Gerakan malam Falintil di Iliomar, Lospalos bulan April 1994. Tampak dalam foto, empat pucuk M-16 dan 1 pucuk FN Minimi. Foto DRT/SABALE/FMS
Dalam sejarah perjuangan Timor Leste era 1975-1999 terdapat beberapa front perjuangan dalam upaya meraih kemerdekaan dari Indonesia seperti Front militer yang digawangi Falintil, Front Diplomatik oleh Ramos Horta dan koleganya dan Front Klandestein. Dalam hal ini penulis hanya memfokuskan pada Falintil saja seiring dengan tujuan penulisan yang bertitik berat pada aspek sejarah militer.
Falintil atau Forças Armadas de Libertação de Timor-Leste sebelumnya merupakan sayap militer dari Partai Fretilin yang dibentuk pada 20 Agustus 1975. Falintil kemudian tahun 2001 berubah nama menjadi Angkatan Bersenjata Repulik Timor Leste atau Falintil-Forças de Defesa de Timor Leste (F-FDTL). Setelah Presiden Fretilin sekaligus Panglima Falintil yang pertama, Nikolau Lobato tewas di Maubisse bulan Desember 1978, Xanana Gusmao mengambil alih tampuk pimpinan Falintil. Pada tahun 1981 Xanana melakukan reorganisasi Fretilin, dengan mengangkat Abilio Araujo sebagai Presiden Fretilin dan menginginkan Falintil menjadi milik seluruh rakyat Timtim. Sehingga Falintil bukan lagi sebagai sayap militer dari sebuah partai bernama Fretilin, tetapi sebuah organisasi bersenjata untuk memerdekakan Timtim tanpa kecuali. Ide ini mendapat tentangan dari para anggota Fretilin yang juga bergabung di Falintil. Mereka ini disebut sebagai kelompok garis keras dalam Falintil. Tahun 1987 Falintil dipisahkan dari Fretilin dan menjadi organisasi non-partisan . Xanana juga membentuk Dewan Pertahanan Nasional Rakyat Maubere (CNRM) yang kemudian berkembang menjadi Dewan Pertahanan Nasional Timorense (CNRT). Falintil akhirnya dibubarkan seiring dengan terbentuknya Angkatan Bersenjata Timor Leste pada tahun 2001.
Kekuatan Falintil yang dapat terbaca pada awal Operasi Seroja diperkirakan ada 3000 pasukan eks Tropas . Mereka tersusun dalam 16 kompi dan satu detasemen. Kemudian ada perkuatan dari ribuan milisi serta simpatisan. Data yang dikeluarkan tahun 2008 oleh pemerintah Timor Leste yang dikutip dari http://www.etan.org/et2008/5may/17/15etdist.htm menyebutkan adanya 12,538 gerilyawan Falintil yang mendapat pengakuan sebagai veteran selama masa perlawanan 1975-1999. Jumlah tersebut meliputi 631 gerilyawan yang masih hidup dan 11,907 dinyatakan meninggal dalam masa 24 tahun perjuangan mereka.
Tropas mempunyai keunggulan seperti keterampilan perorangan, penggunaan medan lindung dan tembak, pengenalanmedan perang dan penggunaan senjata bantuan seperti mortir dan senapan mesin ringan. Tropas mempunyai pengalaman tempur ketika menjadi bagian dari militer Portugal. Seperti penugasan ke Mozambik, Angola atau koloni Portugal lainnya. Adapun kelemahan Tropas adalah dalam hal melakukan organisasi pasukan dalam jumlah besar . Mereka sebagian besar hanya memperoleh pangkat tertinggi bintara kecuali beberapa orang memang bisa mencapai level perwira seperti Rogerio Lobato. Pengorganisasin Tropas tertinggi di Timor Leste hanya pada level kompi saja. Sehingga begitu para tentara Portugal menarik diri, maka para bintara Tropas tersebut yang mengambil alih kepemimpinan mereka.
