Rabu, 27 Juli 2022 - 23:00 WIB Oleh : Humas
MENIKMATI kisah-kisah spionase yang kerap tersaji di film-film Hollywood, bagi saya sangat mengasyikkan. Selalu ada rasa penasaran yang perlu dituntaskan. Tapi bagaimana kalau kisah-kisah seperti itu tersedia di dalam sebuah buku? Ternyata asyik juga. Rasa ingin menikmati keasyikan itulah yang memutuskan saya untuk membaca sebuah buku yang sebetulnya sudah cukup lama terbit. Judul bukunya: Timor Timur, Gagalnya Sebuah Diplomasi: Suatu Analisa dan Kritik Seorang Pelaku Sejarah, yang diterbitkan Indie Publishing tahun 2014. Sekali sapuan jemari, buku yang ditulis Basilio Dias Araujo tersebut sudah sampai di pintu rumah dalam tempo satu hari saja.
Oh ya, keinginan untuk membaca buku ini sebetulnya bukan saja karena menyenangi tema-tema spionase dan intelijen, tetapi tak lain karena isu Timor Timur dalam minggu terakhir kerap muncul di beranda media sosial saya. Ternyata, Timor Timur kini genap berusia 20 tahun setelah secara resmi diakui PBB pada 2002 silam, setelah memenangi Jajak Pendapat untuk berpisah dari Indonesia tiga tahun sebelumnya. Lebih tepatnya 30 Agustus 1999.
Waktu sangat cepat berlalu, meski di ujung ingatan masih tergambar jelas bagaimana saya dan seluruh siswa SMP diajak pihak sekolah untuk menonton film perjuangan integrasi Timor Timur ke Indonesia. Saya sudah lupa judul film itu, tapi yang jelas isinya bercerita tentang sebuah patriotisme dan nasionalisme. Saya juga masih ingat betul nama Obelio Jose Osorio Soares, nama Gubernur Timor Timur yang dulu wajib dihafalkan siswa SD. Nama itu sangat unik bagi kami siswa-siswi di pedalaman Tapanuli. Itu yang mungkin membuat nama itu terus melekat dalam ingatan.
Buku ini kian menarik bagi saya karena penulisnya adalah seorang Senior di kampus tercinta: Fakultas Sastra dan Bahasa Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta. Basilio saat ini juga tercatat sebagai Ketua Ikatan Alumni Fakultas Sastra dan Bahasa (Ikafasas) UKI. Kalau begitu, alasan kenapa harus membaca buku ini sudah lengkap.
Begini kisahnya:
Membaca buku ini Anda akan dibawa ke banyak peristiwa sedih yang digambarkan Basilio secara gamblang. Rangkaian kisah Timor Timur yang bermula pada 1974, saat Portugal mengalami gejolak politik luar biasa yang dikenal Revolusi Bunga. Pecahnya revolusi di Portugal sekaligus menandai rentang kisah politik Timor Timur dengan Indonesia hingga kisahnya berakhir pada 1999. Sebagai salah satu Provinsi Seberang Lautan, Timor Timur (Timtim) yang sebelumnya dikuasai oleh Portugal, ikut mengalami pergolakan politik: ingin menjadi negara merdeka dan berdaulat.
Angola dan Mozambique adalah dua negara paling familiar bagi awam yang berhasil memerdekakan diri dari penjajahan Portugal. Masih ada negara lain yang rasanya asing di kuping, yakni Cabo Verde (Teluk Hijau) dan Sao Tome e Principe. Sayang, Revolusi Bunga di Portugal ternyata tidak membawa kabar baik bagi rakyat Timor Timur. Justru sebaliknya, rakyat Timor Timur justru terjebak dalam Perang Saudara, terpecah menjadi dua keinginan. Kelompok Fretilin yang ingin merdeka menjadi negara berdaulat harus berhadapan dengan saudaranya yang ingin bergabung dengan Indonesia.
Ada salah satu cuplikan peristiwa sedih yang bisa ditemukan dalam bagian “Persembahan”. Ketika Basilio bercerita sekilas tentang bagaimana istri dan kedua anaknya pada 1999 kerap merasakan masa sulit ketika diserang kelompok pro kemerdekaan. Ada ketakutan dan penderitaan yang harus dihadapi istri dan kedua anaknya, tanpa kehadiran Basilio sebagai seorang ayah dan suami. Tak ketinggalan, Basilio juga mengisahkan tentang nihilnya penghargaan pemerintah Indonesia terhadap 54 ribu Pasukan Pejuang Integrasi Timor Timur. Seharusnya, mereka yang telah rela mengorbankan nyawanya demi Indonesia sangat layak mendapat penghargaan sesuai amanat UU Veteran No 15 Tahun 2012.
