Juliana dos Santos, yang menyebut dirinya sebagai "rampasan perang, akhirnya memutuskan sudah waktunya untuk melarikan diri dari pria yang menurutnya telah memperbudaknya selama lebih dua dekade.
Tak lama setelah Referendum Timor Timur (kini Tomor Leste) pada tahun 1999, Juliana yang berusia 15 tahun mengaku diculik oleh milisi pro-Indonesia dan dibawa ke Timor Barat yang menjadi bagian wilayah Republik Indonesia.
Juliana menyebut dirinya diperkosa dan dipaksa penculiknya yang diduga bernama Egidio Manek. Dia melahirkan anaknya setahun kemudian, saat masih berusia 16 tahun. "Dia juga memiliki istri-istri lain. Istrinya yang kelima tinggal bersama kami," kata Juliana kepada ABC News. "Saya diperlakukan seperti budak, dipaksa untuk melayani dia dan istrinya. Semua pekerjaan rumah tangga, termasuk merawat ladang, dibebankan ke saya," ujarnya.
Juliana menyebut penculiknya kasar. "Kadang-kadang dia memukuliku sampai mata saya hitam dan bengkak. Saya hanya diam dan terus bersabar karena anak-anak masih kecil," para Juliana. Namun pada Januari tahun 2022 ini, Juliana merasa sudah tidak tahan lagi.Dengan dorongan anak-anaknya, dia berani melarikan diri ke perbatasan. Tapi dia menyebut penculiknya tidak mau membiarkannya pergi tanpa perlawanan.
Penculiknya menunggu di pintu gereja
Juliana dos Santos dan keluarganya masih hidup dengan trauma pada kejadian di hari dia menghilang. Saat itu baru seminggu setelah rakyat Timor Timur memberikan suara mayoritas dalam referendum yang memilih untuk berpisah dari Republik Indonesia setelah 24 tahun menjadi Provinsi ke-27.
Berbulan-bulan menjelang pemungutan suara, laskar milisi bersenjata melancarkan kampanye teror di seluruh Timor Timur, diduga membunuh dan menyiksa warga yang mendukung kemerdekaan, membakar rumah dan ternak mereka, dan mendeportasi warga dengan truk ke Timor Barat.
Juliana dan keluarganya termasuk di antara ratusan orang yang melarikan diri ke Gereja Katolik di Suai di pantai selatan Timor Timur, ketika milisi yang diduga didukung oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) berkeliling dengan senjata, pedang, dan parang. Saudaranya yang masih berusia 13 tahun, Carlos, dibunuh bersama sekitar 200 orang lainnya pada hari itu. Salah satu pemimpin milisi yang memerintahkan pembunuhan di Suai, Egidio Manek, menangkap Juliana yang saat itu berusia 15 tahun dan memaksanya naik ke mobil.
"Ketika kami mencoba melarikan diri, Egidio sudah menunggu di pintu gereja," katanya. "Dia merenggut tanganku dan mengatakan saya harus menikah dengannya. Saya tak mengenalnya. Dia memaksaku naik ke kendaraan yang dijaga ketat oleh anak buahnya," tutur Juliana. "Saya menangis histeris saat orang tuaku keluar dari gereja, saya tak bisa memeluk mereka karena saya terkunci di dalam mobil," katanya.
Dibujuk anak-anaknya melarikan diri
Juliana mengaku berada dalam "kepemilikan" Egidio Manek, wakil komandan milisi Laksaur saat itu, yang diduga melakukan pembantaian di Suai. Panel Khusus Kejahatan Serius yang dikelola PBB belakangan mendakwa Egidio dan 13 orang lainnya dengan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Panel itu menuduh Egidio Manek melakukan pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan paksa, deportasi dan tindakan tidak manusiawi, kebanyakan berkaitan dengan peristiwa pembantaian di Suai. Jumlah kematian yang sebenarnya masih belum jelas sampai sekarang. Pasalnya, seperti Juliana, ratusan korban hidup dan mati telah dibawa ke Timor Barat. Sejumlah kerangka kemudian ditemukan dari kuburan massal.
Panel PBB juga menuduh Egidio Manek telah menculik Juliana dos Santos. Namun persidangan kasus ini tidak pernah berlanjut, karena dia dan banyak anggota milisi lainnya telah menghilang ke Indonesia. Juliana dos Santos menjelaskan dirinya dibawa ke Betun di Timor Barat dan hidup bersama penculiknya yang menyebut dirinya sebagai suami. Juliana mengaku pernah diizinkan untuk kembali ke Suai beberapa kali ketika ada kematian anggota keluarganya di sana. Namun dia tidak diizinkan membawa anak-anaknya, yang menurutnya merupakan cara memaksanya kembali ke Betun.
Dia mengaku diancam akan dipukuli jika terlambat kembali ke Betun. Juliana mengatakan bahwa anak-anaknya yang akhirnya membujuknya untuk melarikan diri setelah ayah mereka mengancam akan menikam ibu mereka. "Mereka bilang, kami akan menyusul kalau sudah besar nanti," katanya. "Saya selalu berhubungan dengan mereka. Saya berjanji saya akan mengirimkan uang untuk membuat paspor. Mereka ingin datang," ujar Juliana.
Pelarian penuh bahaya
Kisah pelarian Juliana tidak berlangsung lancar. Malah, penuh dengan bahaya. Saat mendekati perbatasan Timor Leste di waktu malam, dia mengatakan keponakan Egidio Manek dan sejumlah aparat Indonesia memburunya dengan obor. Dia terpaksa melompat ke dalam sungai yang dipenuhi buaya di sepanjang perbatasan Timor Leste.