Dalam prakteknya kompi-kompi Tropas tersebut merupakan kompi Berdiri Sendiri dan tidak diorganisir dalam bentuk batalyon. Jadi hanya pada level kompi sajalah, kemampuan manajerial mereka. Kekuatan Tropas diperkirakan pada tahun 1975 ada enam kompi infanteri, dua kompi komposit artileri dan infanteri, dua kompi kavaleri berkuda, satu kompi zeni, satu kompi perbekalan, satu kompi peralatan dan satu kompi kesehatan. Selain itu masih didukung oleh satu kompi pusat pendidikan, satu kompi markas besar dan satu detasemen polisi militer.
Persenjataan Falintil meliputi senjata peninggalan Portugis seperti Senapan serbu buatan Spanyol yang merupakan lisensi dari G-3, Sub machine Gun FBP-9, Sub machine Gun Carl Gustav, Senapan bolt action jenis Mauser, Senapan Mesin ringan MG-34, Senapan Mesin Ringan Madsen, mortir 80mm dan 81mm, Bazooka 3,5 inch, meriam Pak 40 dan senjata lainnya. Setelah peperangan berlangsung hingga tahun–tahun berikutnya mereka mendapat rampasan dari TNI seperti SP-1, M-16A1, AK-47, SKS, Minimi, Madsen Saetter, FNC, SS-1, FN Type D dan bahkan pernah pula ditemui adanya senjata kaliber 12,7 mm hasil rampasan. Ketika pecah perang saudara di Timtim diperkirakan ada 15.000 pucuk senjata bekas Portugal yang beredar di pihak yang berperang. Itu belum terhitung senjata gelap kiriman dari subversif asing yang mendukung perjuangan Fretilin seperti yang di ungkap Zacky Anwar Makarim dalam buku Hari-hari terakhir Timor-Timur : sebuah kesaksian.
Gerilyawan Falintil mampu beradaptasi dengan keadaan alam di Timor Leste, karena mereka berperang di tanah mereka sendiri. Tentunya mereka lebih mengenal seluk beluk medan. Lain halnya tentara Indonesia , mereka berperang di tanah yang asing bahkan mereka kadang masih dilengkapi peta lama buatan Belanda, bukan peta terbaru wilayah lawan. Falaintil juga mempunyai kemampuan mengesan jejak yang bagus. Meski demikian kemampuan ini juga dimiliki oleh putera pribumi yang bergabung dalam TNI.
Dari segi logistik, gerilyawan Falintil bahkan cukup dengan hanya makan satu ubi untuk tiga hari tanpa minum dan biasa berlari tanpa sepatu tapi tetap kuat melakukan perang gerilya. Selain ubi, makanan diperoleh dari dendeng daging rusa, babi, sagu, buah-buahan yang ada di hutan seperti nangka , mangga dan lainnya.
Mereka beroperasi dengan gaya serang dan lari (hit and run) terhadap pos ABRI yang terpencil dan dinilai lemah dan memungkinkan akan menjadi sasaran. Mereka menerapkan sifat-sifat gerilya pada umumnya seperti menghancurkan lawan yang lebih lemah, menghindar lawan yang kuat , membaur dengan penduduk setempat dan lainnya.
Salah satu kebiasaan Falintil menyerang adalah dalam keadaan gelap di waktu malam , cuaca buruk atau suasana berkabut karena kelembaban udara yang tinggi sering dimanfaatkan untuk menyerang pasukan TNI. Salah satu ilustrasi pola serangan Falintil pada malam hari adalah saat mendekati terang bulan atau cuaca jelek pada saat bulan tidak terang. Fretilin memasang lampu-lampu pada ternak sehingga tampak sebagai pasukan yang sedang berjalan atau bergerak. Kemudian lampu yang berada di luar jangkauan jarak tembak senapan TNI tersebut akan memancing perhatian pasukan TNI untuk membuang pelurunya. Kemudian pasukan Falintil mendekat dan melakukan pelemparan granat atau tembakan lalu menghindar sehingga pasukan TNI terprovokasi membalas dengan tembakan. Dengan demikian setidaknya peluru pasukan TNI akan berkurang. Atau pasukan TNI menjadi sibuk sehingga pada saat yang sama Fretilin menyerang pos TNI yang sudah dincar dan diperkirakan dapat dihancurkan sehingga bala bantuan TNI tidak dapat datang membantu pos TNI tersebut.
