7 Desember 1975: Politik Kenangan ala Pat Walsh

 


Foto diatas adalah kreasi salah satu akun yang diyakini berasal dari warga Timor Leste (TL). Foto ini jelas terlihat bahwa ada keinginan kuat untuk "tak akan melupakan" peristiwa 7 Desember 1975 silam. Foto ini pula mengingatkan kepada sebuah buku karya Pat Walsh di-TKP (di Tempat Kejadian Perkara, 2013, hlm. 256-259) dalam melihat apa yang terjadi dimasa itu, .

Pat Walsh yang dikenal sebagai wartawan yang menyuarakan kisah TL, beliau sederet dengan Max Sthal, dan Jill Jollife. Pat menyebut 7 Desember 1975 sebagai....

1). Baik Indonesia maupun Timor-Leste telah mengkompromikan kebenaran dengan cara yang mereka pilih untuk mengenang invasi Indonesia pada 1975.

2). sekitar 30.000 warga masih berada di ibu kota dan bangun dalam mimpi buruk yang nyata. Sekitar pukul 3 dini hari pada Minggu, 7 Desember 1975, kapal-kapal perang Indonesia melepas tembakan ke arah Dili setelah berlayar masuk ke perairan Timor yang masih diselimuti kegelapan. Sekitar pukul 4.30 subuh, 400 anggota marinir Indonesia dalam tank-tank amfibi dan pesawat pendarat menyerbu sepanjang pantai Kampung Alor.

3). Pada pukul 6 pagi, 9 Hercules menurunkan pasukan penerjun payung di atas tempat yang sekarang oleh Cina dibangun menjadi kompleks kepresidenan kemudian kembali sekitar pukul 8 pagi.

4). ABRI menggagalkan serangan-serangan kejutannya, beroperasi dengan intelijen yang buruk, menurunkan pasukan terjung payung di tempat yang salah, membuat pasukannya saling menembak satu sama lain, terus kehilangan nyawa pasukan, meneror kota yang seharusnya di bebaskan.

5)."Pasukan penerjun payung Indonesia turun dari surga seperti malaikat tapi kemudian bersikap seperti setan Indonesia tahu serangan itu di luar hukum. Indonesia menyerang dengan diam-diam karena tidak mengumumkan perang dan dengan rasa bersalah melepaskan lambang-lambang dari badan kapal dan pasukannya, menggunakan AK-47 yang tidak dapat dilacak oleh Amerika, sponsor utama militer mereka, dan mengklaim bahwa pasukannya merupakan "sukarelawan".

6). Mayor Jenderal Benny Moerdani berkeliling Dili di hari berikutnya. Dia kemudian menggambarkan operasi itu sebagai 'memalukan' dan mengkritik pasukan itu karena tidak menunjukkan disiplin. Serangan pada Timor-Leste mungkin adalah operasi militer terbesar Indonesia dan pastinya paling mahal dalam berbagai hal. Bagi Timor-Leste serangan itu kebalikan dari Seroja, sebongkah peluru bukan bunga.

7). baik Indonesia maupun Timor-Leste tak ada yang memilih mengenang serangan terhadap Dili sebagaimana yang terjadi -- latihan memalukan dalam kejahatan perang, agresi dan ketidak-kompetenan. Keduanya memilih untuk mengabaikan kebenaran yang pahit. Indonesia tidak menghukum siapa pun yang bertanggung jawab, termasuk atas kematian pasukannya sendiri, dan melalui peresmian Monumen Seroja di Jakarta pada 10 November 2002, Hari Pahlawan Nasional, Indonesia memilih mengenang peristiwa itu dalam bentuk heroik, tanda bahwa "kami tidak melakukan kesalahan." Timor-Leste juga memilih untuk tidak menekan titik. 7 Desember secara resmi diperingati sebagai Hari Pahlawan Timor-Leste, membelokkan perhatian publik dari Indonesia.

8). Orang-orang Dili dibiarkan mengenang kenyataan sebaik yang mereka bisa dan bertanya-tanya bagaimana kedua pihak bisa mengaku berjaya pada hari yang menentukan itu.


Dengan uraian kutipan di atas, dapat diyakini bahwa  

a). Operasi Militer Indonesia yang besar itu berstatus "amburadul"

b). Pat mencoba "ditengah" namun tidak berhasil, dia simpatik (berpihak) terhadap TL

c). Disayangkan bahwa kedua negara (Ina dan TL) lebih memilih "jalur aman" dalam memaknai juga melestarikan 7 Desember 1975.




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama