Tertekan selama 50 tahun di bawah kekuasaan junta militer hampir, sekelompok perwira berkecenderungan kiri memutuskan untuk mengepung kantor-kantor pemerintahan dini hari 25 April 1974.
Pengepungan yang diorganisir Movimento das Forças Armadas atau gerakan angkatan bersenjata itu merupakan tanggapan langsung atas pemecatan seorang jenderal yang menentang kebijakan kolonial.
Gerakan tersebut tak pelak memicu demonstrasi spontan masyarakat sipil di jalanan ibu kota. Mereka memutuskan berbaur bersama tentara meski penguasa mengancam agar mereka tetap tinggal di rumah. Warga menyematkan bunga anyelir yang kala itu melimpah di ujung bedil tentara. Ya, itu Revolusi Anyelir yang mengubah politik Portugis.
Sementara masyarakat mendorong rezim menyerah, dibanding melawan dengan kekuatan, tentara revolusioner yang mengepung Lisbon juga bertekad menghindari pertumpahan darah. Tak ada sebutir pelurupun yang ditembakkan.
Semula, junta militer menanggapi pengepungan itu dengan sikap keras. Setidaknya, empat tentara sudah terbunuh sebelum akhirnya menyadari mereka tak bakalan mampu membendung Revolusi Anyelir. Revolusi itu secara efektif mengakhiri Estado Novo, rezim otoriter terpanjang di Eropa Barat dan pembubaran terakhir Kekaisaran Portugis.
Lazimnya periode-periode pasca kudeta, Portugis juga sempat mengalami ketidakstabilan setelah Revolusi Bunga. Negara itu butuh beberapa tahun untuk menciptakan pemerintahan demokratis yang kuat. Selama periode tersebut, Portugis melepaskan hampir semua koloni mereka. Termasuk Timor.
Sebagai koloni jauh yang terlupakan, penduduk asli Timor secara tradisional sejatinya apatis terhadap politik. Tapi, sejak meletusnya Revolusi Bunga sentimen mulai bergolak ketika Portugis mencabut larangan pembentukan partai politik pribumi.
Uni Demokratik Timor atau UDT adalah asosiasi politik pertama yang akan diumumkan setelah Revolusi Anyelir. Kepemimpinan UDT semula terdiri dari pemimpin senior administrasi dan pemilik perkebunan dan kepala suku-suku asli. Mereka konservatif dan setia kepada Portugis.
Para pemimpin ini memiliki asal usul konservatif dan menunjukkan kesetiaan kepada Portugis, tetapi tidak pernah menganjurkan integrasi dengan Indonesia.
Selain UDT, di Timor segera terbentuk Front Revolusioner Independen Timor Timur atau Fretelin yang didominasi guru serta elite-elite perkotaan. Mengusung program-program sosial yang radikal Fretelin segera menjadi lebih populer dibanding UDT. Namun, kedua kelompok ini segera berkoalisi menjelang awal tahun 1975 dan menginginkan kemerdekaan.
Selain kedua kelompok itu, terbentuk juga Associacao Popular Democratica de Timor atau Apodeti yang mengusung cita-cita integrasi dengan Indonesia. Sedangkan kelompok lain adalah Klibur Oan Timor Aswain atau KOTA, dan Trabalista.
Konflik Terbuka
Pada bulan April 1975, konflik internal memecah kepemimpinan UDT. Lopes da Cruz memimpin faksi berniat meninggalkan Fretelin karena khawatir sayap radikal Fretilin bakal mengubah Timor Timur ke front komunis. Tuduhan itu ditolak Fretelin yang menyebut sayap radikal di kelompok itu tak memiliki basis kekuatan. Tanggal 11 Agustus, Fretilin menerima surat dari pemimpin UDT yang mengakhiri koalisi.
Segera setelah pecah kongsi itu, UDT segera menggelar unjuk kekuatan di jalanan yang diikuti penguasaan infrastruktur vital, seperti stasiun radio, sistem komunikasi internasional, bandara hingga kantor polisi. Timor pecah dalam perang saudara dengan para pemimpinnya kehilangan kontrol perilaku pendungnya. Berbagai pembersihan berdaran dan pembunuhan segera menjadi arus utama.
Pemimpin UDT menangkap lebih dari 80 anggota Fretilin, termasuk Xanana Gusmao serta membunuh lusinan anggota Fretilin. Mereka yang terbunuh termasuk pendiri Fretilin, Nicolau Lobato. Tiga minggu perang saudara segera pecah Fretelin mendapat dukung unit-unit tentara reguler Portugis.
Akhir bulan Agustus, sisa-sisa dari unit UDT mundur menuju perbatasan Indonesia. Tercatat, sekelompok UDT berjumlah 900 menyeberang ke Timor Barat pada tanggal 24 September 1975 dan diikuti lebih dari seribu orang yang lain. Fretelin berkuasa di Timor setidaknya hingga tiga bulan berikutnya.
Perubahan politik baik di negara induk atau di Timor itu tak menarik minat Jakarta. Presiden Soeharto awalnya tidak mendukung invasi ke Timor Timur. Baru, ketika Portugis berniat menimbang kembali hubungannya dengan Timor, intelijen Indonesia menganggap masalah itu sebagai prioritas.
Ketika pemimpin Apodeti menyeberang perbatasan di Timor Barat bulan Juni 1974 dan mengajukan permohonan bertemu, intelijen Indonesia mulai membuka matanya lebar-lebar pada keadaan di seberang perbatasan. Mereka dibawa ke Jakarta dan dipertemukan dengan Deputi III Bakin, Ali Moertopo. Usai pertemuan, diam-diam Moertopo mulai mengirim orang ke Dili untuk sebuah misi pencarian fakta.