Pada awal peperangan, didaerah gerilyanya, pasukan Falintil masih mampu membangun basis pertahanan yang lengkap dengan persedian pangan, fasilitasi kesehatan bahkan pendidikan. Sejak 1975 hingga akhir 1980-an, kekuatan Falintil relatif masih kuat. Pada tahun 1977 menurut salah satu tokoh mereka bernama Ernesto Dudu, Falintil saat itu mempunyai kurang lebih 24 kompi pasukan. Masih banyak kader mereka yang berjuang di hutan. Persenjataan dan amunisi mereka pun memadai. Ketika bekal amunisi cukup banyak, pihak Fretilin biasanya akan berperang dengan menghamburkan tembakan dan beroperasi dengan kekuatan besar untuk memperoleh hasil yang maksimal. Karena itu, pada masa tersebut kelompok Falintil berani melakukan kontak senjata terbuka dengan satuan ABRI. Bahkan mereka sering nekat menyerbu markas satuan ABRI yang ditempatkan di pedalaman. Falintil juga menggunakan kekuatan massa dalam melakukan penyerangan.
Seorang nara sumber dari pensiunan Brigade Mobil bernama Bapak Sudarsono, pernah mengalami serangan terhadap sebuah pos Brimob yang dilakukan oleh massa dan Falintil bersenjata pada awal Operasi Seroja. Serangan dengan jumlah massif diduga untuk menjatuhkan moral pasukan Brimob di pos yang hanya terdiri dari delapan orang. Hanya keberanian dan ketabahan dalam mempertahankan pos dari serangan musuh yang mampu membuat pasukan Brimob memukul mudur serangan tersebut . Karena hanya ada pilihan hidup atau mati. Kalaupun menyerah atau ditangkap menurut bapak Sudarsono sama saja dengan mati. Untuk itu harus dihadapi. Serangan tersebut akhirnya dapat dibuyarkan oleh pasukan Brimob dengan tembakan dan lemparan granat. Pada kesempatan lain, massa simpatisan ini juga dijadikan pancingan.
Massa dan Falintil menyerang pos TNI kemudian mengundurkan diri, massa akan kabur sedang pasukan Falintil akan mengendap di tempat strategis yang dilewati oleh massa tadi. Apabila pasukan TNI terpancing melakukan pengejaran, maka Falintil sudah menunggu dan menghadang pasukan TNI. Umumnya Falintil mempunyai perencanaan yang baik dalam penghambatan terhadap TNI.
Dalam penghambatan selain menempatkan pasukannya di tempat kritis, Falintil juga melakukan pembuatan rintangan-rintangan dengan merobohkan pohon atau melongsorkan batuan atau jalanan .Penghambatan ini sering dilakukan pada awal Operasi Seroja agar gerak laju TNI menjadi lambat sehingga memberi kesempatan terhadap Falintil untuk berkonsolidasi dan menyusun kekuatan. Keadaan ini juga didukung kondisi jalan pada saat itu yang kebanyakan masih belum bagus dibanding setelah adanya pembangunan pasca 1975 oleh Indonesia.
Jalur atau jalan yang rutin dilewati oleh pasukan TNI juga dapat dimanfaatkan oleh Falintil untuk menghadang. Pada sebuah kejadian pasukan Falintil bahkan berani menghadang tank BTR-50 Korps Marinir dari Pasmar-6 pada tanggal 10 Juni 1978. Jalur tersebut biasanya digunakan oleh konvoi pemerintahan sipil setempat dan TNI untuk menyalurkan logistik sebulan sekali pada minggu pertama ke Quelicai, Bacau. Mungkin pihak Falintil sudah memperhitungkan jadwal tersebut atau memperoleh informasi tentang lewatnya konvoi TNI.
Pihak Falintil memasang ranjau pada jalan tersebut sehingga tank tersebut terjebak. Pasukan Falintil berkekuatan sekitar 30 orang segera menghujani tembakan ke tank yang bepenumpang 19 orang tersebut. Akibatnya 9 orang orang gugur dan sisanya luka-luka. Pasukan Pasmar 6 yang berada 3 km dari lokasi langsung memberikan bantuan dan berhasil mengusir pasukan Falintil tersebut dengan meninggalkan 2 mayat Falintil. Pola lainnya seperti gerilya lainnya, Fretilin juga aktif dalam sabotase terhadap perbekalan atau tempat penyimpanan barang TNI yang dilakukan oleh simpatisan mereka yang menyusup menjadi TBO.
