Tahun 1998, paska Reformasi, Timor Leste memproklamasikan kemerdekaannya melalu referendum. Ribuan warga Bali yang mulanya bertransmigrasi ke Timtim, kocar-kacir, hancur lebur dan terusir dari negeri Timor Leste tersebut. Kerusuhan merebak, ribuan warga Bali itu harus meninggalkan rumah dengan pemerajannya, serta aset yang telah mereka bangun: toko, restoran, bisnis angkutan, dan lain-lain. Mereka terpaksa pulang ke Bali.
Sempat mengungsi di kantor DPRD Bali, Wayan Sudirta dkk memperjuangkan sekitar 2000 jiwa itu agar diberikan tempat tinggal oleh Pemda Bali. Ditunjuklah tanah ‘’terlantar’’ di Desa Sumberkelampok, Kab. Buleleng. Setelah mendatangi Menteri Transmigrasi dan Kependudukan di Jakarta, yang memberi ‘’lampu hijau’’ untuk memberikan para pengungsi Timtim itu tanah tempat tinggal, Sudirta dkk mendampingi para pengungi ke Bupati dan DPRD Buleleng.
Prosesnya memang a lot, karena ada pihak yang cemburu, mengapa pengungsi Timtim eks Transmigran Bali itu diberi tanah di Bali? Mereka ingin para pengungsi ‘’ditransmigrasikan’’ kembali ke Sumatera atau tempat lainnya di Indonesia. Namun, para pengungsi menolak karena sangat trauma terhadap kerusuhan di Timor Leste.
Singkat cerita, Bupati Buleleng, Drs. Ketut Wirata Sindu, disetujui DPRD BUleleng yang dipimpin Ketuanya, Komang Sudarmaja Duniaji, merekomendasikan lahan tempat tinnggal, masing-masing 3 are untuk para pengungsi, dan sekitar 60 are lahan pertanian untuk digarap, untuk tiap Kepala Keluarga.
Setelah disetujui, para pengungsi gotong royong merabas semak-semak yang kering di Sumberkelampok, didampingi Tim Pembela yang dipimpin langsung Wayan Sudirta, SH, Putu Wirata Dwikora, Wayan Ariawan, SH, Nyoman Mudiasa, Wayan Purnamek, Gede Rusta Pandit, dan lain-lain. Setelah terkavling, bantuan pun datang dari Bupati Karangasem, Gde Sumantara, dan Bupati Buleleng, Drs. Ketut Wirata Sindu, untuk membangun rumah batako, tempat berteduh para pengungsi.
Kini, kalau kita melintas di Dusun Lorosae, begitulah dunsunnya mereka sebut, perkampungan pengungsi Timtim eks Transmigran Bali itu sudah menjadi bangunan asri, beberapa diantaranya membuka toko, bengkel sepeda, selain kebun jagung, cabai, ketimun, semangka, ataupun lainnya, bila musimnya tiba.
‘’Kami sangat berterimakasih kepada Pak Wayan Sudirta dkk, yang tanpa pamrih apapun memperjuangkan kami. Beaya-beaya operasional, semuanya atas sumbangan Pak Sudirta dkk,’’ ujar Made Urip Wihardi, yang beberapa kali menjabat Kepala Lingkungan Lorosae, Desa Sumberkelampok.