Moertopo menunjuk asistennya Aloysius Sugiyanto yang pernah bertugas di Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat atau RPKAD untuk tugas ini. Menyamar sebagai seorang bos perusahaan fiktif, ia secara bolak-balik antara Jakarta-Dili.
Menurut Ken Conboy dalam Kopassus: Inside Indonesia’s Special Forces, sementara Sugiyanto sibuk di Dili, di akhir tahun 1974 Moertopo sudah menggagas sebuah operasi intelijen yang lebih luas di Timor. Operasi ini diberi nama Operasi Komodo. Komodo dimaksudkan untuk membentuk jaringan kecil lintas batas yang memberi pelatihan militer untuk ratusan pemuda yang dikirim para pemimpin Apodeti.
Minat Jakarta
Jakarta menaruh perhatian makin besar di akhir tahun itu setelah menangkap kecenderungan kekiri-kirian faksi-faksi yang mendukung ide kemerdekaan Timor. Di sisi lain, para penasihat utama Soeharto terpecah antara khawatir Timor diserahkan ke partai politik yang anti Indonesia, namun tetap segan melancarkan operasi terbuka.
Moertopo tetap pada pendiriannya dan menyarankan operasi bawah tanah untuk mempengaruhi penduduk Timor dan pejabat Portugis. Pada awal tahun 1975, Operasi Komodo mulai memperluas operasinya dengan siaran radio berbagai dialek Timor dari Kupang. Berdasarkan pertimbangan taktis operasi Flamboyan digelar untuk menyiapkan dukungan intelijen tempur taktis jika suatu saat Indonesia memutuskan mengirim pasukan.
Atas pertimbangan inilah, Operasi Komodo mulai ditingkatkan intensitasnya sejak bulan Maret dengan menyalurkan dukungan politik rahasia kepada Apodeti. Belakangan, Kol. Dading Kalbuadi yang memimpin Operasi Flamboyan mengambil alih program pelatihan Apodeti dan mulai mengirim sekelompok pasukan khusus untuk mulai memberi latihan militer.
Menyikapi perang saudara di Timor, Lisbon mengirimkan orang untuk menilai situasi di Timor. Pada tanggal 14 Agustus, Mayor Antonio Soares yang dikirim Lisbon tiba di Jakarta sebelum menuju Dili melalui Kupang. Bakin segera mengerahkan orang-orang untuk mengintai Soares yang menginap di Hotel Borobudur. Meski tak paham dengan jelas tujuan Soares, intelijen meyakini dia membawa dokumen-dokumen sensitif.
Mengincar dokumen yang dibawa si Mayor, Satsus Intel sempat memasukkan obat pencahar ke air minum dengan harapan membuatnya mulas dan bergegas mencari dokter dan Satsus Intel bisa masuk ke kamarnya. Sayang, meski air minum sudah dikirim nyatanya Soares tetap segar bugar dan meninggalkan Jakarta menuju Bali keesokan harinya.
Benny Moerdani yang penasaran dengan isi tas kerja Soares, segera memerintahkan Dading untuk mengintip isi tasnya. Kepada Dading, Ia memberi tiga pilihan mengambil secara paksa, melakukan penodongan pura-pura atau melakukan aksi sulap. Dading segera meninggalkan Jakarta membuntuti Soares bersama empat anggotanya yakni seorang mayor dari Operasi Flamboyan dan tiga orang dari Satsus Intel yakni seorang agen lapangan, ahli fotographi dan seorang anggota dari seksi sensor yang jago membuka amplop tersegel.
Melalui berbagai tipu daya, termasuk menyamar sebagai kepala cabang maskapai tim Dading akhirnya sukses mempecudangi Soares sekaligus mengintip kopernya di Bali. Koper itu terbukti berisi peta, catatan dan perintah-perintah rahasia. Dokumen itu mengkonfirmasi niat Portugis untuk melepaskan dan pergi begitu saja dari Timor.
Salah satu surat paling penting dari dokumen itu adalah memerintahkan Gubernur Militer di Timor mengungsikan semua pasukan Portugis ke Pulau Kambing yang terletak enam belas kilometer di utara Timor.
Mengetahui niat Portugis akan meninggalkan koloninya begitu saja, kelompok militer garis keras di Jakarta mulai kehilangan kesabarannya. Tanggal 23 Agustus, petugas-petugas Konsulat Indonesia di Dili diungsikan melalui laut. Di akhir bulan itu juga keluar izin serangan militer lintas batas yang dikerjakan pasukan khusus.
Di sisi lain, rupanya kemenangan sayap kiri Fretelin di Timor dan ide pembentukan negara komunis yang berbatasan Indonesia benar-benar memicu kekhawatiran Indonesia. Timor yang merdeka dikhawatirkan akan menginspirasi sentimen provinsi lain di Indonesia untuk merdeka.
Keprihatinan itu berhasil dimanfaatkan Jakarta untuk mengalang dukungan negara-negara Barat yang ingin menjaga hubungan baik dengan Indonesia, khususnya AS yang tengah menyelesaikan penarikan pasukan dari Indocina.
Bulan Desember 1974, ketika perwakilan Indonesia bertanya kepada Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Henry Kissinger mengenai sikap AS jika Indonesia menyerbu menggelar invasi ke Timor, Duta Besar AS untuk Indonesia David Newsom merekomendasikan ‘sikap diam’.
Penegasan itu di ulang Kissinger dalam Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat, ketika anggota dewan Philip Habib menyatakan bahwa orang Indonesia akan memulai serangan terhadap Timor. Kissinger menyebutkan AS akan “benar-benar akan tutup mulut tentang hal ini.”