Agustus 1976.
Distrik Ainaro, sekitar 80 km di selatan Dili, ibu kota Timor Timur, terlihat tenang. Malam itu hanya ada beberapa serdadu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang tengah berjaga, termasuk Romidi, pria kelahiran Magelang, Jawa Tengah, yang tergabung dalam satuan tempur Kopassanda—kelak berganti nama menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Romidi tak mampu menyembunyikan wajah lelahnya lantaran sudah tiga malam waktu tidurnya berantakan. Ia ingin memejamkan mata barang sebentar. Namun, tugas jaga malam itu membikinnya tak bisa beristirahat lebih cepat. Semua berjalan seperti biasa sampai datang kabar dari intelijen yang menyatakan bahwa kelompok Fretilin akan melakukan serangan.
Kantuk lenyap seketika dari kantung matanya. Serangan benar-benar terjadi tak sampai sehari kabar itu diketahui para serdadu. Belasan anggota Fretilin, lengkap dengan persenjataan laras panjang, mulai melancarkan tembakan ke arah pos jaga. Situasi seketika berubah mencekam. Keheningan malam berganti suara peluru yang saling bersahutan. Cemas bercampur takut menyelimuti sekujur tubuh Romidi walaupun pengalamannya dalam berperang telah lebih dari cukup. Ia berusaha berhati-hati menata gerak dan mengintai posisi musuh, sebelum memutuskan memukul balik lewat berondongan peluru. Ada tiga kemungkinan yang diyakini para serdadu ABRI ketika mereka diterjunkan dalam medan peperangan: selamat, meninggal dunia, atau pulang dengan luka yang berujung cacat fisik. Jika boleh memilih, opsi yang pertama sudah pasti akan diambil. Namun perang bukanlah sesuatu yang mudah ditebak, dan ini menimpa Romidi. Terjangan timah panas menembus kaki kanannya saat ia hendak berpindah tempat yang lebih strategis untuk menembak. Ia seketika tersungkur, berlumur kepanikan, dan di dalam pikirannya hanya tebersit soal kematian. Dua kolega lalu membawa Romidi ke tempat yang lebih aman seraya menggulung lukanya dengan perban agar kucuran darah tak lagi banyak keluar. Napas Romidi tersengal-sengal. Peluh keringat menetes deras dari tubuhnya sebab menahan rasa sakit yang teramat. Ini bukan sesuatu yang ia bayangkan kendati paham betul risiko akan peperangan ketika pertama kali menerima penugasan untuk terbang ke Bumi Lorosae pada 1976 di bawah Operasi Seroja.
Perang di Timor Timur menjadi salah satu mobilisasi besar-besaran yang pernah dilakukan militer Indonesia. Ia melibatkan banyak satuan dan puluhan ribu serdadu yang diperintahkan hal senada: mencegah Timor Timur merdeka. Titik mulanya adalah Revolusi Anyelir yang melanda banyak wilayah koloni Portugis pada 1974, tak terkecuali Timor Timur. Politik di kawasan ini, dulu bernama Timor Portugis, terbelah dalam tiga faksi. Partai União Democrática Timorense (UDT) ingin Timor Portugis tetap menjadi koloni Portugis, lalu Associacao Popular Democratica de Timor (Apodeti) ingin Timor Timur bergabung dengan Indonesia. Sedangkan Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente (Fretilin) menghendaki Timor Portugis menjadi negara merdeka. Situasi itu memantik respons serius dari Indonesia.
Berbagai pendekatan diambil, dari yang sifatnya lunak seperti negosiasi dan penguasaan pengaruh, hingga yang brutal sekalipun, terlebih saat Fretilin, kelompok politik berhaluan Marxis-Leninis, mendeklarasikan kemerdekaan Timor Timur pada akhir 1975. Langkah ini dilakukan secara konsisten dalam rentang waktu lebih dari dua dekade, serta terstruktur di bawah satu rantai komando yang kokoh. Medan pertarungan di Bumi Lorosae kompleks. Ia tak sekadar jadi ajang perlombaan angkatan perang mana yang paling tangguh, tapi juga jadi situs pembuktian para elite militer Indonesia macam Benny Moerdani, Ali Moertopo, hingga Maraden Panggabean tentang siapa yang lebih hebat dalam meracik strategi atas nama 'NKRI harga mati', di samping pula jadi tempat berlatih perwira-perwira muda seperti Prabowo Subianto. Romidi cukup sebentar saja merasakan rumitnya perang di Timor Timur. Usai tertembak, Romidi mesti menjalani perawatan intensif beberapa bulan. Ini sekaligus menutup rapat-rapat peluangnya untuk kembali bertugas di lapangan. Memasuki akhir 1970-an, Romidi dipindahkan ke Departemen Pertahanan sebagai staf administrasi, hingga masa pensiun tiba pada awal 1990. “[Rasanya] sangat menyakitkan. Saya sempat menyerah setelah kena tembak,” tutur lelaki yang sekarang berusia hampir kepala tujuh ini kala ditemui di kediamannya di Wisma Seroja, Bekasi, Jawa Barat. “Tapi, saya sadar bahwa kondisi saya, mungkin, tidak ada apa-apanya dibanding [tentara] yang lain. Ada yang lebih mengenaskan. Itu yang membuat saya bangkit pelan-pelan.” Trauma tak serta merta lenyap. Dalam beberapa kesempatan, pengalaman pahit itu singgah di kepalanya dan menimbulkan kecemasan yang tak mampu dibendung. Dan bagi para serdadu Seroja, luka akibat perang belum sepenuhnya pulih, bahkan ketika status mereka sudah menjadi seorang veteran.
