Operasi Seroja di Timor Timur (Timtim) sekarang bernama Timor Leste merupakan operasi militer terbesar yang digelar TNI pasca revolusi kemerdekaan. Dalam operasi tersebut, Komando Pasukan Khusus ( Kopassus ) terlibat pertempuran sengit melawan Fretilin, tentara terlatih didikan Portugis.
Dikutip dari buku biografi Letjen TNI (Purn) Sutiyoso berjudul “Sutiyoso The Field General, Totalitas Prajurit Para Komando” diceritakan, Operasi Seroja yang digelar pada 7 Desember 1975 ini berawal dari keprihatinan pemerintah Indonesia terhadap situasi politik dan keamanan di Timor Leste yang semakin genting menyusul hengkangnya Portugis dari wilayah tersebut akibat Revolusi Bunga.
Sepeninggal Portugis, konflik bersenjata di antara faksi-faksi yang bertikai yakni Uniao Democratica de Timorense (UDT), kemudian Fretilin, dan Associacao Popular Democratica de Timor (Apodeti) membuat pengungsi dari Timor Leste membanjiri daerah perbatasan di Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk meminta perlindungan kepada pemerintah Indonesia.
Sementara itu, partai-partai politik yang saling berkonflik belum mendapatkan titik temu untuk mengatasi permasalahan yang ada. Bahkan, Pemerintah Portugis telah beberapa kali mengadakan perundingan dengan sejumlah partai politik seperti UDT, Fretilin dan Apodeti. Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil.
Melihat situasi Timor Leste yang semakin kacau dan pergerakan pasukan Fretilin yang berhaluan komunis serta keinginan masyarakat Timor Leste yang ingin bergabung dengan Indonesia, Menhankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Maraden Panggabean kala itu mengeluarkan keputusan pada 4 Desember 1975 di Kupang, NTT untuk menggelar operasi militer.
Di bawah koordinasi Ketua G-1/Intelijen Hankam Mayjen TNI Leonardus Benny Moerdani atau dikenal LB Moerdani, dibentuklah Komando Tugas Gabungan (Kogasgab) Operasi Seroja untuk merebut Kota Dili, basis kekuatan Tropas yang merupakan pasukan bersenjata Fretilin.
“Adanya komunisme di Timor Portugis (Timor Leste) dan jika dibiarkan akan masuk ke Indonesia. Untuk itu Timor Portugis harus direbut dan informasi ini didukung oleh data-data intelijen Amerika Serikat dan Australia,” kata Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan yang saat itu berpangkat Lettu Infanteri dan menjabat sebagai Dantim B untuk penerjunan di Dili dikutip dari buku berjudul “Kopassus untuk Indonesia” dikutip SINDO news Jumat (26/8/2022).
Tanggal 7 Desember 1975 tepat pukul 5.30 Kota Dili pun diserang. Grup 1 Kopassandha sekarang bernama Kopassus dan Brigade-18 Linud/Kostrad yang sebagian besar dari Batalyon 502/Raiders Jawa Timur diterjunkan dengan menggunakan sembilan pesawat C-130 Hercules TNI AU. Operasi perebutan Kota Dili melalui operasi udara dengan menerjunkan pasukan tidak berjalan mulus.
Pasukan Tropas yang terlatih dan memiliki pengalaman perang di Mozambique dan Angola ternyata telah bersiaga dan langsung menembaki pesawat Hercules yang mengangkut prajurit Kopassus dari bawah. Serangan itu membuat 78 anggota Kopassandha gagal terjun di pagi itu. Mereka lantas dibawa ke Kupang. Tembakan dari bawah menyebabkan kerusakan kecil di pesawat. Tak hanya itu, seorang load master juga gugur terkena tembakan.
“Perasaan saya campur-aduk. Antara kesal, marah, khawatir semua bercampur baur di dalam kabin pesawat C-130B tersebut. Sejumlah anak buah saya telah terjun dan mungkin sudah terlibat tembak-menembak, dan mungkin juga telah menjadi korban. Sementara saya tak berdaya serta malahan tidak mampu memimpin mereka merebut sasaran yang ditentukan,” kenang Luhut.
Perwira Kopassus Gugur Usai Kibarkan Bendera Merah Putih
Pertempuran sengit antara Kopassus yang berhasil diterjunkan dengan Fretilin pecah di sejumlah tempat. Minimnya data intelijen, kurangnya persiapan dan koordinasi membuat operasi tidak berjalan seperti yang diharapkan. Akibatnya, banyak prajurit Kopassus yang gugur pada hari pertama Operasi Seroja digelar.
