Rakyat Timor Leste menganggap Indonesia sebagai negara penjajah. Bagaimana memahami persepsi ini dalam konteks historis?
Dalam program Mata Najwa episode “20 Tahun Timor Leste: Cerita Setelah Merdeka”, pemuda-pemudi Timor Leste menyebut Indonesia sebagai negara penjajah.
Wah kok bisa negara yang sebentar lagi hendak merayakan hari kemerdekaan ke-77 dan pembukaan konstitusinya terang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, mendapat predikat negara penjajah?
Yuk, pahami konteks historis pernyataan mereka.
Timor Leste Tak Masuk Wilayah Jajahan Belanda
Timor Leste atau yang dahulunya bernama Timor Portugis termasuk dalam jajahan Portugal, bukan Belanda. Hal ini berdasarkan Perjanjian Lisbon 20 April 1859 antara Portugal dengan Belanda. Perjanjian Lisbon mengatur batas-batas wilayah koloni Belanda dan Portugal di Hindia Belanda dan Timor Portugis.
Perjanjian ini melibatkan Raja Portugal Pedro V yang diwakili António Maria de Fontes Pereira de Melo dan Raja Belanda William III yang diwakili oleh Kuasa Usaha Maurits Jan Heldewier.
Lantaran tidak punya legitimasi historis sebagai bekas koloni Belanda maka para pendiri republik dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 19 Agustus 1945 tidak memasukan Timor Portugis ke dalam delapan wilayah atau provinsi pertama Indonesia.
Delapan provinsi pertama yang masuk wilayah Indonesia dalam sidang PPKI adalah:
1. Sumatera dengan Gubernur Mr. Teuku Muhammad Hasan
2. Jawa Barat dengan Gubernur Mas Sutardjo Kertohadikusumo.
3. Jawa Tengah dengan Gubernur R.P Soeroso.
4. Jawa Timur dipimpin Gubernur RMT Ario Soerjo.
5. Sunda Kecil dipimpin Gubernur I Goesti Ketoet Poedja.
6. Maluku dipimpin Mr. Johannes Latuharhary.
7. Sulawesi dipimpin Gubernur GSSJ Ratulangi.
8. Borneo dipimpin Gubernur Pangeran Muhammad Noor.
Revolusi Anyelir dan Ketakutan Orde Baru Terhadap Komunisme
Kalau memang gak punya landasan historis, apa dong yang jadi alasan Pemerintah Orde Baru Soeharto menguasai Timor Leste?
Komunisme! Yap, ketakutan terhadap komunisme itulah yang jadi alasan utama Orde Baru menginvasi Timor Leste pada 7 Desember 1975.
“Antikomunisme merupakan satu unsur penting dalam keputusan Indonesia menduduki Timor Timur pada Desember 1975,” kata sejarawan M.C. Ricklefs.
Jadi begini, pada 25 April 1974, rezim Estado Novo (Negara Baru) Portugal yang berhaluan antikomunis ditumbangkan lewat demonstrasi buruh dan para tentara muda progresif berhaluan kiri yang tergabung dalam Gerakan Angkatan Bersenjata alias Movimento das Forças Armadas (MFA).
Peristiwa tersebut dikenang sebagai Revolusi Anyelir lantaran dalam aksinya para tentara mengikatkan bunga anyelir pemberian masyarakat di ujung moncong senjata mereka sebagai simbol revolusi damai.
Jatuhnya rezim Estado Novo tak hanya berpengaruh terhadap politik dalam negeri Portugal namun juga lepasnya wilayah-wilayah koloni mereka di Afrika dan Timor Portugis.
20 Mei 1974 Francisco Xavier do Amaral merespons jatuhnya rezim Estado Novo di Portugal dengan mendirikan partai politik Asosiasi Sosial Demokrat Timor (ASDT) yang pada 11 September 1974 berganti nama menjadi Fretilin. Misi besar Fretilin yang berhaluan Marxisme adalah memerdekakan Timor Portugis dari pejajahan.
