Negara tetangga dekat Indonesia, yang berbatasan darat dengan propinsi NTT, yakni Timor-Leste--dulu kita mengenalnya dengan Timor Timur, dianugerahi dengan kekayaan alam yang besar.
Dalam 15 tahun terakhir, negara yang masih muda ini meraih pendapatan minyak dan gas sebesar 23 miliar dolar AS, sebuah jumlah yang besar untuk sebuah negara dengan populasi sekitar 1,3 juta jiwa, atau tidak sampai separuh populasi Kabupaten Malang di Jawa Timur. Pendapatan dari minyak dan gas mampu membiayai 86 persen dari seluruh pengeluaran negara.
Pada tahun 2005, dilaporkan bahwa Timor-Leste memiliki sekitar 987 juta barel minyak. Cadangan minyak negara tersebut diperkirakan akan mengering dalam lima tahun ke depan atau lebih kecuali ladang minyak baru mulai berproduksi.
Cadangan minyak Timor-Leste memang tidak seberapa jika dibandingkan dengan negara penghasil minyak utama dunia seperti Arab Saudi (266 miliar barel), Iran (155 miliar barel), Venezuela (302 miliar barel), atau Nigeria (37 miliar barel).
Namun demikian, Timor-Leste beruntung karena harga minyak tinggi selama tahun-tahun puncak produksinya dan, berdasarkan Laporan Triwulanan Bank Sentral Timor-Leste, pendapatan minyak mencapai 15,8 miliar dolar As pada akhir 2018. Sekali lagi, ini adalah jumlah yang signifikan untuk sebuah negara dengan populasi kecil seperti Timor-Leste.
Meski begitu, ekonomi yang terlalu bergantung pada minyak tentu saja tak sehat. Menurut IMF, jika lebih dari 25 persen anggaran suatu negara berasal dari sumber daya alam, negara tersebut dianggap bergantung pada sumber daya (resource-dependent).
Ketika Timor-Leste menjadi negara merdeka pada tahun 2002, banyak rakyat negara tersebut yang meyakini bahwa Timor-Leste memiliki cadangan minyak bumi yang tak akan habis selama beberapa generasi ke depan. Namun, siapa sangka, sisa cadangan minyak negara itu tak banyak lagi.
Charles Scheiner, seorang peneliti dari La’o Hamutuk, Timor-Leste Institute for Development Monitoring and Analysis, yang berbasis di Dili menyatakan bahwa era 'kaya minyak' Timor-Leste hampir berakhir, dan mengekspor sisa minyak dan gas yang ada saat ini mungkin 'masih' bisa membiayai pemerintah satu atau dua tahun lagi.
Dalam tulisannya berjudul Timor-Leste economic survey: The end of petroleum income, negara yang terlalu bergantung pada konversi kekayaan sumber daya alam yang tidak terbarukan, akan menghadapi beberapa konsekuensi negatif dari ketergantungan minyak yang tidak dapat dihindari.
Sejauh ini, ekonomi Timor-Leste amat bergantung pada impor, dengan produksi lokal yang amat minimal, lapangan kerja juga langka, dan kelas menengah dan atas perkotaan menikmati sebagian besar manfaat dari ekspor minyak dan gas.
Pada tahun 2020 saja, negara kecil ini mencatat defisit perdagangan (impor lebih besar dari ekspor) sebesar 456 juta dolar AS, dan ini masih lebih baik dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Di samping itu, tingkat pengangguran juga cukup mengkhawatirkan.
Pada tahun 2015, jumlah kaum muda yang berusia 15-24 tahun berjumlah sekitar 20 persen dari total populasi Timor Leste. Meski mereka 'hanya' berkontribusi pada 14 persen dari total angkatan kerja, namun 2/3 pengangguran di negara tersebut berasal dari rentang usia ini.
Pada tahun yang sama, UNFPA ( United Nations Population Fund) melaporkan bahwa tingkat pengangguran kaum muda pada tahun 2015 mencapai 12,3 persen, jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 4,8 persen.
