Merayakan Ade Rostina Sitompul : Perempuan pelopor pembela kemanusiaan


Ada seorang perempuan yang dalam hidupnya sulit diam. Dia tidak selalu banyak bicara, apalagi bersuara keras. Malah cenderung suka berbisik-bisik jika sedang bersiasat untuk “bergerilya”. Tapi dengan geraknya yang pelan dan hampir-hampir tak terlihat, dia sudah merambah sampai ke ujung-ujung negeri ini, berbuat yang dia percayai sebagai tugas memanusia. 

Dia selamatkan kawan-kawannya dari Gerwani di puncak gempuran terhadap mereka yang dianggap komunis, PKI, dan sebangsanya. Akalnya banyak. Contohnya, dia masuk salon dengan Ibu Sulami dan Ibu Sudjinah, yang sudah jadi buronan, lalu pura-pura pasang masker muka. Dia pakai jip Opsus suaminya untuk antar makanan dan obat-obatan ke penjara. 

Tampilannya yang seperti ibu-ibu Dharma Wanita memang sering mengelabui. Kalau dia bepergian, dia bawa 2 koper besar penuh dengan baju-baju apik, aksesoris lengkap, tape recorder dan kaset lagu-lagu kesayangannya. Konon, dia berdandan sambil mendengarkan lagu. Dia memang suka menyanyi. 

Dengan gaya dan dandanan seperti itulah dia masuk-keluar penjara, mengurus tahanan politik dari segala golongan, dari yang disebut antek-antek Jendral Suharto sebagai Ekstrim Kiri (EKI) sampai Ekstrim Kanan (EKA); dari Kolonel Latief dan Marsekal Omar Dani, Thomas Wainggai, sampai Nur Iskandar, Fauzi Isman dan AM Fatwa. Lalu, belakangan dia urus juga “anak-anak”nya yang dengan usil mendirikan partai baru menantang Orde Baru : Budiman Sudjatmiko, Wilson Bokap Bunga, dkk. 

Itu baru di Indonesia. Belum di Timor Leste. Di salah satu kantor militer di Dili terpampang peta gerakan yang mendukung referendum untuk Timor Leste yang ditandai dengan foto-foto “aktor-aktor” utama dan pendukungnya. Salah satu noktah hanya diberi keterangan “ibu-ibu berambut putih”. Tak ada nama. Tak ada keterangan apa pun. Ibu tua ini tertawa terpingkal-pingkal ketika mendengar cerita itu. 

Dia masuk-keluar Timor Leste, membawa obat-obatan untuk para pejuang klandestin, mengunjungi para istri tahanan politik dan gerilyawan untuk memberi bantuan kesejahteraan, menyampaikan pesan dari Xanana Gusmao atau David Ximenes di LP Cipinang ke anak buah mereka di negeri terpencil itu. 

Dia tidak selalu berani. Tergantung siapa yang dia ajak bicara tentang suatu peristiwa. Tapi, ketika dia sudah bertekad membantu, urat takutnya seperti putus. 

Sekali peristiwa, dia membawa bantuan kemanusiaan dengan Agung Putri dan mereka terjebak tembak-menembak antara Falintil dan TNI di pegunungan di Aileu. Di kanan kiri jurang. Dua perempuan tidak masuk akal ini menunggu saja sampai pertempuran mereda. 

Perempuan satu ini tidak cuma tergerak oleh peristiwa-peristiwa politik. Bencana alam memanggilnya juga. Salah satu ceritanya yang mencengangkan waktu dia membawa bantuan bagi korban banjir di NTT dengan perahu motor di tengah gelombang pasang Laut Flores. Begitu pula ketika ada tsunami di Aceh. Siapa pun dia ajak untuk terlibat mengumpulkan dan mengirim bantuan. 

Munculnya telepon seluler membuatnya semakin giat menggalang barang dan orang. Siapa pun yang kenal dia cukup dekat pasti pernah menerima hujan SMS darinya saat tengah malam sampai subuh. Dan kita akan sangat sulit berkata tidak. Karena dia ibu-ibu tua. 

Kadang-kadang ajakannya terlalu mengejutkan. Seperti ketika FPI diserbu di beberapa kota basis NU sekitar awal 2000-an. Melihat bagaimana anggota ormas-ormas tertentu dan juga polisi menggerebeg rumah-rumah para anggota FPI, dia mengatakan, “Mengerikan ini, Gung. Ini seperti 65.” Dia mengajak kami untuk melakukan advokasi menentang tindakan sewenang-wenang aparat keamanan bersama milisi sipil. 

Kali lain, dia meminta bantuan kawan-kawan Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) untuk membantu istri dan keluarga salah satu pentolan milisi Timor Leste, Eurico Guterres, yang menjadi pengungsi setelah kemerdekaan Timor Leste. Biasanya kami tidak langsung mengatakan ya atau tidak. Kami mencari orang-orang yang lebih tua dari kami atau yang dia segani dan dengarkan pendapatnya, seperti Romo I. Sandyawan Sumardi, Asmara Nababan, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ita Fatia Nadia, Agung Putri, atau Hilmar Farid. 

Kesiapannya membantu apa saja, siapa saja, sering kali dimanfaatkan banyak orang. Ada yang untuk tujuan baik. Misalnya, kawan-kawan Timor Leste diberi uang untuk kuliah dipakai untuk demonstrasi. Ada yang untuk tujuan tak jelas. Berkali-kali dana yang dia kumpulkan, dia serahkan kepada kawan A atau B untuk kegiatan politik atau kemanusiaan tertentu, dan raib begitu saja. 

Maka dia panggil lah Rini Pratsnawati, salah satu akuntan paling handal di kalangan LSM, untuk menata keuangan organisasi apa pun yang sedang dia bawahi. Masalah seperti ini membuat mereka yang “profesional” mempersoalkan kinerja dia karena “ketidakjelasan manajemen organisasi”. 

Tentu saja. Ini manajemen emak-emak klandestin. Tak jarang dia ambil uang belanja atau uang anaknya untuk membiayai kerja-kerja politik dan kemanusiaan yang dia dukung. Dan, dia pun tidak menjadi kaya-raya karena upaya penggalangan dana yang dia lakukan. Ketika ia jatuh sakit pada tahun terakhir hidupnya, ia masuk Kelas III, karena dana yang kami galang untuk perawatannya dia berikan secara sembunyi-sembunyi ke entah kawan siapa dan organisasi apa. Menjengkelkan sekali. 

Ia dikenal sebagai Bu Ade. Beberapa dari kami, anak-anaknya, memanggilnya Madam. Cerita tentangnya tak pernah selesai. Karena hampir setiap hari dalam hidupnya dia bikin setori. Rindu kami padanya berkelanjutan. Karena Bu Ade membuat kami belajar tentang apa itu kemanusiaan dari langkah-langkahnya yang paling kecil dan perlahan. Karena Bu Ade adalah Madam yang selalu mengusik kita saat terlena. 

Selamat Ulang Tahun, Bu! 🌹

 (12 Desember 1938 – 12 Desember 2020)



Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama