Kunjungan Presiden Timor Leste Jose Ramos-Horta ke Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Rabu (20/7/2022) kembali menyegarkan ingatan lama tentang sisi harmonis antara Indonesia-Timor Leste sejak era KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memimpin Indonesia.
Hubungan antara Indonesia dengan Timor Leste dinilai semakin erat, utamanya setelah negara berjuluk “Bumi Lorosae” itu resmi menjadi negara pada 2002 lalu. Horta yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri Timor Leste merasakan betul keharmonisan hubungan antarkedua negara ini dimulai sejak Indonesia dipimpin oleh Gus Dur.
Tak hanya itu, dalam penilaiannya hubungan harmonis ini pun terbangun oleh kedewasaan antara kedua negara.
“Tak lama setelah merdeka, Indonesia berbesar hati menerima negara yang memutuskan untuk memisahkan diri dari RI. Ini merupakan contoh kedewasaan. Tidak banyak negara yang dapat menunjukkan kedewasaan semacam ini," ujar Horta, sebagaimana dilansir CNNIndonesia (2015).
Dalam konteks hubungan Indonesia dengan Timor Leste, Gus Dur adalah sosok yang berani mengakui kesalahan dan menyampaikan permintaan maaf atas apa yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya kepada rakyat Timor Leste. Pada tahun 2000, dalam sebuah acara di depan markas besar United Nation Transitional Administration in East Timor (UNTAET), di bekas Kantor Gubernur Timor Timur, Gus Dur bertemu dengan Presiden CNRT Xanana Gusmao didampingi Administrator Transisi Sergio Vieira de Mello. Gus Dur menyampaikan permohonan maaf atas semua kejadian di masa lalu kepada korban dan keluarga korban insiden Santa Cruz di Timor Leste.
“Saya mau meminta maaf atas semua kejadian yang telah terjadi di masa lalu. Kepada para korban dan keluarga korban insiden Santa Cruz dan teman-teman yang dikuburkan dalam kuburan militer. Keduanya adalah korban dari kejadian yang kita sama-sama tidak inginkan,” ucap Gus Dur, sebagaimana terarsip dalam media Tais Timor (13 Maret 2000). Tais Timor merupakan media yang dikelola oleh UNTAET. Hal itu pun terekam dalam dokumenter bertajuk High Noon in Jakarta garapan sutradara Australia Curtis Levy.
Gus Dur juga mengatakan kepada sekitar 4.000 rakyat Timor Timur (Timor Leste) bahwa dirinya merasa seperti berada di rumah sendiri saat berada di sana. “Timor Timur dan Indonesia tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika Anda berada dalam tekanan kami juga demikian,” kata Gus Dur. Bahkan, Gus Dur mendorong para mahasiswa Timor Leste yang sempat menempuh pendidikan di Indonesia untuk kembali melanjutkan studinya. “Silakan kembali ke Indonesia. Kalian tidak perlu takut,” seru Kiai Kharismatik NU itu.
Keberanian Gus Dur yang lain, dinyatakan Robinson dalam bukunya Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966 (2018), “Gus Dur adalah pejabat tinggi Indonesia pertama yang secara terbuka meminta maaf atas pembunuhan massal 1965-1966 dan menyerukan pencabutan Tap MPRS XXV”. Langkah-langkah visioner Gus Dur menurut Munawir Aziz, Peneliti Kebangsaan dan Islam dalam catatannya yang berjudul “Gus Dur dan Gusmao Merekatkan Indonesia-Timor Leste” (Alif.id, 2019), juga membangun hubungan erat kedua negara dengan kemanusiaan. “Gus Dur membangun landasan hubungan bilateral yang harmonis antara Indonesia dan Timor Leste. Melalui diplomasi kemanusiaan, Gus Dur mengobati luka lama seraya menjemput masa depan dengan perdamaian. Ini warisan kebijakan yang sangat berharga.”