Laporan badan PBB tersebut juga menyajikan analisis tentang tingkat pengangguran menurut tingkat pendidikan, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi risiko pengangguran (pengangguran di kalangan kaum muda tanpa pendidikan atau non-formal di bawah 10 persen, tetapi tingkat di antara kaum muda dengan pendidikan menengah adalah 18 persen dan tingkat di antara kaum muda dengan pendidikan universitas adalah 20 persen).
Sementara itu, Analytical Report on Education menunjukkan bahwa kaum muda yang tidak bekerja dan tidak mengikuti pendidikan dan pelatihan (NEET/not in employment and not in education and training) mencapai 27,7 persen. Menariknya, 53,4 persen anak muda yang telah menyelesaikan pendidikannya tidak bekerja pada saat sensus tahun 2015.
Diskusi tentang tingkat pengangguran kaum muda yang begitu tinggi tak jauh dari dua faktor besar, yakni kurangnya kesempatan kerja dan kurangnya keterampilan yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Ketiadaan pekerjaan bagi kaum muda telah banyak diberitakan di media dan diangkat oleh badan-badan pembangunan di Timor-Leste, khususnya organisasi masyarakat sipil.
Negara ini juga tidak menghasilkan cukup bahan makanan pokok, terutama beras, dan akibatnya kebutuhan ini dipasok melalui impor. Skenario ini menghilangkan kesempatan kerja di sektor pertanian, terutama bagi masyarakat di pedesaan.
Lebih jauh lagi, ketergantungan pada pangan impor dapat membuat subsidi moneter menjadi tidak efektif, terutama ketika negara-negara pengekspor harus memotong ekspor pangan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya sendiri, terutama di era pandemi seperti ini.
Di sisi lain, sebagian besar uang dari minyak dan gas dipergunakan untuk membayar perusahaan-perusahaan dari luar negeri untuk membangun proyek infrastruktur besar yang kadang tak terpakai, dan di saat yang sama kehidupan masyarakat pedesaan yang mayoritas hidup dari pertanian hampir tidak mendapatkan benefit yang memadai.
Hanya sebagian kecil dari pendapatan minyak bumi telah digunakan untuk mendukung kehidupan masyarakat dan produktivitas masa depan (pendidikan, perawatan kesehatan, nutrisi anak, dan pasokan air pedesaan). Kebanyakan orang terus bertahan hidup dengan pertanian subsisten, sementara pekerjaan sektor swasta telah menurun sejak tahun 2014. Diversifikasi ekonomi, meskipun sering dibahas, belum terjadi.
Pendapatan dari ladang minyak dan gas Bayu-Undan telah mengering. Pada saat yang sama, hasil apa pun dari ladang Greater Sunrise yang jauh lebih besar tampaknya belum akan dapat dinikmati hasilnya dalam waktu dekat.
Ladang ini menyimpan cadangan gas sebesar 141 miliar kubik meter dan minyak sebesar 226 juta barrel minyak, dan berpotensi mendatangkan pendapatan sebesar 50 milyar dolar AS (perhitungan sebelum pandemi).
Tapi sekali lagi, ini baru perhitungan di atas kertas, dan proyek di ladang Greater Sunrise pun belum akan dimulai dalam beberapa tahun ke depan. Di samping itu, Timor-Leste juga sudah mengeluarkan 650 juta dolar AS pada tahun 2018 untuk membeli 57 persen hak atas pengelolaan ladang Greater Sunrise, dan dana sebesar itu hingga kita belum menghasilkan apapun.
Tak akan mengejutkan jika di tahun-tahun mendatang, dalam waktu yang tak terlalu lama dari sekarang, Timor Leste akan bergantung pada pasar keuangan global untuk pengembalian investasi, karena dana kekayaan negaranya (SWF) dalam bentuk Petrolium Fund sebesar 19 milyar dolar AS.
Dan ini pun secara bertahap akan habis dalam waktu paling lambat 15 tahun. Sebagai perspektif, tahun 2020 lalu, 78 persen anggaran belanja Timor-Leste diambil dari Petrolium Fund tersebut, yakni sebesar 886 juta dolar AS.
