1 menit, 12 detik



Oleh: BASMERI 

[27 Januari 2023] 


27 Januari 1999  Malam sekitar pukul 19.30 Wib , ketika saya sedang menyantap mie di warung jalanan, tiba-tiba saya dikejutkan oleh bunyi deru motor di sertai suara yang  saya kenal berteriak kepada saya  .

 “ Indonesia mau melepaskan Timor Timur”  ujar abang saya Jose Antonino atau yang biasa di sapa bang Josh.

Saya terkejut dan setengah tidak percaya mengira ia sedang bercanda. Demi meihat ekspresi saya bang Josh kembali menengaskan “Iya betul, tadi baru saja disiarkan di Berita Nasional TVRI.”

Seketika itu nafsu makan saya lenyap. Rasa bingung dan seribu kata tak bisa terucap. Keputusan selanjutnya hanya beregas pulang.

Sampai di rumah, Flamboyan, gang Tapak Dara 4A,  Yogyakarta ternyata sudah berkumpul beberapa teman dan kerabat. Ternyata berita itu pun sudah terdengar di telinga  mereka semua.

Tampak tampang-tampang serius dan terkejut terpancar dari 3 orang lainnya yang ikut erkumpul. Tak hanya saya saja yang kaget, kerabat saya Frederico Texeira, Joni Oliviera dan Egidio Dacosta, semua saling berpandangan  mencari sebuah jawaban dan kepastian tentang berita yang baru saja disiarkan televisi pemerintah.Kami terlibat dalam diskusi dan pembicaraan . Masih diliputi rasa tidak percaya tentang berita itu? Sebuah keputusan bijak menjadi pilihan, agar menunggu berita yang lebih valid dalam siaran Dunia dalam Berita sekitar pukul 21.00Wib.

Seluruh pandangan mata langsung fokus ke televisi. Menyimak tayangan pembaca berita yang kemudian beralih pada tayangan Menlu Ali Alatas yang sedang membacakan keputusan hasil rapat kabinet terbatas. Kami semua memasang telinga dengan baik-baik, berharap berita yang kami dengar tentang pelepasan Timtim hanya sekedar rumor belaka. Salah seorang dari kami memperhatikan jam tangannya dan mulai menghitung waktu bersamaan dengan lafal suara Ali Alatas  ketika menyatakan keputusan itu.

“…Satu alternative antara lain didengung-dengungkan oleh lawan-lawan kita adalah menerima otonomi secara luas 5 tahun sampai 10 tahun, Pemerintah RI terus melaksanakan otonomidengan lain perkataan mereka bebas sebebas-bebasnya, kita terus membiayai mereka, tidak ada biaya nasional sendiri, kita beri segala macam, setelah sepuluh tahun lalu mereka katakana goodbye, terima kasih. Itu usul mereka. Kita katakan itu tidak akan jalan.” 

...Tetapi harus ada alternative. Bagaimana alternative penyelesaiannya? Seperti saya katakan tadi, kalau setelah 23 tahun (Indonesia) tetap tidak dimengerti dan dihargai, tetap tidak bisa dilihat bahwa Indonesia itu masuk ke Timtim bukan untuk mencapai sesuatu tetapi untuk memberi, maka tidak usahlah banyak cin cong, 5 tahun-10 tahun, tidak (akan) ada itu! Sekalian saja kita keluar! Artinya kalau rakyat Timtim tidak mau penyelesaian dengan otonomi, maka kita akan mengusulkan kepada SU MPR untuk memutuskan bahwa kita mencari bentuk di mana kita bisa berpisah secara terhormat dan baik-baik, tidak secara jelek-jelek.”

Berbagai perasaan kami campur aduk. Shock dan hanya tertegun  saja setelah melihat pernyataan Menlu Ali Alatas . (Saling pandang menjadi satu-satunya jawaban, dengan sebuah pertanyaan pastinya terselip di hati. “Apakah yang akan terjadi selanjutnya?”

Bang Josh yang sedari tadi terus memandangi jam tangannya, hingga pidato Ali Alatas tadi berakhir memecah keheningan kami dan berujar.

“1 menit, 12 detik”

Sayapun bertanya, “Apa maksud kamu?”

“Yah 1 menit 12 detik! Itulah waktu yang dibutuhkan Habibie untuk menghancurkan apa yang sudah dibangun di Timtim selama 23 tahun” ujarnya lirih.