Buku Sejarah Brigade Infanteri-4 Dewa Ratna yang dikeluarkan tahun 1979 memberikan beberapa poin pokok pola perlawanan gerilya Fretilin yaitu antara lain sekitar tahun 1977 :
Falintil berusaha menyebar kemana-mana dan tidak mengenal front
Falintil berupaya melakukan perlawanan berlarut untuk membuat jenuh pasukan TNI
Falintil melakukan serangan dalam bentuk kelompok kecil
Falintil melakukan pertahanan menyebar berlapis tanpa peta
Berikut pembagian wilayah operasi Fretilin dan Falintil ketika mereka masih mempunyai banyak wilayah yang dapat dikuasai secara fisik atau zona libertadas. Setiap Sektor dipimpin oleh Komisaris Politik yang merupakan pemimpin tertinggi disektor untuk urusan administrasi politik maupun untuk urusan militer. Organisasi seperti ini dapat kita jumpai pada gerilyawan Vietkong pada masa perang Vietnam di masa lalu.
Struktur regional Fretilin mulai Mei 1976
Sektor Ponte Leste atau Ujung timur mencakup Lautem dipimpin Komisaris Politik bernama Juvenal Inácio (Sera Key), menteri Keuangan versi partai Fretilin.
Centro Leste (Tengah Timur) meliputi Baucau dan Viqueque dipimpin Vicente dos Reis Sa’he, Menteri Tenaga Kerja versi Fretilin.
Centro Norte (Tengah Utara) meliputi Manatuto, Aileu, dan Dili dipimpin João Bosco Soares
Centro Sul (Tengah Selatan) meliputi Manufahi dan Ainaro dipimpin Hamis Bassarewan (Hata), seorang keturunan Arab.
Fronteira Norte (PerbatasanUtara) meliputi Ermera, Liquiça dan sebagian Bobonaro Hélio Pina (Maukruma)
Fronteira Sul (Perbatasan Selatan) meliputi Covalima dan sebagian Bobonaro dipimpin César Correia Lebre (César Mau Laka)
Untuk mengurangi kekuatan bersenjata Falintil, pasukan TNI berupaya merebut senjata dan amunisi Falintil. Pasukan yang ditugaskan ke Timor Timur berupaya mengumpulkan senjata sebanyak-banyaknya. Operasi intensif dilakukan dengan menyapu semua Falintil yang ada di sektor yang telah dibagi sesuai perintah operasi. Kantong-kantong pertahanan Falintil dilokalisasikan dengan mendirikan pos penjagaan dan patroli rutin pada jalur-jalur transportasi dan logistik gerilyawan Falintil. Strategi ini ternyata cukup efektif. Selain banyak menyita senjata api dan amunisi, gerakan pasukan Falintil menjadi terbatas. Mereka tak bisa lagi melakukan serangan besar-besaran karena pasukan Falintil terpencar-pencar dalam beberapa kantong dan sulit berkoordinasi. Pasukan Falintil hanya bertempur di zona masing-masing tanpa komando pusat yang tersentral.
Jumlah mereka makin kecil karena banyak pengikut Falintil yang turun gunung, menyerahkan diri kepada petugas keamanan. Beberapa peristiwa penting yang menandai kekalahan besar Falintil adalah jatuhnya basis pertahanan Falintil yang terakhir di kawasan Gunung Matebian (Nopember 1978), Gunung Kablaki (sekitar Januari 1979), Fatubesi, Ermera (Februari 1979) dan Alas, Manufahi (Maret 1979).
Dengan jumlah yang kecil , Falintil juga membaur ke masyarakat sekitar untuk menyembunyikan dirinya. Mereka ini memperoleh dukungan dari simpatisan atau cellula mereka yang secara sembunyi-sembunyi masih mendukungnya. Untuk mengatasinya terpaksa diadakan pemutusan hubungan seperti pemisahan keluarga yang diduga sebagai Falintil ke tempat lain seperti ke Atauro, atau pembukaan pemukiman baru dan pemindahan logistik diwilayah yang steril dan jauh dari jangkauan Falintil. Tujuannya untuk memisahkan antara ”ikan ” dan ”air”nya. Sehingga Falintil dapat dipisahkan dari penduduk biasa.