Sebagai partai terbesar, Fretilin memiliki dua pesaing utama: Uni Demokrat Timur (UDT) yang bersikap moderat dan APODETI yang ingin membawa Timor Portugis bergabung ke Indonesia.
Pada 1975 Fretilin berhasil menguasai sebagian besar posisi-posisi strategis di Timor Portugis. UDT yang menjadi pesaing sengit Fretilin menuding mereka hendak menjadikan Timor Portugis negara komunis.
Sengitnya persaingan kedua partai berujung pada pecahnya perang saudara antara Falintil (milisi bersenjata Fretilin) versus UDT pada Agustus 1975.
Fretilin keluar sebagai pemenang. Ribuan pendukung UDT—yang sebagian besarnya prointegrasi Indonesia—tewas di tangan pasukan Falintil. Beberapa yang selamat melarikan diri ke Indonesia mencari dukungan Pemerintah Orde Baru.
Pada waktu hampir bersamaan Lemos Pires, Gubernur Portugal di Timor Portugis menanti petunjuk dari pemerintahan baru Portugal yang berhaluan kiri di Lisbon, soal penyelesaian perang saudara yang terjadi antara Fretilin dan UDT.
Setelah tiga bulan tak kunjung mendapat kabar Pires akhirnya menarik mundur staf dan pasukannya dari Timor Portugis pada 27 November 1975.
Xavier do Amoral, pejuangan kemerdekaan Timor Portugis, memanfaatkan kekosongan kekuasaan ini dengan mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada 28 November 1975.
Fretilin mengangkatnya sebagai presiden dan Nicolau dos Reis Lobato sebagai wakil presiden sekaligus perdana menteri dengan 18 orang anggota kabinet.
30 November 1975 atau cuma berselang dua hari setelah Fretilin mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste, tiga partai politik: Partai Klibur Oan Timor Asu'wain (KOTA), Uni Demokrasi Timor (UDT) dan Associacao Popular Democratica de Timor Pro Referendo (APODETI) mendeklarasikan integrasi ke Indonesia. Peristiwa ini dikenal sebagai Deklarasi Balibo.
Deklarasi ini menjadi legitimasi Pemerintah Orde Baru yang memang mengidap komunistophobia untuk menginvasi Timor Leste di bawah rezim Fretilin yang berhaluan kiri.
Pada 7 Desember 1975 Orde Baru resmi melancarkan serangan militer bernama Operasi Seroja sebagai upaya menaklukan Timor Leste.
“Jakarta tidak ingin menoleransi adanya sebuah negara merdeka, dan berhaluan komunis, di dalam kepulauannya sendiri,” kata Ricklefs.
Fakta Tersembunyi di Balik Lahirnya Deklarasi Balibo
Dalam wawancara dengan Majalah Tempo pada 23 September 2001, Mario Viegas Carasscalao yang pernah menjadi salah satu petinggi UDT mengungkap fakta yang jarang diketahui mengenai alasan partainya dan Apodeti bergabung ke Indonesia dan bagaimana Deklarasi Balibo dilahirkan.
Menurut Mario pilihan Apodeti dan UDT bergabung ke Indonesia sebenarnya tak lepas dari pragmatisme politik mereka sebagai kelompok yang kalah dalam pertarungan melawan Fretilin.
“Saat itu kondisi kami payah. Kami terdesak hingga ke perbatasan Indonesia. Kami tentu saja menerima tawaran bantuan yang diberikan oleh tentara Indonesia,” kata Mario.
Mario mengatakan Deklarasi Balibo yang menjadi acuan tentara Indonesia mengintegrasikan Timor Leste ke Indonesia sebenarnya dibuat di Bali bukan di Kota Balibo.
“Deklarasi Balibo yang menjadi acuan integrasi Timtim ke Indonesia sebenarnya di Buat di Bali. Saat itu UDT dan Apodeti memilih ikut Indonesia, sedangkan Fretilin menginginkan kemerdekaan. Saya adalah salah satu pimpinan UDT. Bagi saya, dengan pendapatan perkapita US$40 per tahun, tak mungkin tim-tim berdiri sendiri,” kata Gubernur Timor Timur 1982-1992 ini.
