Salah satu pesawat tempur andal yang terbukti tangguh di medan tempur dan pernah dioperasikan TNI AU, adalah OV-10F Bronco. Sejak kehadirannya tahun 1976, Bronco langsung menggebrak dalam Operasi Seroja di Timtim. Ternyata tidak hanya jago dalam misi serang darat, Bronco yang dijuluki si Kuda Liar ini juga digunakan TNI AU untuk terjun payung.
Seperti dikutip dari buku “Marsma (Pur) Nanok Soeratno: Kisah Sejati Prajurit Paskhas” (2013), disebutkan bahwa OV-10F Bronco buatan North American Rockwell ini digunakan TNI AU sebagai pesawat khusus pertempuran antigerilya (Coin).
Pesawat ini mulai memperkuat TNI AU sejak 28 September 1976, ditandai datangnya tiga unit pesawat yang menempuh perjalanan panjang dari San Fransisco – Honolulu – Guam – Manado – Halim.
Tidak sampai seminggu sejak kedatangannya, ketiga pesawat yang diberi registrasi S-101, S-102 dan S-103 ini langsung tampil dalam demo udara saat peringatan hari ABRI ke-31 di Parkir Timur Senayan pada 5 Oktober 1976.
Tak lama kemudian, si Kuda Liar langsung diterbangkan ke Baucau untuk melaksanakan debut operasi militernya. Pesawat berikutnya hingga lengkap 16 pesawat datang berturut-turut sejak 13 November 1976 (3 pesawat), 17 Desember (3 pesawat), 16 Februari 1977 (3 pesawat), 16 Maret (2 pesawat), dan 17 Mei (2 pesawat).
Kehadiran Bronco memberikan nilai strategis bagi TNI yang tengah sibuk menghadapi operasi militer di Timtim. Kenangan terhadap kesaktian Bronco mengalir dari mulut purnawirawan TNI yang pernah bertugas di Timtim. Khususnya pasukan darat, karena memang Bronco didesain sebagai pesawat spesialis serangan darat (air to ground).
Marsdya (Pur) Tamtomo Adi sebagai penerbang Skadron Udara 3, tak pernah berhenti melaksanakan tugas operasi.
Ketika menjabat Komandan Skadron 3, Letkol Pnb Tamtama Adi memaksimalkan kemampuan yang dimiliki Bronco, terutama dalam hal menerjunkan pasukan. Kedengarannya aneh, Bronco bisa menerjunkan pasukan? Hal yang sejatinya tidak aneh bagi Tamtama dan segenap personel Skadron 3.
Tamtama dan Hanafie Asnan sudah mengetahui kemampuan Bronco menerjunkan pasukan saat mengikuti pendidikan FAC (Forward Air Control) di Australia tahun 1974.
Pesawat ini dilengkapi kompartemen cukup besar yang terdapat di bawah kokpit dengan kapasitas sekitar 1.500 kilogram. Bisa dimuati barang atau diganti dengan lima peterjun.
Karena didesain untuk terjun, di sisi atas ruang kargo ini tersedia kawat baja yang terbentang dari depan ke belakang untuk kait terjun statik, seperti yang ditemui di pesawat angkut militer. Termasuk lampu merah, kuning, dan hijau untuk panduan bagi peterjun.
Saat menjadi komandan skadron, Pak Tom, panggilan akrabnya, tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Penerjunan terus dilakukan bersama Kopasgat, baik di Bandung maupun di Malang, pangkalan Bronco. Aktivitas penerjunan sudah dilakukan di Skadron 3 sejak 1981.
Salah satu penerjunan dilakukan di Bandung, saat fight Bronco melaksanakan latihan penembakan di Pameungpeuk. Sebanyak tiga Bronco yang mengikuti latihan, memanfaatkan kesempatan itu untuk menerjunkan Kopasgat.
Menurut Tom, sebelum penerjunan dilaksanakan untuk pertama kalinya, sejumlah persiapan dilakukan di Skadron. Meliputi pelepasan pintu kargo yang akan digunakan untuk lompat. Dalam fase persiapan ini, dilakukan pengujian penerjunan dummy berupa karung yang diisi pasir dan dipasangi parasut.