Selain itu pasukan TNI juga aktif melakukan pendekatan secara persuasif sehingga para Falintil mau turun gunung dan menghentikan perlawanan. Pasca 1980, banyak wilayah Falintil yang direbut TNI. Sehingga banyak sektor tersebut diatas yang menjadi berantakan. Pada era ini Francisco Xavier do Amaral, mantan Ketua Fretilin dan Presiden Republik Demokratik Timor-Leste, ditangkap TNI di sungai Dilor (Lacluta, Viqueque) pada bulan Agustus1978. Alarico Fernandes, Menteri Penerangan dan Keamanan Dalam Neger dalam pemerintah Republik Demokratik Timor-Leste, menyerah bersama sejumlah anggota Komite Sentral yang lain.
Kehilangan terbesar adalah kematian Ketua Fretilin dan Presiden RDTL Nicolau Lobato pada suatu pertempuran tanggal 31 Desember 1978. Pemimpin lainnya, Mau Lear (Wakil Ketua Fretilin dan Perdana Menteri RDTL) dan Sahe (Komisaris Politik Nasional) mati terbunuh pada Februari 1979. Sedang Maukruma, Komisaris Politik Fronteira Norte, terbunuh dalam pertempuran sekitar Maret 1979.
Xanana mengambil alih pimpinan Fretilin/Falintil pada tahun 1981. Pada masa ini pasukan Falintil membawahi kompi-kompi Falintil yang seluruhnya ada empat kompi yang ditempatkan di wilayah operasi gerilya masing-masing. Kompi-kompi ini tidak berpangkalan tetap tetapi merupakan satuan-satuan gerilya yang terus bergerak untuk melakukan serangan gerilya. Sedang jumlah sektor diperkecil menjadi tiga wilayah :
Region Ujung Timur (Região Ponta Leste, juga dikenal dengan nama Funu Sei Nafatin) yeng meliputi Lospalos, Viqueque, Baucau dan Manatuto .Dipimpin Koro Asu dan Lemorai
Region Tengah (Região Centro, juga dikenal dengan nama Nakroman) meliputi Dili, Aileu, Ermera dan Liquiça . Pemimpinnya bernama Fera Lafaek
Region Perbatasan (Região Fronteira, juga dikenal dengan nama Haksolok) yang meliputi daerah Suai, Ainaro dan Maliana . Dipimpin Venancio Ferraz.
Pasca Insiden Santa Cruz pada 12 November 1991, Falintil memperoleh tambahan kekuatan dari para generasi muda dan kader mereka yang melarikan diri dari kota. Kekuatan Falintil meningkat dari 143 gerilyawan dengan 100 pucuk senapan menjadi 245 gerilyawan dengan 130 pucuk senapan. Pada tahun 1991-1998, Falintil mengalami beberapa kali pergantian pimpinan yaitu dari Xanana ke Mau Hunu karena Xanana ditangkap TNI pada tahun 20 November 1992. Kemudian Mau Hunu menyusul ditangkap TNI pada 3 April 1993. Konis Santana ganti mengambil alih pimpinan sampai kematiannya di daerah gerilya tahun 1998. Pimpinan terakhir Falintil hingga merdeka 1999 dipegang oleh Taur Matan Ruak .
Pada 1998 dilakukan perubahan pembagian wilayah tempur Falintil yaitu :
Região 1 mencakup wilayah Lautém dan sebagian besar Baucau .Pemimpinnya bernama Lere Anan Timor .
Região 2 mencakup sebagian Baucau, Viqueque, dan sebagian Manatuto dipimpin Sabica Kulit Besi.
Região 3 meliputi Dili, Aileu, Ainaro, dan sebagian Manatuto dipimpin Falur Rate Laek (Domingos Raul).