Mario mengatakan kemenangan Fretilin atas lawan-lawannya tak lepas dari keunggulan senjata yang mereka miliki.
“Saat itu tahun 1975 terjadi pertempuran antara partai-partai politik yang ada. Fretilin memiliki senjata yang jauh lebih banyak dibandingkan lawan-lawannya. sekitar 5000 pucuk senjata jenis G3 (standar NATO) bekas tentara Portugis. sedangkan partai saya cuma punya 500 pucuk senjata bekas polisi,” ujarnya.
Tidak Diakui PBB Tapi Didukung Amerika Serikat
Serangan militer Orde Baru ke Timor Leste dilakukan hanya sehari setelah Presiden Amerika Serikat Gerald Ford dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger meninggalkan Jakarta pada 6 Desember 1975.
Hal ini dibaca para sejarawan sebagai restu Washington terhadap rencana Jakarta menaklukan Timor Leste.
PBB sebenarnya menentang campur tangan militer Indonesia dalam konflik di Timor Leste dengan alasan wilayah itu masih menjadi bagian dari koloni Portugal.
Namun PBB tak bisa berbuat banyak lantaran Amerika Serikat ikut bermain dalam serangan tersebut dengan memberikan bantuan persenjataan dan keuangan.
“Amerika Serikat tidak ingin menentang penguasaan Indonesia terhadap wilayah tersebut, sehingga pengakuan PBB bahwa Portugal masih memegang kekuasaan di wilayah tersebut sudah tidak berarti lagi,” ujar Ricklefs.
Alasan Amerika Serikat Mendukung Invasi Militer Orde Baru ke Timor Leste
Invasi militer Orde Baru ke Timor Leste mustahil dilakukan tanpa restu dan dukungan dari Amerika Serikat. Satu alasan kuat mengapa Washington mendukung serangan Orde Baru ke Timor Leste adalah mereka sama khawatirnya dengan pengaruh komunisme Fretilin di Timor Leste.
Apalagi, Amerika Serikat juga baru saja kalah dalam Perang Vietnam setelah mereka menarik mundur pasukannya dari Vietnam Selatan (1973) yang berimbas terhadap penyatuan Vietnam Selatan dan Vietnam Utara di bawah rezim Partai Komunis Vietnam.
Kesamaan sikap untuk menghalau pengaruh komunisme ini pulalah yang membuat Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara barat lainnya menutup mata terhadap persoalan-persoalan pelanggaran HAM yang dilakukan militer Orde Baru di Timor Leste.
“Sorotan terhadap isu pelanggaran HAM, korupsi, dan pendudukan Timor Timur memang mengusik negara-negara barat. Tetapi, hal-hal ini tidaklah membuat mereka mengabaikan isu-isu geopolitik yang lebih besar, yang lebih menentukan,” ujar Ricklefs.
Matinya Lima Wartawan Australia, Santa Cruz, dan Kekerasan di Timor Leste
Sejak Operasi Seroja dijalankan, militer Indonesia hanya butuh waktu kurang dari tujuh bulan untuk memukul mundur pasukan Fretilin ke bukit-bukit dan memasukan Timor Leste ke dalam provinsi baru ke-27 pada 17 Juli 1976 dengan nama Timor Timur.
Namun operasi militer penaklukan Timor Leste ini bukan tanpa cela. Sejumlah organisasi hak asasi manusia, termasuk Amnesti Internasional, melaporkan terjadinya pelanggaran kemanusiaan serius dalam bentuk penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan, dan perampasan harta benda yang dilakukan tentara Indonesia.
Lima orang jurnalis Australia yang bertugas melakukan peliputan juga dilaporkan tewas di tangan militer Indonesia selama proses penaklukan.
Namun Jakarta bukan saja menolak bertanggung jawab dan melempar kesalahan kepada Fretilin, mereka juga menutup akses dunia internasional untuk mengetahui fakta sebenarnya terjadi.
Kekerasan militer Indonesia selama berada di Timor Leste akhirnya membuka mata dunia internasional ketika tragedi Santa Cruz terjadi di Dili pada 12 November 1991.
Tragedi ini bermula saat ribuan peserta misa arwah aktivis mahasiswa prokemerdekaan Sebastiao Gomez —yang mati ditembak tentara Indonesia —berubah menjadi demonstrasi kemerdekaan. Tentara Indonesia merespons aksi ini dengan tembakan membabi buta ke arah demonstran.
Militer Indonesia mengonfirmasi 19 orang tewas dalam peristiwa. Namun angka ini jauh lebih sedikit dibandingkan laporan dari Portugal. “271 orang tewas, 382 luka-luka, dan 250 orang hilang,” kata Ricklefs.
Rekaman kekerasan dalam peristiwa ini berhasil diselundupkan ke luar negeri dan disiarkan di berbagai negara barat.
Sejak itu solidaritas dan dukungan dunia internasional untuk kemerdekaan Timor Leste terus menguat. Amerika Serikat untuk kali pertama mengutuk kekerasan militer Indonesia di Timor Timur.
Usaha rakyat Timor Leste memisahkan diri dari Indonesia mulai menemukan jalan terang setelah gerakan reformasi memaksa Soeharto mundur pada 21 Mei 1998.
Pemerintahan baru Indonesia di bawah Presiden B.J. Habibie menyelenggarakan referendum bagi rakyat Timor Timur menentukan pilihan.
Refrendum yang dilakukan pada 30 Agustus 1999 menyatakan mayoritas rakyat Timor Timur ingin berpisah dari Indonesia. Hasil ini tak disukai kelompok prointegrasi. Mereka membantai para pendukung kemerdekaan dan memaksa ratusan ribu orang mengungsi ke Timor Barat.
Pada 20 September 1999 pasukan penjaga perdamaian PBB untuk Timor Timur (INTERFET) tiba dan mengakhiri gejolak konflik serta kekerasan di sana.
Timor timur mendapat pengakuan dunia internasional sebagai negara merdeka pada Mei 2002 dengan nama Timor Leste.
Jasa Orde Baru di Timor Leste
Terlepas dari kekerasan yang dilakukan militer Orde Baru, sejumlah tokoh Timor Leste mengakui jasa Soeharto selama Timor Timur menjadi bagian Indonesia.
"Orang Timor Lorosae tidak akan pernah melupakan jasa besar Pak Harto dalam membangun Timtim di segala bidang kehidupan," kata peraih Nobel Perdamaian 1996 Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo dikutip Kompas.com, 28 Januari 2008.
Presiden Timor Leste Ramos Horta juga mengakui jasa Soeharto bagi negerinya. Dalam wawancara dengan BBC Horta mengatakan, mantan pempin RI itu menyumbangkan "banyak hal positif" bagi Indoneisa.
“Ramos-Horta menghargai Suharto atas jasanya di bidang pembangunan dan ekonomi, tapi mengatakan, dia juga: ‘membuat banyak kesalahan, termasuk pembantaian di Indonesia dan Timor Timur’," kata Horta.
Seorang pemudi Timor Leste mengakui peran dan jasa Soeharto terhadap kehidupan sosial rakyat Timor Leste hingga sekarang, khususnya di bidang pendidikan.
"Di tahun Indonesia menjajah, diharuskan sekolah jadi itu positif banget, sekolahnya harus SD sampai SMA. Jadi kalau pandangan saya ke belakang saya bersyukur banget bisa dijajah sama negara yang bisa memberikan kesempatan untuk sekolah. Kalau Portugis [menjajah] kan oke kamu sekolahnya cuma sampai kelas tiga."
Pandangan mengenai jasa-jasa dan peran Orde Baru di Timor Timur tentu saja tak bisa menghapus fakta kekerasan dan sejarah penjajahan di Bumi Lorosae.
Sama seperti halnya saat presiden dan rakyat Indonesia merayakan kemerdekaan di Istana Negara dan menikmati beragam fasilitas berupa rumah sakit, universitas, serta infrastruktur warisan kolonial Belanda.