Kamis, 12 September 2019 15:55 WIB
Pada tanggal 27 Januari 1999 dalam sidang kabinet Pemerintahan Republik Indonesia, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie (selanjutnya disebut BJ Habibie) mengacungkan sepucuk surat di depan para menterinya.
Surat yang Habibie tunjukkan ke depan menterinya itu membuat ia tersinggung.
Surat tersebut datang dari Perdana Menteri Australia, John Howard.
"Saya marah membaca surat dia," ujar Habibie dalam wawancara dengan ABC News pada November 2008.
Kilas balik yang dilansir oleh ABC pada Desember 1998, PM Howard mengirimkan surat BJ Habibie mengenai Timor Timur (Timtim).
Howard menyarankan agar Indonesia mengikuti cara Perancis dalam menangani bekas koloninya di Kaledonia Baru.
"Dalam suratnya itu, dia menyarankan agar saya menyelesaikan Timtim seperti Perancis menyelesaikan koloninya di Pasifik. Dia sarankan seperti itu," kata Habibie, yang diwawancarai ABC untuk program The Howard Years.
"Artinya, kita harus mempersiapkan waktu untuk 10 tahun atau apalah dan setelah itu memberi mereka kemerdekaan," terangnya.
"Jadi begitu saya baca itu surat, saya tersinggung," aku Habibie.
Pada awalnya, BJ Habibie ingin menyelesaikan persoalan Timtim yang telah lama menjadi ganjalan bagi Indonesia di mata dunia internasional.
Sebulan setelah dilantik menggantikan Suharto, Presiden Habibie mengumumkan pernyataan pada Juni 1998 bahwa Indonesia siap memberikan status otonomi khusus kepada Timtim.
Dalam sidang kabinet yang menentukan itu, Pak Habibie menegaskan Indonesia akan langsung memberikan pilihan antara otonomi khusus dan kemerdekaan bagi Timtim.
Di lain hal, tokoh Timor Leste Fretilin Xanana Gusmao, Uskup Katolik Timtim Carlos Belo dan perwakilan Fretilin di PBB Jose Ramos Horta saat itu berpandangan bahwa perlu periode lima hingga 10 tahun otonomi khusus agar Timtim bisa merdeka.
Kendati tersinggung terhadap surat PM Howard, dalam penuturannya kepada ABC, BJ Habibie mengaku bahwa surat PM Howard itulah yang mendorong dia mempercepat keputusan menggelar referendum pada awal Agustus 1999.
Bertahun-tahun setelah referendum, PM Howard selalu menyatakan 'pembebasan' Timor Leste adalah salah satu pencapaian paling membanggakan dirinya sebagai perdana menteri.
Berbeda pandangan dari PM Howard, mantan Dubes Australia untuk RI, Richard Woolcott menilai tindakan John Howard menyurati BJ Habibie itu 'kurang bijaksana'.
Alasan yang Woolcott kemukakan adalah mengingat posisi Habibie sebagai 'presiden transisional' dan juga mengingat 'temperamennya'.
Dubes Woolcott juga mengomentari bahwa surat Howard itu justru 'mendapatkan reaksi seperti yang telah terjadi', yaitu ketersinggungan Habibie.
Reaksi PM Howard atas Kebijakan Referendum Habibie
Sementara itu, PM Howard mengaku dirinya kaget dan tak pernah menyangka bahwa Habibie akan 'bergerak sangat cepat'.
"Arah yang dia tempuh sudah sejalan dengan arah yang dikehendaki oleh isi surat itu," kata Howard.
"Hanya saja dia bergerak lebih jauh lagi. Dia melaju 20 mil bukan lima mil," kata Howard mengenai langkah Habibie menawarkan referendum.
Dituturkan kepada ABC, Habibie menyatakan adalah suatu penghinaan ketika PM Howard menyarankan untuk menurunkan pasukan penjaga perdamaian ke Timtim sebelum referendum.
Klaim Amerika atas Perannya dalam Kemerdekaan Timtim
Kilas balik peristiwa lepasnya Provinsi RI ke-27 itu telah diketahui luas.
Namun demikian, anggapan bahwa Australia berperan besar dalam kemerdekaan Timtim mulai terbantahkan pada akhir Agustus 2019.
Sebuah dokumen intelijen Amerika Serikat yang baru saja dilakukan deklasifikasi mengungkap bahwa justru pihak Amerika Serikat yang menekan Jenderal Wiranto untuk menghentikan kekerasan pasca referendum dan memungkinkan masuknya pasukan penjaga perdamaian Interfet (International Force for East Timor) atau pasukan perdamaian internasional untuk Timor Timur.
Dokumen yang diunggah oleh ABC ini mengklaim bahwa AS, bukan Australia yang memaksa Indonesia menerima Interfet setelah 78,5 persen rakyat di sana memilih opsi merdeka.
Dokumen tersebut juga mengindikasikan bahwa Australia sama sekali tidak mendukung atau merencanakan misi penjaga perdamaian sampai menit-menit terakhir.
Kendati demikian, bertahun-tahun setelah referendum, PM Howard selalu menyatakan 'pembebasan' Timor Leste adalah salah satu pencapaian paling membanggakan dirinya sebagai perdana menteri.
Profesor Clinton Fernandes dari University of NSW pada tahun 1999 yang bekerja sebagai analis intelijen untuk Timor Timur di Australian Theatre Joint Intelligence Centre (ASTJIC) Sydney berkomentar terkait sikap Australia.
Menurut Clinton Fernandes, sikap Australia saat itu dapat diartikan sebagai 'memberikan perlindungan diplomatik untuk kegiatan militer Indonesia'.
"Howard dan (Menlu Alexander) Downer berusaha keras untuk melindungi TNI," kata Prof. Clinton Fernandes.
"Kabel diplomatik AS ini mengkonfirmasi bahwa kebijakan Pemerintahan Howard adalah menjaga Timtim tetap jadi bagian Indonesia dan pada akhirnya terpaksa mengubah sikap," katanya.
Kabel diplomatik tertanggal 9 September 1999 dari Kedutaan AS di Canberra menceritakan pertemuan pribadi selama 40 menit antara Laksamana Dennis Blair, saat itu Komandan Pasukan Amerika di Pasifik dengan Jenderal Wiranto.
Catatan dua lembar dari Laksamana Blair menunjukkan tekanan kepada Jenderal Wiranto untuk 'menarik diri dari ambang bencana'.
"Meskipun ada jaminan bahwa TNI dapat menjaga keamanan di Timor Timur, meski TNI mengirim sejumlah besar pasukan baru ke sana dan mengambil langkah luar biasa dengan memberlakukan darurat militer, Timor Timur berada dalam anarki," tulis Laksamana Blair.
Beberapa hari setelah Laksamana Blair menemui Jenderal Wiranto, Indonesia mengizinkan pasukan Interfet masuk ke Timtim.
Dalam pertemuan Presiden Habibie dan PM Howard di Nusa Dua, Bali pada 27 April 1999, Habibie menjawab pertanyaan wartawan ABC.
"Satu-satunya keprihatinan terbesar saya adalah untuk rakyat Timtim yang tidak berdosa", ungkap Habibie.