Rencana Skadron 3 melaksanakan penerjunan dari Bronco ini disampaikan kepada Danjen Kopasgat Marsma TNI Sugiantoro.
Perintah diterima Kapten Pas. Nanok Soeratno untuk menyiapkan tim terjun yang akan melaksanakan penerjunan dari Bronco. Ketika itu peterjun free fall Kopasgat mulai banyak seiring dibukanya pendidikan free fall secara resmi di Margahayu pada tahun 1981.
Di antara peterjun yang disiapkan Nanok selain dirinya adalah adalah Sunarbowo Sandi, Wahyudin, Isis Gunarto, Sukiswo, dan Kalengkongan. Menurut Nanok, terjun dari Bronco tentu tidak akan ada bedanya dengan terjun normal dari pesawat.
Karena sempitnya ruang kargo itu, posisi peterjun sedikit ‘tersiksa’. Mereka duduk berdempetan dengan posisi menghadap ke belakang dan kaki selonjoran ke depan.
“Sangat pas, tapi aman kok,” kata Nanok.
Untuk keamanan, sabuk pengaman dipasangkan ke peterjun terdepan. Dengan duduk berdempetan, dalam beberapa kali penerjunan bahkan dilakukan dengan membawa senjata. Posisi senapan ditaruh di atas paha.
Menurut Kalengkongan, di antara peterjun, yang paling tersiksa adalah yang duduk paling belakang. Kepalanya harus ditekuk selama penerbangan, karena harus mengalah dengan sebuah tonjolan yang menempel di pilar penutup antara kabin dengan ruang bawah kokpit. Tidak terlalu jelas apa fungsi tonjolan itu.
Di antara prosedur keselamatan disepakati. Jika mesin mati sementara ketinggian pesawat masih di antara 1.000-1.500 kaki atau bahkan di bawahnya, peterjun dilarang untuk loncat. Karena dengan kondisi emerjensi seperti itu, penerbang sudah terlatih mendaratkan pesawat dengan satu mesin.
Sebaliknya jika sudah di atas ketinggian tersebut, peterjun dipersilakan untuk lompat.
Berdasarkan logbook terjun milik Kalengkongan, penerjunan dilaksanakannya di Margahayu, Bandung pada 3, 5, dan 6 November 1981 dengan penerbang Mayor Pnb Tamtomo Adi. Karena dinilai sukses dan berlangsung aman, Nanok berinisiatif melanjutkan latihan di Malang.
Latihan di Malang dilaksanakan hampir sebulan.
Saat peringatan HUT ABRI di Madiun 5 Oktober 1982, merekapun diminta melaksanakan demo terjun dari pesawat serang darat OV-10 Bronco. Penerjunan dilakukan dari tiga pesawat Bronco dipimpin Lettu Pas Manurung.
Sebelum penerjunan dengan OV-10, dilakukan terjun bebas prajurit Kopasgat dan Kopassandha menggunakan dua pesawat Fokker F27 yang bertolak dari Lanud Adi Sucipto. Tak lama kemudian Kopasgat mendapat payung baru yang lebih bagus.
Soal menerjunkan orang dari Bronco, Tamtomo punya cerita unik dan horor. Satu hari saat penugasan di wilayah Irian Jaya, pesawat yang akan berangkat dari Wamena ke Biak mendapat tumpangan teknisi Bronco.
Pak Tom ketika itu sudah wanti-wanti kepada mereka bahwa penerbangan ini akan sangat berbahaya bagi mereka karena tidak mengenakan parasut. Namun karena teknisi ini ngotot karena ingin segera tiba di Biak, jadilah hari itu Bronco membawa dua teknisi di ruang kargonya.
Dalam latihan bersama (Latma) antara TNI AU dan Thailand dengan sandi Elang Thainesia tahun 1983, duet terjun Kopasgat-Bronco kembali diturunkan. Kebetulan pula AU Thailand mengoperasikan pesawat sejenis, sehingga latihan bisa dilaksanakan secara maksimal.
Latma Elang Thainesia dilaksanakan untuk pertama kali pada 1980. Personel angkatan udara Thailand sempat kaget dengan demo terjun payung pasukan Pengendali Tempur Kopasgat yang diperagakan dalam latihan di Surathani, Thailand.