Sebuah pernyataan sarkas yang  sesuai dengan kenyataan saat itu. Sayapun tenggelam dan membayangkan tahun-tahun belakang ketika Integrasi Timtim telah dicapai. Saya terkenang ketika Kakek, ayahanda, paman, kerabat dan kawan2 mereka saat mendirikan partai AITI yang kemudian menjadi Apodeti. 

Pada tanggal 4 Oktober 1975 Kakek, ayahanda, paman dan rekan seperjuangan partai Apodeti ditangkap Fretilin dan dijebloskan dalam penjara. 

Sebagian dari mereka kemudian dibunuh oleh Fretillin, sebagian selamat dan bebas bersamaan dengan penerjunan pertama pasukan ABRI di Timor Timur pada  7 Desember 1975. Kakek dan ayahanda termasuk orang yang selamat. Namun beberapa pemimpin Apodeti lainnya gugur dieksekusi Fretillin antara lain paman Casimiro adik kandung ayah, Hermenegildo Wapres Apodeti, dan Jose Fernando Osorio Soares  Sekjen Apodeti. 

Saat keputusan melepas Timtim dibacakan, Kakek dan ayahanda sudah berpulang, dan mereka berdua dimakamkan secara berdampingan di Taman Makam Pahlawan Seroja di Dili Timtim. Saya tidak tahu apakah ada di belahan dunia lain seorang ayah dan anak dimakamkan secara berdampingan di sebuah taman makam pahlawan? Namun itu terjadi pada Kakek dan ayahanda tercinta. Mungkin tidak banyak yang tahu mengenai ini, namun setidaknya itu cukup menggambarkan kisah hidup ayah dan anak yang selalu berdampingan dalam sebuah perjuangan. Dan sebagai putra dan cucu  mereka saya selalu merasa terikat dengan cita-cita perjuangan mereka.  Mengenang Makam Pahlawan Seroja saya juga membayangkan jasad para prajurit ABRI yang dimakamkan di sana dan pengorbanan mereka demi Bhakti Negara, sebagian dari mereka ... mengenang itu semua saya menjadi bertanya-tanya apa yang dilakukan Wiranto selaku Panglima ABRI saat keputusan ini dibahas dalam rapat. 

“Kok bisa ada keputusan seperti ini?. Apa yang diperbuat Wiranto (jendral Wiranto), mengapa dia diam? Kenapa tidak mem-veto keputusan itu”   saya bertanya kepada semua yang ada dalam ruangan itu. Tidak ada yang bisa menjawab karena tidak ada satupun yang tahu drama apa yang telah terjadi dalam rapat kabinet terbatas itu sehingga dengan mudahnya menelorkan sebuah keputusan yang sangat kontroversial tersebut. 

7 kilometer dari kediaman kami, tepatnya di Gang Timor Timur Kaliurang- Asrama Timtim. Suasana kontras terjadi setelah dibacakannya keputusan pemerintah untuk melepaskan Timtim jika tawaran otonomi luas ditolak. Pekik kemenangan bersahut sahutan disertai yel yel Viva Timor Leste! Viva Xanana! Viva Independencia! terdengar. Penghuni asrama kebanyakan adalah mahasiswa-mahasiswa Timor Timur yang anti integrasi. Mereka umumnya tergabung dalam Renetil atau gerakan Clandestine yang bertujuan melepaskan Timtim dari NKRI. Raut muka bahagia  bercampur kemenangan tergambar diwajah mereka. Akhir yang ditunggu-tunggu telah tiba. 

Kembali ke kediaman kami Tapak Dara 4a. Rumah kami mulai didatangi oleh kawan-kawan sehaluan salah satunya adalah @Olito Soares Oligario putra dari alm. Jose Fernando Osoria Soares Sekjen Apodeti. Rupanya ia datang ingin mengkonfirmasi apakah kami semua telah mengetahui berita tersebut? Situasi saat itu jelas membuat masyarakat Timtim semakin terbelah dalam dua kubu yang saling bertentangan Pro dan Anti Integrasi.  Bagi kami keputusan pemerintah tersebut dilakukan tanpa memprtimbangkan eksistensi kelompok pro Integrasi dan kami merasa menjadi seperti anak tiri dan ditinggalkan. Sedangkan bagi kelompok  antiintegrasi  keputusan ini mebuat mereka seolah  mendapatkan angin karena keinginan merekaa untuk merdeka menjadi hadiah yang menggembirakan. 

“Apa yang akan terjadi selanjutnya Kak? terdengar Joni Oliviera bertanya padaku.

“Hanya ada dua pilihan, membunuh atau dibunuh” 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama