23 tahun yang lalu (1998), saya bersama 2 orang mahasiswa Universitas Indonesia mengunjungi markas komandan Falintil, Taur Matan Ruak, di Region IV Bacau. Markas ini ada jauh di tengah rimba. Perjalanan menuju markas sulit, mesti berjalan kaki berjam-jam, dilakukan malam hari, melewati hutan, sungai, tebing, naik turun bukit, tanpa menggunakan penerangan apapun, karena TNI ada dimana-mana.
Yang paling mendebarkan saat harus merayap melewati satu tebing sungai. Tempat kaki kita bisa menjejak sempit sekali, harus mencari pegangan di dinding batu supaya tidak jatuh. Disebalah kanan kita tebing batu, disebelah kiri jurang. Didasar jurang ada satu peleton TNI sedang bermalam. Ada tenda2 dan api untuk memasak, terdengar suara mereka sedang bercakap2. Saat itu saya kuatir tergelincur atau batu-batu yg kami sentuh ada yang terguling dan jatuh kebawah, membuat tentara dibawah curiga lalu memeriksa. "Kalau ketahuan habis deh" begitu kata saya dalam hati.
Untung kami selamat sampai tujuan. Markas besar Falintil ini sederhana sekali. Terdiri dari tenda2 dan pondok2 kecil beratap daun. Dimarkas kami disambut komandan Falintil Taur Matan Ruak. Disana selain puluhan tentara juga ada satu orang pejabat sipil, Lu Olo perwakilan partai Fretilin. Bahwa Lu Olo ini orang sipil ditekankan betul. Jadi struktur tentara Falintil ini mirip Tentara Merah dimana ada pejabat partai yang bertanggung jawab disana. Tentara patuh pada perintah partai.
Ini yang membedakan tentara Falintil yang terorganisir dibawah partai dengan kelompok2 bersenjata OPM di Papua. Tentara Falintil berada dibawah sentral komando dan kepemimpinan politik sipil yang satu dan kuat. Antara perjuangan politik di luar negeri, perjuangan sipil bawah tanah di desa, kota dan berbagai tempat, termasuk di kota2 di Jawa dan Bali, serta perjuangan bersenjata oleh Falintil, semua terorganisir dan dibawah satu garis komando. Ini yang membuat perjuangan di Timor Leste sukses.
Komando ini sejatinya adalah partai Fretilin, namun secara sangat cerdas para Petinggi Fretilin mengubahnya menjadi CNRT untuk mengakomodasi partai2 lain dan menghindari tuduhan Komunis yang sulit mendapat dukungan internasional. Tapi Falintil sendiri dengan adanya Lu Olo disana sesungguhnya adalah tentara partai (Fretilin), seperti Tentara Merah.
Falintil melaksanakan taktik perang gerilya. Satu kelompok pasukan tidak pernah menetap di satu tempat dalam waktu yang sama, selalu berpindah-pindah. Disatu lokasi mungkin hanya 2-3 hari. Bisa sedang ada penyapuan oleh TNI, mereka harus berpindah dan bergerak terus siang malam selama beberapa minggu.
Saya bertemu dengan beberapa orang gerilya dengan tubuh penuh lubang bekas luka tembak. Tak habis pikir bagaimana mereka masih hidup dengan luka2 seperti itu. Ada seorang dengan bekas peluru tepat ditengah leher. Dia bercerita bahwa dia tertembak di tenggorokan dan terpisah dari anggota yang lain. Dia harus tetap berjalan dengan lubang di tenggorokan sampai bertemu kembali dengan anggota lain. Katanya yang paling menyiksa saat itu adalah dia tidak bisa minum sehingga sangat kehausan. Setiap kali minum, air keluar lagi dari lubang di tenggorokannya. Luar biasa dia masih hidup.
Di hutan tentu tidak ada fasilitas medis, dokter, perawat atau obat-obatan. Buat saya yg terbiasa dengan layanan kesehatab, sungguh takjub melihat banyak orang dengan luka2 tembak yang fatal bisa hidup tanpa perawatan medis apapun. Luka2 tembak dirawat dengan ramu2an yang dibuat dengan bahan2 dan daun2 yang ada dalam hutan. Mereka sangat percaya pada "lulik" (kesaktian?). Bila ada yang sakit atau luka, maka yg bersangkutan atau yg merawat akan mendapat mimpi tumbuhan apa yang harus dicari untuk mengobatinya. Percaya tidak percaya, tapi itu dibuktikan dengan bagaimana mereka bisa hidup dengan luka2 tembak seoarah itu.
Satu hal yang mengesankan, disana saya bertemu dengan beberapa orang tentara perempuan. Para tentara perempuan Falintil ini memiliki rambut panjang yang dibiarkan terurai lepas menutupi punggung dan dada, berbeda dengan banyak perempuan lain yg rambut panjangnya biasanya disanggul atau diikat. Para tentara perempuan ini adalah prajurit terlatih yang bertempur sebagaimana halnya tentara laki-laki. Waktu saya tanya sudah berapa lama mereka bergerilya, mereka jawab sudah 20 tahun! Selama itu mereka hidup didalam hutan, tidak pernah menetap disatu tempat, bergerak terus. Ada yang menikah dengan sesama gerilya dan punya anak. Saat hamilpun mereka tetap harus berpindah-pindah menghindari TNI. Salah satu bercerita, saat dia sedang hamil ada serangan dari TNI. Selama 2 minggu dia harus terus menerus berjalan siang malam dalam keadaan perut yang besar. Mereka melahirkan ditengah hutan, bayinya lalu dibawa turun dan dititipkan kepada gereja untuk diasuh. Sekali2 mereka mendapat kiriman foto anak2 mereka. Rindu? Tentunya, jawab mereka.
Saya bertanya pada perempuan2 prajurit ini bagaimana bila kemerdekaan masih lama? Mereka sudah berjuang begitu lama. Mereka mengatakan mereka siap bergerilya 20 tahun lagi! Terharu betul saya. Waktu saya tanya apa yang ingin mereka lakukan setelah merdeka, salah satu menjawab, dia mau tidur sepuas-puasnya. Dalam hati saya berpikir betapa letihnya perempuan ini sehingga keinginan terbesar adalah tidur sepuasnya. Ada satu yang mengatakan, sesudah merdeka dia ingin berkunjung ke Jakarta! Dia mendengar Jakarta itu kota besar yang bagus, jadi dia ingin datang melihat-lihat. Aduh, ingin sekali saya betemu dingan perempuan ini lagi. Kalau bertemu pasti akan saya ajak dia berkunjung dan jalan-jalan di Jakarta.
Yang unik saya juga bertemu dengan seorang tentara Falintil yang orang Jawa! Pemuda Jawa ini tadinya anggota TNI, tapi kemudian desersi dan bergabung dengan Falintil. Berani sekali! Tentara lain sambil tertawa-tawa bilang, "dia orang Jawa". Si pemuda senyum2 saja. Waduh, kalau tertangkap TNI ngeri membayangkan siksaan yang akan dia alami. Saya juga melihat banyak gerilyawan yang menggunakan baju tentara dengan badge nama diatasnya, tapi nama2 yang tercantum adalah nama2 Indonesia! Rupanya ini seragam rampasan yang diambil dari tentara Indonesia (yang tertangkap, terluka, terbunuh?). Ya iyalah, pikir saya. Dari mana lagi mereka bisa dapat seragam tentara.
Para gerilyawan ini selama di hutan hanya makan sagu saja yang diolah menjadi semacam lempeng kecil yang keras. Sekali-kali, bila beruntung mereka bisa makan daging rusa hasil buruan. Saya juga dijamu dengan daging rusa oleh komandan Taur. Tapi lempengan sagu tanpa lauk keras dan hambar sekali. Sungguh salut mereka bisa makan ini selama bertahun-tahun.
Saat disana saya terbayang mungkin seperti ini gerilyawan pejuang kemerdekaan Indonesia dahulu. Percaya pada cita-cita kemerdekaan dan rela bersabung nyawa untuk mencapainya. Merdeka atau mati bukanlah sekedar slogan belaka. Pada suatu masa, ditahun-tahun yang telah lama berlalu, para pejuang kita hidup dan bernapas didalamnya.
Saya tidak tahu siapa yang mengambil video saat kami secara resmi diterima oleh Taur Matan Ruak ini. Tapi terima kasih banyak kepada beliuau.