DOMINGOS POLICARPO (Putra dari sang perintis integrasi Arnaldo dos Reis Araujo)

Oleh: Juan Meco

Policarpo adalah salah satu penandatangan Manifesto Apodeti yang masih hidup hingga saat ini, ia adalah saksi sejarah berdirinya partai tersebut. Namun, ketika konflik perang saudara semakin memburuk, Arnaldo dos Reis Araujo mengirimkan Policarpo ke Kupang untuk keselamatan putranya. 

Di Kupang, Policarpo tinggal di rumah seorang raja Timor di Kupang. Keluarga ibu Policarpo berasal dari Rote, keturunan langsung dari salah satu Raja Rote yang bermarga Corbafo. Raja ini memilih keluar dari pulau tersebut berlayar dan kemudian menetap di Oecusse yg saat itu masih dijajah Portugis. Ibu kandung Policarpo kemudian menikah dengan Arnaldo dos Reis Araujo, sang perintis Integrasi. Adik Ibu Policarpo adalah Ibu kandung dari Joao Meco. Sejak jaman kolonialis keluarga pak Arnaldo khusunya kedua putranya Zeca Araujo dan Casimiro, sering keluar masuk Timor Barat dan bertemu dengan kerabat mereka di sana. Kakak Policarpo, Casimiro membagun kembali komunikasi dengan para kerabat mereka di Timor dan di NTT secara keseluruhan.

Tidak heran jika cita-cita Integrasi lahir dari keluarga ini, mengingat hubungan kekerabatan yang saling terjalin dan kedekatan mereka dengan Timor Barat. Salah satu lagu daerah Timtim yang berjudul mai falie adalah lagu daerah Rote yang kemudian dijadikan mars Partai Apodeti. Lucunya lagu ini malahan menjadi lagu kesayangan Presiden Fretillin Marie Alkatiri, dan pernah dia nyanyikan saat kampanye Fretillin. Ironis lagu Mars Apodeti dinyayikan oleh Fretillin.

---

Ketika pecah konflik antar partai di Dili, ayah Policarpo yaitu Arnaldo dos Reis Araujo, beserta kedua kakaknya, yaitu Zeca Araujo dan Casimiro ditangkap Fretillin. Para pemimpin Apodeti saat itu antara lain Wapres Apodeti Hermenegildo Martins dan Sekjern Apodeti Jose Fernando Osorio Soares ikut ditangkap. Beruntung, Arnaldo berhasil mengirimkan Policarpo ke Kupang sebelum pecah konflik bersenjata. 

7 Desember 1975 ABRI mendarat, Fretillin melarikan diri ke hutan-hutan. Penjara tempat Arnaldo dos Reis Araujo dan tahanan politik Apodetik ditinggalkan begitu saja. Arnaldo beserta tahanan lainya berhasil lolos. Pak Arnaldo berhasil lolos dari penjara dan bertemu dengan PASMAR pimpinan Rudolf Kasenda. Ia diterbangkan ke Kupang untuk mendapatkan perawatan dari dokter TNI selama 10 hari. Bapak Domingos akhirnya bisa bertemu ayahnya di sana dan mengetahui bahwa nasib kakaknya Casimiro belum diketahui hingga hari itu.  

Belakangan diketahui bahwa  sebagian besar pemimpin dan anggota Apodeti menjadi korban pembantaian massal Fretillin di Aileu. Beberapa korban selamat dari pembantaian adalah orang-orang yang terpaksa menyangkal Apodeti dan dipaksa mendukun Fretillin kalau masih mau hidup. Sungguh luar biasa pengorbanan dan teladan dari Sekjen Apodeti Fernando Osorio, Wapres Apodeti Hermenegildo dan sekretaris Presidium Apodeti Casimiro, yang tetap mempertahankan prinsip mereka dan menolak khianati perjuangan mereka dan menolak amnesti yang ditawarkan Fretillin. Meskipun mereka tahu bahwa hal itu akan mengakibatkan kematian mereka, mereka memilih dieksekusi. Beberapa dari mereka yang menyangkal Apodeti, hari ini masih hidup dan menjadi saksi kekejaman Fretillin.

Pada tahun 1976,  Policarpo  memulai studinya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Saat itu, ia adalah adik tingkat dari Titiek, putri Presiden Soeharto, yang kemudian menikah dengan Prabowo. Selama di kampus Policarpo aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus dan cukup terkenal. Bahkan, Rhenald Kasali,  seorang mahasiswa yang lebih muda dari mereka, sangat kagum dengan kepribadian Policarpo.

Setelah menyelesaikan kuliahnya, Policarpo pulang ke Timtim dan mengabdikan dirinya di sana. Pada tahun 1995, bersama dengan beberapa tokoh Timtim lainnya, ia mewakili kubu pro  Indonesia dalam  dialog dengan kubu anti-integrasi di pertemuan AETD. 

Pada tahun 1997, Pak Policarpo bersama Sico Fernades dan Dino Pati Djalal (mantan DUBES RI di Amerika dan mantan Jubir Presiden Hublu masa SBY) menghadapi propaganda Ramos Horta di luar negeri. Saat itu, nama Ramos Horta sedang naik daun di dunia, dan ia terkenal karena menerima Nobel Perdamaian bersama Uskup Filepe Carlos Belo yang kemudian tersangkut kasus pedofilia. Ramos Horta memanfaatkan popularitasnya untuk terus menjatuhkan Indonesia di luar negeri. Namun, suatu pengalaman menarik terjadi ketika Ramos Horta tidak berkutik saat berbicara di sebuah seminar di Harvard.

Pada saat itu, Ramos Horta telah menjadi tokoh perdamaian  yang diakui dunia menurut kriteria Nobel. Saat berbicara di sebuah seminar di Harvard, ia mengungkapkan kekejaman penjajah Indonesia yang sangat kejam. Ia meminta perhatian dunia untuk membuka mata terhadap segala bentuk tindakan kejam yang dilakukan oleh Indonesia, dan meminta dunia mendukung perjuangan rakyat Timtim untuk mengusir Indonesia dari negaranya.

Saat sesi tanya jawab dimulai,  Policarpo berada di barisan penanya saat Ramos Horta mendapatkan banyak tepuk tangan riuh dari penanya sebelumnya. Bintang Ramos Horta bersinar terang di atas panggung. Namun, tibalah giliran Policarpo untuk bertanya. Ia memperkenalkan dirinya sebagai orang Timtim dan latar belakangnya, lalu mulai bertanya kepada Ramos Horta. Moment itu semakin menarik ketika Policarpo membuka pandangannya yang berbeda dan memberikan Pertanyaan yang tak terduga pada Ramos Horta.

”Anda adalah seorang tokoh perdamian dan anti kekerasan yang diakui dunia serta seorang pejuang kemanusiaan terkemuka saat ini. Saya tidak akan menghabiskan banyak waktu dengan banyak pertanyaan, tapi hanya ingin menanyakan hal yang sangat penting. Pada tanggal 4 Oktober 1975, Anda bersama dengan Fretillin partai Anda, datang menjemput kakak saya Casimiro, kakak saya Zeca, dan ayah saya,  beserta tokoh Apodeti lainnya untuk rapat. Namun, hingga saat ini, kakak saya belum pulang dan kabarnya telah dieksekusi dan dibantai secara massal oleh anda dan gerombolan anda. Tolong beritahu saya, di mana ia berada? Jika ia sudah ditembak, di mana jasadnya? Saya tidak peduli apakah dunia menganggap Anda pahlawan atau dewa perdamaian sekalipun, saya hanya ingin tahu di mana kakak saya berada. Tolong beri saya jawaban?!

Ketika Polikarpo mengajukan pertanyaannya, suasana di ruangan yang tadinya hening tiba-tiba menjadi ramai bagai dipenuhi suara tawon. Semua orang kaget dan tidak percaya. Horta langsung pucat dan tak mampu memberikan jawaban. Akhirnya, panitia memutuskan untuk menghentikan seminar dan mengeluarkan Horta dari ruangan. Momen itu sangat memalukan bagi Sang pemenang Nobel perdamaian tersebut. 

Kabar Ramos Horta keluar dari seminar terdengar hinga Jakarta, Kementerian Luar Negeri sangat senang, bahkan Duta Besar Ingrish Fany Habibie (adik dari Habibie yang kelak menjadi Presiden yang melepaskan Timor Timur) langsung menelpon dan mengucapkan selamat. 

Selanjutnya, Kementerian Luar Negeri terus mencari tahu agenda kampanye Horta, di mana ia akan tampil, dan setiap kali ia muncul, Policarpo selalu ada di sana. Akhirnya, Horta tidak lagi berani membahas isue Timor Timur, tetapi memfokuskan diri pada isu-isu perdamaian global karena ia tahu bahwa Policarpo selalu ada di sana.

Di tahun 1999, Policarpo kemudian bergabung bersama bapak Domingos Soares, Meno Hornay, Antonio Castro, Basilio Araujo, Mario Viera, dan lainnya untuk mendirikan Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan (FPDK) yang berjuang untuk mempromosikan Opsi I (otonomi). FPDK didirikan pada tanggal 27 Januari 1999 untuk mempromosikan Opsi I (otonomi khusus) kepada rakyat Timor Timur. Namun sayangnya, beberapa jam setelah didirikan, Presiden Habibie mengeluarkan Keputusan Jajak Pendapat  untuk melepaskanTimor Timur dari NKRI, yang dikenal sebagai Opsi II. Sejak saat itu, perjuangan untuk memenangkan otonomi khusus dimulai, demi mewujudkan integrasi. Meskipun pada akhirnya mereka kalah secara curang oleh penyelenggara UNAMET, tetapi perjuangan mereka tidak berhenti di situ. Hal ini terbukti dengan didirikannya UNTAS di Kupang pada tahun 2000, yang memasuki babak baru dalam perjuangan mereka.

Sekian

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama