Presiden CNRT yang juga panglima Falintil, Xanana Gusmao, percaya orang Timtim yg selama ini berpikir tentang perang, cepat atau lambat akan sadar bahwa perbedaan tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan. "Kalau sekarang belum bisa, mungkin nanti mereka akan menerima cara yang lebih demokratis," katanya.
Suami dari Emilia Bapista, ayah dua anak (yang telah 18 tahun terpisah), serta kakek seorang cucu, yang kini tinggal di Lembaga Pemasyarakatan Khusus di belakang Rutan Salemba, Jakarta ini tidak setuju kalau setiap kali ia diajak berunding untuk hanya menerima tawaran pertama: otonomi luas. Yang ia tekankan, perundingan haruslah dilakukan seluruh orang Timtim. Kalaupun keputusannya menerima opsi itu, Xanana akan menerimanya juga.
Tapi di dalam diri pria kelahiran Manatuto, 20 Juni 1947, yang oleh Majelis hakim PN Dili pada 20 Mei 1993 divonis hukuman seumur hidup, lantas pada 17 Agustus 1993 mendapat grasi dari Presiden Soeharto menjadi penjara 20 tahun, ini terdapat keyakinan, mayoritas orang Timtim menghendaki kemerdekaan. Maka pembicaraannya selalu dalam asumsi Timor Leste Merdeka.
Ia tidak siap dengan pertanyaan seandainya MPR hasil pemilu 1999 tidak mencabut TAP No. VII/1978 serta menolak usulan kemerdekaan Timtim. "Wah, itu yg tidak bisa saya percaya. Saya tidak bisa membayangkan kalau MPR nanti tidak menghormati keinginan mayoritas rakyat Timtim.
Dalam asumsi kemerdekaan itu ia menyarankan, sebaiknya semua orang Timtim melepaskan beban kesalahan. Tidak ada balas dendam, tidak ada yg dirugikan.
"Tidak ada seorangpun yang berhak memaafkan orang lain karena semua orang telah melakukan kesalahan," katanya. "Semua akan ditata dalam prinsip demokrasi. Yang prointegrasi maupun tidak, akan sama2 dilibatkan dalam pembangunan."
Memang, sampai sekarang kebanyakan orang Timtim belum bisa melepaskan diri dari beban psikologis, sehingga akan mempersulit proses konsultasi dan rekonsiliasi. "Penyelesaian nya bisa lama bisa pendek, tergantung sejauh mana rakyat Timtim sudah cukup menjadi budak yang, budak kekerasan dan budak ancaman."
Xanana menganggap perjuangan mencapai kemerdekaan adalah keinginan rakyat yang diwariskan oleh para leluhur. "Sejarah mencatat, kami tak pernah berhenti melawan penjajah asing."
Namun, ia mengingatkan, kalaupun nanti merdeka, itu baru satu tahap untuk mewujudkan segala sistem pembangunan. "Bagi kami, kemerdekaan yang benar, yang sejati, baru akan dirasakan oleh cucu kami kelak."
Di setiap perbincangan, pria yang pernah 4,5 tahun sekolah di Seminari Dare ini selalu ingin mengesankan diri Demokrat kepada lawan bicaranya. Bukan seorang penjahat seperti diterangkan dalam vonisnya, apalagi komunis.
"Fretilin sejak awalnya menganut dasar sosial Demokrat. Pemerintah Indonesia yg mencap kami komunis, seperti halnya mencap UDT neofasis.
Sebetulnya secara fisik kekuatan kami tidak seberapa. Dari 27.000 orang yang terbagi dalam tujuh basis perlawanan WA di awal masuknya ABRI, dalam tida tahun tinggal 700 orang. Tahun 1979 saya terdesak dalam situasi sulit. Pemimpin banyak yang mati, menyerah atau hilang. Sementara anggota komite sentral tinggal dua orang, saya dan Lobato.
Dalam keadaan vakum itu saya berinisiatif mengambil kepemimpinan."
Sejak 1987 Xanana keluar dari Fretilin dengan membawa tentara rakyat (yang kemudian bernama Falintil). Secara fisik Fretilin habis pada 1989 ketika terpukul oleh ABRI hingga ke sisi timur provinsi.
Xanan memimpin gerakan perlawanan' di hutan, seraya mengembangkan jaringan pendukung di perkotaan. Ketika belum tertangkap, mitos di kalangan warga pendatang adalah tokoh yang punya nama gerilya Kay Rala itu seorang yg punya kekuatan magis. Bisa menghilang, tak mempan ditembak, bisa pula berperang secara gaib.
Xanana mendiamkan saja fakta itu. "Yang jelas, budaya tradisional Timtim adalah menyatu dengan alam. Dalam perjuangan, kami juga mengandalkan kekuatan alam.
Ada cara dan ritus yang dilakukan untuk menjaga harmoni dengan motherland".
Namun ihwal ia sering lolos dari penyergapan ia bilang semata-mata karena rapinya penyamaran.
Lagipula sekalipun foto dirinya banyak beredar, petugas belum tentu langsung bisa mengenali seandainya ketemu dirinya.
"Saya punya tiga KTP yang tentu saja tidak satu pun tertulis nama Xanana Gusmao." Lelaki yang menolak berkewarganegaraan Indonesia ini membanggakan diri.
(Majalah Intisari, Mei 1999)