Região 4 meliputi wilayah Ermera, Liquiça, Bobonaro, dan Covalima dipimpin oleh Ular Rhik atau Virgilio Dos Anjos.
Kekuatan Falintil yang hanya sekitar 300 orang pada awal 1998 meningkat menjadi sekitar 1.500 orang pada akhir Agustus 1999. Penambahan diwarnai dengan kembalinya bekas pejuang gerilya ke kesatuannya, pemuda aktivis clandestin yang lari ke hutan dan pembelotan orang-orang Timor-Leste yang berdinas pada TNI/POLRI.
Untuk merebut hati rakyat Timtim, Pemerintah Indonesia mulai melakukan pembangunan terhadap wilayah Timor Timur. Pembangunan dilakukan seperti pembangunan jalan yang dahulu hanya terbatas jumlahnya bahkan pada jaman penjajahan Portugis banyak sungai yang tidak berjembatan, pembangunan sekolah-sekolah, tempat ibadah dan sarana lainnya yang di saat era penjajahan Portugal tidak dilakukan.
Banyak dikirim pemuda-pemudi Timtim bersekolah ke daerah lain di Indonesia untuk mengejar ketinggalan di sektor pendidikan. Banyak beasiswa yang dikucurkan untuk mereka. Penulis pernah bertemu dengan rekan mahasiswa dari daerah Maliana yang setiap bulan mengambil biaya pendidikan dari pemerintah yang pada tahun 1993 merupakan jumlah yang lumayan.
Jalan raya beraspal yang dahulu hanya sedikit sekali, sedikit mulai sedikit dibangun Indonesia sehingga mampu mendorong tumbuhnya jasa angkutan dan berputarnya ekonomi regional. Biaya pembangunan tersebut tidak terhitung jumlahnya .
Karena hanya sebuah keputusan politik dari pemerintahan Habibie , akhirnya Timtim memperoleh kemerdekaan melalui jajak pendapat yang diawasi oleh PBB.
Konflik Internal Fretilin/Falintil
Dalam perjalanan sejarah Timor Leste, ada dua kali perpecahan internal di tubuh Fretilin/Falintil yang sangat signifikan. Perpecahan pertama terjadi sekitar tahun 1977 ketika kubu Xavier do Amaral digulingkan oleh kubu Lobato. Akibatnya terjadi pembersihan kubu Amaral yang mengakibatkan banyak korban. Sedang yang kedua terjadi sekitar tahun 1983. Konflik terjadi antara kubu Xanana versus dan kubu Mauk Moruk, Kilik, dan Ologari Assuwain. Konflik ini berakhir dengan hilangnya Kilik, yang saat itu menjadi Chefe do Estado Maior (Kepala Staf) FALINTIL secara misterius di hutan dan menyerahnya Mauk Moruk dan Ologari yang masing-masing menjabat Primeiro dan Segundo Comandante Brigada Vermelha (Brigade Merah) pada 1983.
Pertikaian antar pemimpin perjuangan ini terjadi ketika akan diadakan perundingan antara Panglima FALINTIL Xanana Gusmão dengan Komandan Korem Timor Timur Kolonel Purwanto. Perundingan yang menghasilkan kesepakatan penghentian tembak-menembak antara ABRI dengan FALINTIL ini lebih dikenal dengan sebutan “Kontak Damai.” Mauk Moruk kembali ke Timor Leste pada tahun 2013 dan akhirnya kembali terbunuh pada Juli 2015 dalam sebuah operasi keamananan yang dilakukan pemerintah Timor Leste di Baucau.
Sumber Penulisan
Wawancara
Sudarsono, purnawirawan Brimob Mabes Polri
Sarjio, Serma Purnawirawan Yonzipur-4 Kodam IV Diponegoro
Mujiono, Kopral Satu Marinir, Purnawirawan Yonifmar-1 dan Yonifmar-3
Buku
Hendro Subroto, Operasi udara di Timor Timur
Hendro Subroro, Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor Timur
Brigade Infanteri-4 dan Pengabdiannya
Korps Marinir 1970-2000
Hari-hari terakhir Timor-Timur : sebuah kesaksian
Internet
http://www.etan.org/et2008/5may/17/15etdist.htm
Foto : Kredit DRT/SABALE/FMS