Para pemimpin Timor-Leste tentu sangat memahami bahwa minyak dan gas adalah sumber daya yang tidak dapat diperbarui dan cepat atau lambat akan habis, sehingga saat ini perlu rencana-rencana strategis agar Timor-Leste dapat (segera) membangun sumber-sumber pendapatan yang berbeda (diversifikasi ekonomi) sebelum pendapatan dari minyak benar-benar habis.
Pelajaran berharga bisa diambil dari negara-negara Teluk penghasil minyak, yang di masa lalu, ekonominya sangat bergantung dari pendapatan dari sektor migas, dan kini mulai berhasil mendiversifikasi sumber-sumber ekonomi baru.
Pepatah bahwa ‘necessity is the mother of invention’ (kebutuhan adalah induk dari penemuan) tampaknya akan menjadi pepatah yang pas buat Timor Leste. Hal yang sama juga pernah dialami oleh negara-negara Timur Tengah yang kaya minyak, yang pernah begitu terdampak hebat oleh penurunan harga minyak.
Kebutuhan untuk terus menghidupkan ekonominya lah yang memnbuat negara-negara tersebut bekerja keras mengembangkan ekonomi yang tahan terhadap perubahan pasar energi.
Bahrain dan Oman berada dalam posisi paling genting, dengan cadangan diperkirakan akan habis dalam dekade berikutnya untuk Bahrain dan dalam 25 tahun untuk Oman. Dalam jangka menengah, pendapatan dari minyak diperkirakan akan menurun karena penurunan permintaan global mulai sekitar tahun 2040, jika tidak lebih cepat.
Hal ini akan didorong oleh permintaan yang lebih tinggi untuk energi terbarukan dan peningkatan efisiensi dan penyimpanan energi. Dalam jangka pendek, negara-negara GCC telah memanfaatkan aset keuangan senilai 2 triliun dolar AS yang terakumulasi selama beberapa dekade dan diinvestasikan dalam dana kekayaan negara (SWF) untuk generasi mendatang.
Sebelum pandemi, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan bahwa, kecuali negara-negara kaya minyak di teluk melakukan reformasi fiskal dan ekonomi yang substansial, mereka akan menghabiskan kekayaan mereka pada tahun 2034. Pandemi Covid-19 kemungkinan telah mempersingkat garis waktu tersebut.
Negara-negara telah telah menginvestasikan kekayaan mereka sebelumnya untuk meningkatkan kualitas hidup warganya, mengembangkan infrastruktur mereka, dan mempersiapkan masa depan tanpa minyak. Mereka telah mencatat kemajuan substansial menuju dua tujuan pertama.
Mereka telah membangun kota-kota modern dan infrastruktur untuk melayani mereka, memberikan dasar yang kuat untuk pembangunan ekonomi masa depan. Semua memiliki skor Indeks Pembangunan Manusia di atas 0,8, menempatkan mereka secara kolektif di depan semua negara Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) lainnya dan setara dengan beberapa negara Uni Eropa (UE).
Penurunan cadangan dan pendapatan dari migas telah lama memotivasi negara-negara Teluk untuk mendiversifikasi ekonomi mereka dengan mengembangkan sektor-sektor produktif di luar minyak dan gas. Mengurangi ketergantungan ini memiliki beberapa dimensi.
Pertama dan yang terpenting adalah bagaimana 'menggantikan' produksi minyak dan gas dengan produksi barang dan jasa yang tidak tergantung, langsung atau tidak langsung, pada sektor minyak dan gas. Hal ini juga berarti 'mengubah' pendapatan pemerintah yang berasal dari minyak dan gas dengan pendapatan dari sumber lain, seperti pajak konsumsi dan sektor non-minyak.
Dengan demikian, untuk berhasil, diversifikasi ekonomi memerlukan bahan utama lainnya, termasuk memoderasi pengeluaran pemerintah, meningkatkan ekspor nonmigas, dan meningkatkan investasi asing langsung (FDI).