"Airnya setinggi leher saya.Saya tahu ada tentara Indonesia yang mengejar, jadi saya berenang, berpegangan pada akar pohon untuk bertahan," tuturnya. Juliana mengaku terpaksa menghabiskan lima jam di dalam air sebelum akhirnya mencapai hutan bambu di sisi Timor Leste. "Sepanjang malam ayah saya terus-menerus menelepon," katanya. "Untungnya saya bisa menjaga ponsel dari air dan masih berfungsi. Saya pasang mode senyap agar tidak terdengar oleh tentara Indonesia," katanya. Juliana akhirnya menjadi perempuan yang bebas.
Masih banyak Juliana lain
Kasus Juliana dos Santos paling dipublikasikan di antara ratusan perempuan dan gadis Timor Leste yang diperkosa, diculik, atau menjadi sasaran perbudakan seksual selama peristiwa Referendum Timtim. Beberapa perempuan yang juga dibawa ke Timor Barat sejak itu berhasil kembali ke rumah, banyak di antaranya melahirkan anak dari pemerkosaan. Diperkirakan masih banyak perempuan yang terjebak di Indonesia, mungkin masih di bawah kendali penculik mereka.
Sebuah laporan PBB pada tahun 2001 mengatakan setelah pembantaian Suai, 20 wanita dibawa ke Timor Barat. "Kami dapat menduga masih banyak Juliana lain yang menderita dalam diam atau yang tewas," kata juru kampanye hak-hak perempuan Kirsty Sword-Gusmao, mantan istri Xanana Gusmao. "Tetapi angkanya tidak tersedia bagi kami.Faktor rasa malu dan normalisasi kekerasan oleh laki-laki terhadap perempuan dalam masyarakat Timor Leste, khususnya pada saat konflik, menghambat kita untuk mendapatkan gambaran yang benar dan akurat," ujarnya.
Kirsty membawa kasus Juliana dos Santos ke Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 2001 dan terus melobi untuk membebaskannya. Ketika dia mendirikan Alola Foundation di Dili untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan seksual terhadap perempuan, Kirsty menggunakan nama kesayangan Juliana, yaitu Alola.
Berbagai penyelidikan menemukan bahwa aparat keamanan Indonesia dan kelompok-kelompok milisi yang mereka kendalikan melakukan kekerasan seksual yang meluas dan sistematis di Timor Leste. Keterlibatan aparat keamanan tersebut menjelaskan mengapa para pemimpin milisi seperti Egidio Manek mampu menghindari tuntutan hukum begitu lama.
Kirsty Sword-Gusmao menuduh Pemerintah Indonesia telah menolak untuk menyerahkan lebih dari 300 warga Timor Leste, termasuk mantan anggota milisi yang didakwa melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Salah satunya, Egidio Manek. "Bukannya bekerja sama dengan PBB, dan untuk menghindari tuntutan pengadilan kejahatan perang internasional, Indonesia mendirikan pengadilan ad hoc sendiri," katanya. "Hanya satu orang yang dipenjara sebagai akibat dari proses ini," ujar mantan istri Xanana Gusmao ini.
Egidio Manek membantah menculik Juliana
ABC News meminta konfirmasi kepada pihak TNI maupun Pemerintah Indonesia namun tidak ada yang bersedia menjawab mengapa belum menyerahkan orang Indonesia yang dituduh melakukan kekerasan tahun 1999. Egidio Manek sendiri yang ditemui ABC News menyangkal semua tuduhan terhadapnya. "Apa yang terjadi pada 1999 bukan urusan saya. Ini urusan negara," katanya. "Tuduhan kekerasan itu tidak benar. Jika kekerasan itu benar-benar terjadi di Indonesia, saya pasti sudah diadili sekarang. Saya pasti sudah dipenjara," ujar Egidio.
Meskipun tidak menyangkal bahwa dia adalah anggota milisi Laksaur, Egidio mengaku Juliana telah memilih untuk tinggal bersamanya dan anak-anak mereka di Timor Barat. "Kalau dia mau kembali ke Timor Leste bisa saja. Tapi dia bilang akan tinggal di sini karena suaminya ada di sini," ujar Egidio. "Tidak ada kekerasan. Kami bekerja sama dengan baik sebagai pasangan. Kami membangun rumah bersama, merawat kebun dan sawah kami," tambahnya.
Bagaimana Juliana sekarang?
Juliana berencana untuk tinggal di Timor Leste, berharap dapat membangun rumah dan menjalankan usaha kecil untuk membantu menghidupi orang tuanya. Setelah dua dekade kehidupannya dicuri, dia ingin penculiknya diadili.
"Dia pantas dihukum atas penderitaan yang dia timbulkan kepada saya," katanya. "Tapi anak-anak meminta saya untuk melupakan diadan tidak memikirkan dia sama sekali," kata Juliana. Banyak perempuan Timor Leste yang melahirkan anak dari pemerkosaan mengalami diskriminasi dari keluarga atau masyarakat di Timor Leste. Bahkan dari lingkungan Gereja Katolik.
Tapi orang tua Juliana justru melihatnya sebagai pahlawan. "Bahkan pria paling berani pun tidak bisa melakukan apa yang dia lakukan. Dia dibantu oleh arwah nenek moyang kami," kata Maria Martins, ibu Juliana. "Tahun-tahun penderitaan Alola kini telah berakhir.Saya marah dengan apa yang dia lakukan pada putri saya ini, tapi saya senang karena dia akhirnya pulang," tutur Maria.