Salah satunya, Letkol Infanteri (Anumerta) Atang Sutresna. Pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat 22 Agustus 1943 ini gugur ditembak pasukan Fretilin sesaat setelah mengibarkan Bendera Merah Putih di Kantor Gubernur Timor Portugis di Dili, Timor Leste pada hari pertama Operasi Seroja digelar. Saat itu, Atang yang masih berpangkat Mayor diterjunkan bersama 35 prajurit Yonif Linud 501 Kostrad. Bersama 19 prajurit Kopassandha, Mayor Atang ditugaskan merebut sejumlah lokasi strategis. Di antaranya, kantor gubernur, lapangan terbang dan pelabuhan.
Nahas, Mayor Atang yang saat itu menjabat sebagai Komandan Detasemen Tempur (Dandenpur) I Nanggala V Grup 1 Kopassandha dihujani tembakan oleh Fretilin saat masih di udara. Akibatnya, beberapa anggotanya gugur terkena peluru musuh saat payung masih mengembang di udara.
Setelah mencapai darat, Mayor Atang bersama dua anggotanya yakni, Koptu Sugeng dan Koptu Suhar bergerak maju untuk merebut tempat-tempat strategis. Di bawah hujan tembakan musuh, Mayor Atang kemudian meminta kedua anggotanya untuk mengibarkan bendera Merah Putih.
Mayor Inf. Atang Sutresna sebelum penerjunan di Kota Dili, Timor Leste. Namun upaya tersebut sulit dilakukan mengingat tempat pengibaran bendera berada di tengah lapangan kantor gubernur. Lokasinya yang sangat terbuka membuat ketiganya rawan terkena tembakan musuh. Meski begitu, Mayor Atang tidak putus asa, dengan gigih dia memberikan tembakan perlindungan untuk kedua anggotanya, sekaligus mengalihkan perhatian musuh.
Sementara itu, Koptu Sugeng dan Koptu Suhar dengan cepat berlari menuju tiang bendera. Keduanya langsung menurunkan bendera Fretilin dan menggantinya dengan bendera Merah Putih. Namun, baru naik setengah tiang, tiba-tiba Koptu Sugeng merasakan ada peluru musuh yang mengenai kakinya.
Kendati demikian, hal itu tidak meruntuhkan semangat kedua prajurit Kopassus. Keduanya tetap mengerek bendera Merah Putih hingga mencapai puncaknya. Setelah berhasil menaikkan Merah Putih, keduanya kemudian berlindung. Dalam posisi berlindung, Koptu Sugeng memeriksa kakinya. Beruntung, peluru hanya mengenai kantong minuman dan tidak sampai melukainya.
Sementara itu, di tengah desingan peluru musuh Mayor Atang secara perlahan bergerak mendekati persembunyian musuh. Tindakan tersebut dilakukan untuk menghentikan tembakan musuh yang sangat gencar. Meski sempat dilarang Koptu Sugeng namun Mayor Atang tetap pada pendiriannya dan berusaha keluar dari tempat perlindungannya.
Kekhawatiran kedua anak buahnya menjadi kenyataan, baru 25 meter bergerak, peluru Fretilin menembus perut Mayor Atang. Bahkan, satu peluru mengenai kepalanya. Mayor Atang pun gugur seketika itu juga.
Kapten Infanteri Bambang Mulyanto yang ikut dalam penerjunan mengaku sudah memiliki firasat. Saat itu, dirinya sempat beradu pandang dengan Mayor Atang. Dirinya terkesiap karena merasa pandangan Mayor Atang yang biasanya tajam terlihat sayu dan kosong. Kejanggalan mulai dirasakan ketika Mayor Atang sempat menitipkan anak perempuannya, padahal keduanya sama-sama diberangkatkan untuk bertempur.
”Pada penerjunan di hari H, sebanyak 12 anggota Nanggala V langsung gugur. Satu orang esok harinya dan lima lainnya hilang. Dari lima yang hilang, tiga ditemukan sudah meninggal dan dua lagi ditemukan di laut,” kenang Letjen (Pur) Soegito yang saat itu berpangkat Letkol Infanteri dalam buku biografinya berjudul. “Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen”.
Setelah tujuh jam pertempuran, pada pukul 12.30 WIT Kota Dili sudah dapat dikuasai lewat operasi lintas udara (Linud) terbesar dalam sejarah TNI. Siang hari Kota Dili telah dibebaskan dari penguasaan Fretilin. Mereka mundur ke daerah perbukitan di selatan Dili. Sebagian pemimpinnya lari ke daerah Aileu. Sedangkan Lobato dan Ramos Horta melarikan diri ke Australia.
Setelah Dili dikuasai dan dilakukan konsolidasi diketahui, sebanyak 16 prajurit Korps Baret Merah gugur sedangkan dari Batalyon 502/Raiders Kostrad yang gugur sebanyak 35 orang. Dari pihak musuh tercatat 122 Fretilin tewas and 365 orang ditawan.