👇
Politik Lewat Busa
KOTA Dili terjaga dari tidurnya persis pada saat mentari muncul dari balik bukit-bukit Liquica. Hanya sejam para penghuninya berkemas-kemas, untuk pergi ke kantor. Atau antri beras, yang sudah menjadi kesibukan rutin di negeri jajahan yang serba impor itu. Tepat jam 7 pagi, pintu toko-toko dan warung pun terbuka. Suasana di jalan-jalan raya dengan lalu-lintasnya yang berseliweran di sisi kanan belum begitu ramai. Paling-paling hanya mobil-mobil pegawai pemerintah, pedagang. pedagang Cina, atau tentara berseragam coklat dengan jip-jip tanpa kap dan truk-truk butut. Di kaki lima, turis-turis berpakaian butut pula menggesek-gesek sandal jepitnya, berbelanja di toko-toko yang hanya mengenal mata uang Portugis, escudo, meski sekali- sekali dollar Australia dan dollar Amerika pun diterima.
Persis jam 12, ketika lonceng-lonceng gereja Katolik mulai melagukan Angelus konon lagu pujaan para malaikat pintu-pintu toko mengatup kembali. Ada juga beberapa polisi hitam begitulah istilah di sana untuk orang-orang pribumi – berseragam putih berkeliling mengayuh sepedanya dengan pentungan karet tergelantung di pinggang: simbol tegaknya hukum Portugis di "propinsi seberang lautan” yang berbatasan dengan Indonesia. Para pemilik toko beserta karyawannya pun berleha-leha, makan siang dengan pelincir bir menanti saatnya toko boleh dibuka lagi. Segelintir penghuni kota bermalas-malasan di pasir pesisir.
Pelacur Kempis
Tepat pukul 3 siang, ketika para padre dan biarawan-biarawati selesai mendoakan litani para kudus, pintu-pintu toko mulai terkuak kembali. Jam-jam beginilah denyut nadi di ibukota jajahan Portugis itu mulai berdenyut lebih kencang. Apalagi setelah pukul 4 ketika para pegawai negeri Hitam Dan putih mulai menikmati udara sore, dan bala tentara Portugis yang di drop dari negeri induknya kebanyakan masih jejaka dan lugu hilir-mudik berpakaian preman, dalam kelompok dua-tiga orang. Ada juga satu dua nyonya Portugis mendorong kereta bayinya, dikawal oleh suaminya yang menduduki salah satu pos penting di kantor gubernur Tidak ketinggalan sepeda-sepeda motor dan mobil Jepang berpapasan dengan sopan di kanan jalan, tanpa ngebut, dan dengan helm di kepala pengendara motor. Tertib mengendarai motor yang pernah akan diinstruksikan oleh bekas Kapolri Hugeng itu ternyata sudah dipraktekkan juga di sini. Juga aturan bagi wanita yang dibonceng untuk mengepitkan kelangkangnya di jok boncengan. Semuanya seolah bergegas mengisi kesibukan sore hari yang memang tidak berumur panjang, sebab tepat jam 6 sore – seperti diperintah oleh satu komando para pelayan toko sibuk menutup kembali pintu dan jendela tokonya.
Orang-orang pun bergegas pulang ke rumahnya, yang hanya memakan waktu beberapa menit lantaran pendeknya jarak-jarak perjalanan di kota yang hanya seluas kota Salatiga itu. Namun aturan itu hanya berlaku bagi kepala kepala keluarga, dan nyonya-nyonya yang perlu mengurusi makan-malam keluarganya serta pekerjaan rumah anak anak yang besok masuk sekolah lagi. Para bujangan pegawai negeri, tentara, karyawan swasta dan penganggur - lazim menanti tenggelamnya bulan dalam botol-botol minuman di bar Piquenique, di tempat perjudian, atau bersama pelacur-pelacur murahan (dan liar) yang sudah kempis dilahap tentara dan turis.
Reparasi Mobil
Di bar-bar itulah - atau di rumahrumah-rumah keluarga pribumi dan Indo-Indo (mesticos) yang agak sadarpolitik - kini berlangsung perdebatanperdebatan yang mengasyikkan tentang kebebasan politik yang telah dilimpahkan pemerintah Spinola pada semua rakyat jajahannya. "Kini orang tidak perlu lagi takut dikuntiti antek-antek Interpol, atau dijebloskan dalam tahanan", ujar Eduardo, seorang pemuda Timor pada wartawan TEMPO sambil meneguk segelas bis Laurentina di bar Piquenique. Mengapa? "Sebab DGS (Direccao Girale Seguranca - polisi rahasia Portugis -- Ed) sudah dibubarkan" Tapi bagaimana dengan tentara tentara Portugis yang kini berkeliaran di mana-mana, berseragam atau berpakaian preman? "Ah, mereka tidak apa-apa", sahut Eduardo. Dan sambil menuding pada beberapa pemuda kulit putih yang sedang duduk di kursi tinggi di meja kantin dia berkata dalam bahasa Inggeris yang compang-camping: "mereka anak-anak baik.”
Apa yang dibilang si pribumi Eduardo dibenarkan juga oleh Ribeiro (21 tahun), sersan milisi Portugis yang bekerja sebagai ahli mesin di salah satu batalyon yang ditempatkan di Timor Portugis. Berkat perawakannya yang ceking seolah-olah kebanyakan morfin, dia hanya menjadi bahan gurauan pemuda-pemuda Timor serta mesticos (IndoIndo) di situ. Tapi Ribeiro hanya tersenyum dengan wajahnya yang masih polos: "saya ke sini memang bukan untuk berperang, tapi untuk mengurus reparasi kendaraan”.
Busa Mozambique
Sementara itu malam bertambah malam di cafetaria Piquenique. Beberapa orang Afrika - kadang-kadang sulit juga dibedakan dengan orang Timor, Ambon atau Irian dengan busa di mulut sibuk bertengkar soal masa depan jajahan-jajahan Portugis di Afrika. Semakin mabok, semakin keras bicaranya, dan botol bir hampir saja terbanting kalau tidak ada yang menyabar-nyabarkannya. Botol bir Mozambique atau Angola, hasil keringat saudara-saudara sedaerahnya yang sedang tawar menawar dengan utusan Lisabon tentang kemerdekaan propinsi-propinsi di Afrika. Di sana orang memang doyan minum ibarat gentong tanpa dasar.