Oleh
Luhut Binsar Panjaitan
Awal Desember, 42 tahun yang lalu, adalah momen di mana saya kehilangan teman-teman saya di sebuah operasi militer. Wajah-wajah mereka adalah pengingat bagi saya untuk terus mengabdi kepada Bangsa dan Negara.
Ijinkan saya sedikit berbagi kisah di Operasi “Seroja” 7 Desember 1975.
Lewat tengah malam WIB, atau dini hari 7 Desember 1975, sebanyak sepuluh pesawat C-130 B Hercules lepas landas dari Iswahyudi terbang ke arah tenggara hingga sampai di selatan Pulau Jawa, terbang lurus hingga melewati Bali bagian selatan.
Di atas Pulau Alor, konvoi pesawat-pesawat angkut berat itu menurunkan ketinggian terbang hingga jadi 7.000 feet saja. Bel pada ruang pesawat berdering pendek tiga kali dan lampu merah menyala di atas pintu sebagai tanda agar pasukan lintas udara berdiri.
Baik pasukan Baret Merah (Kopassandha atau sekarang disebut Kopassus) dan pasukan Baret Hijau (Kostrad) mengkaitkan ujung static line pada empat kabel baja yang memanjang dalam ruang pesawat dan memasang pen pengaman, tangan kiri memegang bibir kiri pintu pesawat dan tangan kanan siaga di parasut cadangan di dada... Pasukan siap terjun..!
Seingat saya, setelah penerbangan selama empat jam lebih, anak buah sudah mulai lelah, tegang dan juga banyak yang mengalami mabuk udara. Maklumlah, anak-anak Baret Merah sejak pagi sudah berada di Halim, dan praktis tidak bisa beristirahat cukup. Jadi begitu lampu merah menyala mereka langsung berdiri, dan buru-buru ingin terjun. Kejenuhan dan ketegangan hilang, lebih disebabkan kelelahan duduk di kabin pesawat Hercules. Yang penting bisa langsung bertempur!
Penulis/wartawan perang Hendro Soebroto (alm.) menulis dalam bukunya yang berjudul Operasi Udara Di Timor Timur (PSH, 2005, Jakarta) :
“...Sekitar pukul 05.45 WITA, tiga menit sebelum matahari terbit, lampu hijau di atas pintu pesawat menyala berbarengan dengan bunyi bel berdering panjang sebagai tanda dimulainya serbuan pasukan lintas udara. Mereka meloncat dari ketinggian antara 900 kaki hingga 1250 kaki...”
Ketika giliran saya untuk melompat tiba, saya tinggal menunggu aba-aba dari jump-master. Tetapi tiba-tiba terasa pesawat miring. Bunyi bel berdering panjang juga berhenti dan dua orang jump master di pintu kiri dan kanan Hercules menyilangkan kaki ke pintu, sementara load master buru-buru menutup pintu. Lho, ada apa? Saya bertanya-tanya.
Rupanya informasi intel yang tidak tepat sebelumnya tentang adanya senjata penangkis udara di lapangan terbang Dilli dan adanya tembakan gencar dari bawah yang mengenai pesawat Hercules yang kami naiki mempengaruhi pilot untuk segera menyingkir dari wilayah di atas lapangan terbang. Yang paling aman tentulah terbang ke arah laut.
Menghentikan penerjunan menyebabkan 78 orang anggota Kopassandha tidak bisa terjun, dan semua “terpaksa” terbawa ke Kupang. Ketika mendarat di pangkalan udara Penfui, saya baru tahu ada sejumlah peluru tembakan dari bawah yang menyebabkan kerusakan kecil di sejumlah C-130B. Bahkan seorang load master di Hercules yang lain tewas terkena peluru yang ditembakkan dari bawah. Kasus seperti itu memang jarang sekali terjadi.
Perasaan saya sendiri campur-aduk. Antara kesal, marah, khawatir semua bercampur baur di dalam kabin pesawat C-130B tersebut. Sejumlah anak buah saya telah terjun dan mungkin sudah terlibat tembak-menembak, dan mungkin juga telah menjadi korban. Sementara saya tak berdaya serta malahan tidak mampu memimpin mereka merebut sasaran yang ditentukan. Untung saja “orang kedua” yang mengambilalih pimpinan yaitu Letda Inf. Sunarto mampu dengan cepat mengumpulkan pasukannya. Tetapi itu baru saya ketahui kemudian, setelah situasi di di Dilli dilaporkan kepada pimpinan. Pengalaman tak terlupakan itu dibukukan dalam buku berjudul Hari “H” : 7 Desember 1975 (Kata Hasta Pustaka, 2015) yang dihimpun oleh penulis Atmadji Sumarkidjo.