Peristiwa pilu lain yang bisa dijadikan pelajaran dari pengalaman Basilio adalah tentang lemahnya diplomasi Indonesia di kancah internasional. Basilio dengan tegas menyebut Indonesia takluk di bawah diplomasi yang dijalankan Portugal. Jika Portugal dengan menghalalkan segala cara untuk merebut kemenangan, tidak begitu dengan Indonesia yang malah menjalankan diplomasi “politik kejujuran”, yakni meyakini Portugal menjalankan politik internasional tanpa disertai trik dan intrik. Padahal, dalam panggung internasional, diplomasi pada dasarnya harus “menghalalkan” segala cara demi mencapai sebuah tujuan.
Tentang lemahnya diplomasi Indonesia menghadapi Portugal termasuk takluk oleh tekanan PBB, dengan gamblang diceritakan Basilio. Rontoknya wibawa Indonesia di mata dunia itu dikisahkan Basilio dengan menghadirkan banyak kisah yang dialaminya sendiri. Antara lain saat ikut rapat bersama pejabat tinggi Indonesia yang ternyata kurang memahami permasalahan yang terjadi di Timor Timur. Jadi bagaimana mungkin dapat mengambil keputusan yang baik tanpa mengetahui lebih dulu persoalannya? Begitulah kritik yang dilontarkan Basilio terhadap minimnya pengetahuan pejabat Indonesia terhadap Timor Timur. Di sisi lain, Portugal selalu menghadirkan diplomat andal yang dengan sigap memojokkan Indonesia.
Sudah lemah di meja perundingan, pemerintah Indonesia lagi-lagi mengambil keputusan keliru lewat pendekatan militer. Pasukan tentara yang diterjunkan ke Timor Timur ternyata tidak mampu merebut simpati rakyat. Sebaliknya, rakyat seperti dijadikan musuh, dianggap kelas dua dalam tatanan masyarakat sosial di sana. Basilio bahkan mengungkap sebuah peristiwa pilu ketika seorang guru dan anggota TNI yang berstatus pendatang, justru bebas dari hukum meski keduanya telah melakukan perbuatan kriminal dan asusila kepada puluhan murid perempuan. Begitulah, warga setempat malah menjadi bulan-bulanan akibat ancaman kekerasan yang justru banyak berasal dari aparat keamanan.
Diplomasi rapuh ditambah pendekatan militer yang salah di sisi lain otomatis menjadi keuntungan tersendiri bagi Fretilin, meniupkan dukungan kepada kelompok pro kemerdekaan. Hal inilah yang memicu kian banyaknya rakyat Timor Timur untuk melepaskan diri dari Indonesia.
Puncaknya adalah ketika Presiden Soeharto lengser dan digantikan Presiden BJ Habibie. Di masa Habibie, Portugal seolah mendapat bintang jatuh dari langit, setelah opsi Otonomi Khusus hingga menggelar Jajak Pendapat akhirnya direstui. Di bagian ini, Basilio berharap pemimpin Indonesia tidak lagi mengulangi kesalahan yang dilakukan Habibie, yang konon melepaskan Timor Timur karena dua pertimbangan khusus.
Nasi sudah menjadi bubur. Timtim yang dulu merupakan Provinsi ke-27 Indonesia kini resmi berdiri sebagai negara merdeka dan berdaulat. Keputusan harus tetap dihormati. Meskipun, menurut Basilio, Timor Leste dari segi geopolitik, geografis, dan geoekonomi akan sulit mandiri karena dihimpit dua negara besar: Indonesia dan Australia. Pada akhirnya, Timor Leste akan tetap menjadi negara yang harus bergantung kepada tetangganya: menjadi negara konsumen.
Lepasnya Timor Timur dari peta NKRI juga harus menjadi pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia. “Semoga anak cucu saya tetap melihat berkibarnya Sang Saka Merah Putih dan selalu siap membelanya walaupun harus berakhir di balik jeruji penjara seperti Obelio Jose Osorio Soares dan Eurico Guterres”, demikian kalimat penutup Basilio dalam buku ini.
Itulah sedikit gambaran yang bisa dinikmati dari buku ini. Masih banyak peristiwa lain yang sangat menarik dicermati, yang seluruhnya berasal dari Basilio sebagai pelaku sejarah. Saya yakin buku ini akan menjadi salah satu buku pegangan bagi mereka yang sedang belajar ilmu hubungan internasional maupun bagi mereka yang sudah terjun sebagai diplomat. Harapannya, semoga juru runding Indonesia menjadi lebih tangguh.