus pada isu lain yang juga penting, seperti korupsi di pemerintahan pada masa itu. Dalam hal ini, kami berusaha menjaga suasana yang harmonis dengan menghindari topik yang dapat memicu perselisihan, sambil tetap aktif dalam usaha memperjuangkan perubahan dan keadilan di ranah politik yang lain.
Sebagai seorang aktivis pro Timor Leste, George terbiasa mendapatkan referensi terkait Timor Timur dari kelompok yang menentang Integrasi. Dia percaya pada propaganda yang disampaikan oleh kelompok tersebut, bahwa partai Apodeti didirikan oleh tentara Indonesia. Namun, sebagai anak Apodeti, saya dengan jelas mengetahui kebenarannya lebih dari George. Saya dengan tegas membantah propaganda palsu tersebut. Ironisnya, partai Apodeti, yang menjadi sasaran kritik George, didirikan pada hari ulang tahun George sendiri. Pernah suatu saat, ketika saya diundang untuk makan di rumah sederhana George di Gejayan, dalam perayaan ulang tahunnya, dengan bercanda saya berkata, "Mari kita rayakan ulang tahun Bung George sekaligus merayakan Hari Ulang Tahun Apodeti!"Mendengar itu, George langsung tertawa dan meninju lengan saya.
Sebagai pribadi yang lugas, George tidak pernah mempertimbangkan dengan hati-hati kata-kata yang diucapkannya. Pada suatu seminar, ia terlalu jauh dalam mengkritik Keraton Yogyakarta sehingga menyebabkan warga Yogyakarta marah dan bergerak menuju rumahnya di daerah Gejayan. Meskipun beruntungnya, sebelum warga tiba, George sudah menghilang lebih dulu. Insiden ini menunjukkan betapa pentingnya berpikir sebelum berbicara dan menghormati sensitivitas dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat.
Dalam beberapa tahun terakhir akhir hidupnya, George sering kali mengalami masalah kesehatan yang mengharuskannya berulang kali masuk rumah sakit. Pada suatu pagi, istri George menghubungi saya dengan urgensi ketika George harus segera dibawa ke unit gawat darurat. Pada suatu kesempatan, Ramos Horta menjenguk George dan memberikan kontribusi dalam biaya perawatan rumah sakitnya. Namun setelah saya pindah dan mulai bekerja di Bali, komunikasi kami pun terputus. Kabarnya, George telah kembali ke kampung halaman istrinya di Palu.
Pada tahun 2016, saya mengalami duka yang mendalam karena baru saja kehilangan abang saya, yang juga merupakan sahabat terdekat dalam hidup saya. Kehilangan ini terjadi secara mendadak pada bulan Oktober 2016 Dua bulan setelahnya, ketika saya sedang berada di warung Internet, saya menerima kabar melalui telepon dari seorang teman tentang berita duka bahwa George telah meninggal dunia. Meskipun begitu, saat itu rasa duka yang masih menghinggapi hati saya atas kepergian abang begitu kuat, sehingga berita tentang kepergian George tidak begitu mempengaruhi saya secara emosional. Saat itu, saya segera membuka kembali file email di laptop saya dan menemukan sebuah email dari George yang dikirimkan sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2006. Isi email tersebut mengungkapkan bahwa George sedang menyelesaikan buku "Gurita Cikias" yang mengungkap kasus korupsi yang melibatkan SBY dan kroninya. Saat membaca email tersebut, saya tertegun dan teringat akan keunikan sosok George dalam perjalanan bangsa ini. Ia adalah satu-satunya peneliti korupsi yang secara detail menginvestigasi kekayaan para pejabat Indonesia. Saya belum pernah menemukan peneliti korupsi lain yang sekomprehensif seperti George. Kesadaran atas kehilangan sosoknya membuat saya terdiam. Akhirnya, saya memutuskan untuk menulis ucapan belasungkawa di akun Facebook saya sebagai penghormatan kepada beliau.
Terlepas dari perbedaan pandangan kami, George Junus Aditjondro telah memberikan kontribusi penting dalam membawa perubahan sosial-politik di Indonesia. Melalui ketekunan dan keberaniannya, ia mengangkat isu-isu yang sering diabaikan, seperti korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, ketimpangan sosial, dan isu-isu agraria. Pendekatannya yang kritis dan analitis, didasarkan pada analisis kelas, kekuasaan, dan teori Marxis, memberikan perspektif yang mendalam dan kritis terhadap struktur kekuasaan yang ada. George layak diakui atas ketekunannya dalam menyoroti kasus-kasus korupsi di tanah air. Kontribusinya dalam mengungkap ketidakadilan dan ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat akan tetap dikenang dalam sejarah perjuangan sosial di Indonesia.