Setelah mendarat di Kupang, saya baru tahu. yang batal terjun tidak hanya saya, karena ada juga Perwira Operasi Grup-1, Mayor Inf. Theo Sjafei (sekarang juga almarhum). Buru-buru kami berdua berusaha mendapat “jatah” terjun pada sortie kedua yang menurut rencana akan menerjunkan pasukan Yonif Linud 502. Permintaan saya tidak dipenuhi karena susunan stick pasukan Baret Hijau sudah sulit untuk diubah lagi dan jumlah pesawat C-130 B Hercules yang tersedia tidak ada lagi. Betul-betul tidak enak suasana pada 7 Desember 1975 itu.
Pak Theo dan saya baru terjun di Baucau tiga hari kemudian. Jadi, selama dua hari menanti dengan sia-sia di Kupang, saya selalu berusaha memantau situasi, sampai yakin bahwa mereka mampu mengendalikan situasi.
Setiap 7 Desember saya selalu teringat pada peristiwa 42 tahun lalu tersebut. Pada peringatan 40 Tahun penerjunan di Timtim (7 Desember 2015), kami, sisa-sisa pasukan Baret Merah yang terjun pada awal Operasi “Seroja” (dan Syukur Alhamdulillah masih hidup) membuat perayaan sederhana di kompleks Cijantung, di gedung di mana dulu kami menyiapkan payung udara yang akan digunakan untuk terjun.
Saya yang waktu menjabat sebagai Menko Polhukam diminta memberikan pidato. Begitu saya berdiri di atas podium dan menatap para hadirin, tiba-tiba rasa haru menghinggapi saya. Kerongkongan terasa kaku dan dengan susah payah saya menahan agar tidak keluar air mata saya.
Tiba-tiba saya teringat wajah-wajah anak buah saya yang gugur pada waktu itu. Hanya beberapa jam sebelumnya saya memberi semangat kepada mereka dan berbicara dengan mereka, dan tahu-tahu besoknya mereka sudah tidak bernyawa lagi. Sebanyak 8 orang anak buah saya langsung gugur sebagai syuhada. Belum lagi anggota Kopassandha dari kelompok lain.
Dari podium saya melihat wajah-wajah para veteran Timor Timur yang kebetulan masih hidup. Mereka menggunakan Baret Merah kebanggaan, banyak yang sudah tua, bungkuk dan berambut putih, tetapi wajah mereka masih bersemangat seolah mereka masih muda seperti 42 tahun sebelumnya.
Selama 5 menit saya terdiam di atas podium sebelum saya bicara. Hadirin juga terdiam, dan saya yakin mereka dihinggapi oleh rasa haru yang serupa.
Kemudian saya katakan, gugurnya teman-teman di Timor Timur itulah yang selalu menjadi peringatan bagi saya untuk terus mengabdi kepada Bangsa dan Negara. Teman-teman yang gugur di Timtim itu juga selalu menjadi pengingat hati nurani saya untuk tidak berbuat korupsi atau mencuri uang negara sebagai warganegara yang berusaha dengan jujur dan terhormat. Saya tidak akan pernah menodai pengorbanan mereka!.
Jadi ketika beberapa waktu lalu ada seseorang menulis di media sosial yang mengatakan bahwa para prajurit Korps Baret Merah terkencing-kencing karena takut sebelum terjun di Timtim, saya adalah orang pertama yang tersinggung. Penulis tersebut memanipulasi fakta dan memfitnah dengan keji para prajurit yang bertempur dan siap mempertaruhkan nyawa mereka tanpa pamrih. Si penulis itu pasti berusia lebih muda dan tidak pernah mengalami bagaimana rasanya saat-saat nyawa berada di ujungnya. Dan siapapun dari 250 orang anggota Kopassandha yang terjun pada dini hari 7 Desember 1975 itu tidak bisa menjamin bahwa dirinya bisa pulang selamat ke keluarganya di Jakarta.
Tambahan catatan kecil, saya sendiri meninggalkan asrama di Cijantung untuk terjun di Timtim hanya sehari sebelum anak saya yaitu Uli merayakan ulang tahunnya ke 3. Waktu itu ia terlalu kecil untuk mengetahui mengapa ayahnya tidak berada disampingnya ketika ia akan berulang tahun.