Si Mbak dan Narasi yang Menyesatkan


Oleh:

Ivo Mateus Goncalves

Jika kemerdekaan itu adalah hadiah dan kebaikan hati kaum kolonial (colonial benevolence). Maka sejarah gerakan pembebasan Timor-Leste harus ditulis ulang, atau mungkin gerakan pembebasan itu sendiri memang tidak pernah eksis. 

Tidak pernah ada yang namanya korban ratusan ribu jiwa, tidak pernah ada pemerkosaan, tidak pernah ada anak-anak terlantar yang ditinggalkan orang tua mereka karena tewas di medan perang, tidak pernah ada Desa-nya para janda, tidak pernah ada ratusan pemuda yang gugur di Santa Cruz dan pemuda-pemuda lainnya yang hilang sampai saat ini. Tidak pernah ada yang namanya tahanan politik yang mengalami penyiksaan berat, ada yang mati, dan ada yang raib sampai saat ini. 

Tidak ada akan pernah ada yang namanya gerakan solidaritas di Indonesia dan di belahan dunia lain yang mendukung kemerdekaan Timor-Leste. Dan Mbak Najwa Shihab-pun tidak akan pernah berkunjung ke Timor-Leste. Karena  Timor-Leste akan menjadi sebuah pulau kecil tanpa sejarah, people without history, meminjam kalimat sejarawan Eric Wolf.  Karena sejarahnya sudah diciptakan oleh kaum kolonial. 

Narasi sejarah seperti di atas tidak pernah eksis. Karena kaum kolonial sudah sangat berbaik hati menghadiahkan kemerdekaan untuk Timor-Leste, tidak perlu perjuangan apalagi pengorbanan. 

Inilah akibatnya kalau tidak mempelajari  dan memahami sejarah dengan benar. Menggunakan jargon secara salah kaprah dan kelihatan sok tahu tapi sebetulnya tidak tahu. 

Baca baik-baik, para kaum terpelajar Indonesia tidak pernah menganggap bahwa Politik Etis yang dicetuskan oleh Ratu Wilhelmina (1901-1942)  dan diterapkan oleh penguasa kolonial Belanda sebagai sesuatu yang mulia, setelah penjajahan, eksploitasi kekayaan alam dan penindasan selama bertahun-tahun. 

Para pendiri RENETIL pada tahun 1988 di Bali, tidak pernah menganggap bahwa beasiswa yang mereka peroleh dari pemerintah daerah "sebagai kebaikan hati" dari kaum kolonial. 

Para pemuda martir yang diberondong peluru oleh aparat Indonesia di pekuburan Santa Cruz, sebagian besar adalah pemuda-pelajar yang mendapatkan akses ke sistem pendidikan kolonial. 

 Saat itu pemerintah Indonesia sedang menggalakkan pembangunan di segala bidang, dan pendidikan adalah salah satunya, dalam memuluskan integrasi tentunya. Apakah para pemuda ini tunduk terhadap ideologi pembangunan rezim kolonial? Tidak! 

Para pegawai negeri Timor-Leste yang dipekerjakan oleh struktur administrasi kolonial tidak pernah menganggap bahwa kolonial itu baik hati. Buktinya, para pegawai ini kemudian mengubah tempat kerja mereka  sebagai pusat clandestine dan menyumbang sebagian dari penghasilan mereka demi kontinuitas perjuangan itu sendiri.

Tidak ada yang mulia dari kaum kolonial, selain sarat kepentingan politik untuk mempertahankan hegemoninya atas negara jajahan. 

Sebagian besar dedengkot gerakan anti kolonial mulai dari Asia, Africa dan Latin Amerika dikenal dengan cosmpolitanisme mereka, istilahnya Dane Kennedy "Anticolonial Cosmopolitanism." Karena mereka adalah para jebolan sistem pendidikan kolonial, atau setidaknya mendapatkan akses ke luar negeri.  

Mulai dari Gandhi yang Sarjana Hukum-nya di Inggris, Jawaharlal Nehru kuliah di Cambridge. Pemimpin gerakan pembebasan Kenya Jomo Kenyatta kuliah di London dan memperoleh gelar Doktor di bidang antropologi. 

Ho Chi Minh, tinggal di luar negeri selama lebih dari 30 tahun, di Perancis (1911, 1919-23), di Amerika (1912-13, UK (193-1919, Uni-Soviet (1924, 1933-1938), dan China (1924-27, 1931-33, 1938-41), tapi akhirnya di kembali ke Vietnam dan membangun gerakan perlawanan.

Amilcar Cabral (Guinnea-Bissau) pernah kuliah di Portugal dan kemudian muncul sebagai seorang pemikir paling handal di benua Africa, begitupun dengan Agustinho Neto (Angola) dan Eduardo Mondlane (Mozambique).  Sampai Frantz Fanon, seorang psiakiater anti-kolonial ternama yang lahir di Martinique dan kemudian berjuang untuk pembebasan Algeria. Fanon merupakan pemikir hebat yang karya-karyanya digunakan sebagai referensi utama di berbagai universitas ternama sampai saat ini. 

Para mahasiswa Timor-Leste yang berangkat ke Portugal atas beasiswa kaum kolonial pada tahun 1960an dan akhir 1970an, adalah juga para dedengkot gerakan pembebasan. 

Apakah akses terhadap pendidikan yang mereka peroleh pada zaman kolonial ini mengubah cara mereka berpikir terhadap rezim kolonial dan kemudian menjadi patuh dan memuji-muji kaum kolonial? Tidak! 

Silahkan kau puji itu Najwa setinggi langit. Tapi saya sepakat dengan Maun Nug Katjasungkana dari beberapa pertanyaan yang dia ajukan kepada narasumber kelihatan bahwa "orang ini buta sejarah." Yach, dia buta sejarah.

Selain itu, memang ada sesuatu yang benar-benar keliru dengan sistem pendidikan kita, terutama pendidikan sejarah. Hal-hal seperti ini yang harus diperbaiki. Ini adalah sebuah generasi yang benar-benar buta akan sejarah bangsanya sendiri. 

Untuk Mbak Najwa, saya kutip kalimat dari mendiang Pramoedya Ananta Toer "anda tidak bisa bertanya kepada seorang budak apakah dia ingin merdeka." Karena itu adalah pertanyaan paling konyol.

Anyway, seumur-umur saya belajar sejarah. Baru pertama kali saya mendengar ada generasi yang bersyukur karena dijajah negara asing. 

 Saya pastikan, kamu nggak bakalan lulus kalau mau test masuk jurusan sejarah, bahkan di Indonesia sekalipun.

Dan 'anak-anak seperti ini" oleh Najwa dianggap sangat memahami sejarah bangsanya dengan baik." Sejarah pro-coloniali maksud loe, Naj😆




Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama