TNI melakukan operasi besar-besaran untuk menumpas gerakan separatisme di Timor Timur pada dekade 1975-an. Berbagai pasukan elite, mulai dari Kopassandha (kini Kopassus) hingga Linud Kostrad, turut diterjukan ke medan pertempuran.
Salah satu perwira muda yang terlibat dalam kancah peperangan itu adalah Prabowo Subianto, kini menteri pertahanan. Pada 1978, saat berpangkat letnan satu, Prabowo menjadi komandan kompi pada operasi bersandi Nanggala 28 itu.
“Minggu-minggu pertama operasi saya berada di sektor timur yaitu di Daerah Ossu. Untuk beberapa minggu kami menjadi kompi pemukul, mengejar musuh di pegunungan sekitar Gunung Builo,” kata Prabowo dalam buku biografinya Kepemimpinan Militer.
Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto, dikutip pada Minggu (5/9/2021). Lulusan Akademi Militer 1974 itu menceritakan, pada awal Desember 1978 mereka dipindahkan ke daerah operasi di sektor tengah. Di tempat inilah Prabowo mengenal Letnan Kolonel Inf Adolf Sahala Radjagukguk yang saat itu menjadi komandan sektor.
Di sektor tengah itu, Prabowo dan pasukannya beberapa kali terlibat VC atau vuur contact (kontak senjata) dengan musuh. Dari daerah itu, dia lantas mendapat perintah untuk pindah ke Soibada.
Dalam Operasi Nanggala 28 itu, nama radio Prabowo yakni Kancil. Perintah pindah datang dari Sahala. “Kancil, besok Anda segera kembali ke Soibada. Di Soibada, Kancil akan dijemput helikopter,” kata Sahala, ditirukan Prabowo.
Di Soibada, Prabowo bertemu Sahala yang memiliki nama radio Gajah. Seperti sebelumnya, dia mendapat briefing alias arahan singkat dan beberapa titik koordinat yang harus ditujunya bersama pasukan demi memburu Presiden Fretilin, Nicalao Dos Reis Lobato.
Baru beberapa jam berjalan, pasukan Prabowo dihujani tembakan dari sebuah pos musuh. Kompi kecil berhasil membuat gerombolan Fretilin kabur menyelamatkan diri. Pasukan Prabowo berhasil menguasai bukit kecil. Di pos itu pula tercecer sebuah teropong pandang Angkatan Laut Amerika Serikat atau US Navy. Prabowo pun melaporkan melalui radio kepada Sahala Radjagukguk.
Mendengar laporan tersebut, Sahala memutuskan untuk bergerak ke tempat Prabowo. Menggunakan helikopter Bolkow Bo 105, Sahala tiba beberapa waktu kemudian. Namun saat hendak mendarat, heli diberondong tembakan dari musuh yang ternyata bersembunyi.
Ketika akhirnya berhasil mendarat, Sahala mengecek teropong itu. “Prabowo, ini kelompok Lobato. Teropong pandang ini dipegang selalu oleh pengawalnya, Sebastiano Sarmento, komandan Brigade Schoke,” ucap Sahala.
Dia pun memerintahkan Prabowo dan pasukannya untuk terus mengejar gerombolan itu. Sebelum pergi, tim itu meninggalkan satu kotak kaleng makanan T2 dan peta-peta baru.
“Kamu kejar terus, jangan lepas. Lobato berada di depan kamu. Mungkin 3-4 jam di depanmu,” katanya.
Atmadji Sumarkidjo dalam buku Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit menyebutkan, pada 30 Desember 1978 dini hari, Mayor Yunus Yosfiah memerintahkan pasukan Prabowo melakukan pengepungan dan penyergapan terhadap persembunyian Lobato.
Dalam waktu singkat terjadi dua pertempuran antara komponen Nanggala 28 dengan pengawal Lobato. Saat itu Lobato lolos dari penyergapan. Namun, gerak mereka telah diadang pasukan lain. Lobato akhirnya tewas tertembak. Tertembak matinya Lobato menjadikan moral Fretilin merosot.
Pangdam Udayana Brigjen Dading Kalbuadi selaku pemimpin seluruh operasi di Timor Timur memerintahkan agar terus melakukan pengejaran terhadap sisa-sisa pasukan Lobato. “Tanggal 2 Januari 1979, Menhankam/Pangab melapor kepada Presiden (Soeharto) di Jalan Cendana. Selain memberikan laporan lengkap mengenai tertembaknya Lobato, juga diperlihatkan senapan serbu jenis AR-15 yang selama ini dibawanya,” kata Atmadji.