Dubai adalah salah satu yang telah berhasil menjalani proses tersebut, dan telah memposisikan dirinya sebagai pusat keuangan, bisnis, dan logistik untuk kawasan Timur Tengah, sesuatu yang mungkin sulit dibayangkan l3 dekade lalu.
Pariwisata juga menjadi salah satu mesin penting dalam transformasi negara-negara kaya minyak itu, sementara Qatar mencoba memposisikan dirinya membangun keunggulan kompetitif sebagai pusat pariwisata budaya dan olahraga.
Diversifikasi ekonomi yang berhasil dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan memerlukan pembangunan sektor-sektor yang benar-benar independen dari minyak dan gas. Seiring waktu, ketika pendapatan minyak dan gas turun, sektor-sektor independen ini dapat berkembang seiring dengan bergesernya aktivitas ekonomi dari sektor-sektor yang didukung migas.
Kemampuan untuk menciptakan sektor-sektor mandiri bertumpu pada tiga pilar:
1. Memperkenalkan kerangka fiskal yang mengalokasikan pendapatan minyak dan gas ke dalam investasi jangka pendek atau investasi jangka panjang dengan distorsi ekonomi yang minimal,
2. Memungkinkan sektor swasta berorientasi ekspor yang tidak bergantung pada minyak dan gas untuk tumbuh dan berkembang, dan
3. Membangun tenaga kerja yang terampil dan termotivasi di luar sektor publik (kantor-kantor pemerintah).
Pada bulan Agustus 2020, pemerintah Timor-Leste merilis Laporan Rencana Pemulihan Ekonomi (Economic Recovery Plan/ERP), yang menguraikan langkah-langkah ekonomi jangka menengah hingga panjang.
Selain mengusulkan peningkatan sektor produktif untuk diversifikasi ekonomi, ERP menggarisbawahi pembangunan manusia sebagai pusat kebijakan ekonomi, dan oleh karena itu, merekomendasikan peningkatan pendidikan sebagai strategi inti jangka panjang untuk pembangunan ekonomi.
Rekomendasi ini lebih lanjut menunjukkan bahwa, meskipun perlu untuk memperbaiki kondisi sektor-sektor produktif, sumber daya manusia adalah katalis penting bagi suatu negara untuk mencapai upayanya untuk pembangunan berkelanjutan.
Dan setelah mengalami dampak ekonomi dari jatuhnya harga minyak, Timor-Leste sepenuhnya memahami tingkat ancaman yang dapat disebabkan oleh ketergantungan minyak.
Kerja keras menanti
Sumber-sumber:
Scheiner, Charles. "Timor‐Leste economic survey: The end of petroleum income." Asia & the Pacific Policy Studies (2021).
O'Neill, Aaron. “Timor-Leste - Trade Balance 2010-2020.” Statista, 17 Aug. 2021, https://www.statista.com/statistics/728889/trade-balance-of-timor-leste/.
Cardoso, Joao da Cruz. “Timor-Leste's Youth Leave or Get Left Behind.” The Interpreter, The Interpreter, 1 Oct. 2020, https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/timor-leste-s-youth-leave-or-get-left-behind.
Timor-Leste, N. S. D. "Timor-Leste Population and Housing Census–Data Sheet." Dili: Timor-Leste National Statistics Directorate (2015).
Grigg, Angus. “Less than 20 Years after Independence, Timor-Leste Is Running on Fumes.” Australian Financial Review, 30 Apr. 2021, https://www.afr.com/companies/energy/less-than-20-years-after-independence-timor-leste-is-running-on-fumes-20210429-p57nc7.
Joao da Cruz Cardoso for The Diplomat. “Can Timor-Leste Move Away from an Oil-Based Economy?” – The Diplomat, For The Diplomat, 6 Mar. 2019, https://thediplomat.com/2019/03/can-timor-leste-move-away-from-an-oil-based-economy/.
Kabbani, Nader, and Nejla Ben Mimoune. “Economic Diversification in the Gulf: Time to Redouble Efforts.” Brookings, Brookings, 31 Jan. 2021, https://www.brookings.edu/research/economic-diversification-in-the-gulf-time-to-redouble-efforts/.