***
Ingatan Romidi tergolong tajam. Satu per satu kejadian yang berjarak puluhan tahun ke belakang seperti keputusannya untuk menjadi tentara, ia ceritakan dengan rinci dan bercampur antusiasme yang melimpah ruah. “Keluarga saya pernah jadi korban penyiksaan Belanda. Satu hari, mereka datang ke rumah, mengubrak-abrik barang, membuang nasi, dan memukuli orang tua saya,” kenangnya, getir. “Setelah itu saya pokoknya berniat jadi tentara. Dua hal ingin saya wujudkan: membalas dendam dan membela negara.” Rencana itu ia jalankan di usia 17, dengan bekal ijazah sekolah yang seadanya. Tahapan tes fisik yang cukup banyak mesti dilewati dan beruntung Romidi lolos. “Dulu [tes masuk tentara] cukup ketat. Kalau enggak lolos, ya, enggak bisa masuk. Enggak ada yang bayar di belakang kayak sekarang.” Romidi pun ditempatkan di Batalion Infanteri Diponegoro, bagian dari Komando Daerah Militer IV yang populer dengan nama 'Raider'. Di tempat inilah perlahan jam terbangnya terkumpul, dengan berpartisipasi dalam beragam operasi lapangan yang dilakukan ABRI sepanjang dekade 1960 hingga 1970.
Romidi pernah ikut Operasi Trikora pada 1962, yang digaungkan Sukarno guna merebut Irian Barat—Papua—dari tangan Belanda. Operasi ini menjadi pintu masuk Indonesia untuk mencengkeram Papua berpuluh-puluh tahun mendatang. Dua tahun setelahnya, ia tergabung dalam Dwikora, lagi-lagi dicetuskan Sukarno dan dipimpin Ali Moertopo, yang difungsikan melenyapkan pengaruh neokolonialisme dan neoimperialisme yang menjangkiti negara tetangga, Malaysia, yang saat itu masih di bawah persemakmuran Inggris Raya. Setelah Dwikora, Romidi kembali ditugaskan ke lapangan, kali ini Kalimantan, demi menghajar Pasukan Gerilya Rakyat Serawak/Pasukan Kalimantan Utara (PGRS/Paraku) yang dianggap pemerintah “mengganggu keamanan negara” serta berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang pada medio 1965-1967 sudah lebih dulu dihabisi oleh Orde Baru. Tujuh bulan di Kalimantan, operasi yang dilakukan tim Romidi berujung pada tewasnya pimpinan GPRS, Sayid Ahmad Sofyan Baraqbah. Memasuki 1970-an, Romidi tetap diandalkan dalam kerja-kerja lapangan, termasuk urusan intelijen, sampai akhirnya surat perintah itu datang di hadapannya: berangkat ke Timor Timur dalam Operasi Seroja. “Yang berangkat waktu itu, kalau tidak salah, lima unit. Satu unit berisi 30 sampai 40 pasukan. Unit saya dipimpin [Letjen] Yunus Yosfiah, yang kemudian jadi Menteri Penerangan,” ujarnya. “Tugas kami adalah menggempur kota dan merebut wilayah yang dikuasai Fretilin. Susah. Karena mereka paham wilayah.” Romidi bercerita timnya selalu bergerak pada malam hari. Perjalanannya dipastikan tak mudah lantaran sekali terjun ia mesti membawa tas ransel seberat 40 kg berisikan peluru, senapan AK-47, rudal, sampai ransum. Ini belum soal medan yang harus dilewati, keluar-masuk bukit dan pegunungan. Untuk memudahkan pemetaan wilayah, tim biasanya dibantu partisan dari warga setempat sebagai pemandu.
Pertarungan dengan Fretilin acap kali berlangsung sengit dan melelahkan. Pernah satu waktu serangan Fretilin membuat tim yang diisi Romidi kelimpungan. “Saya lupa persisnya di daerah mana, tapi itu [pertarungan] yang paling berat sampai-sampai helikopter kami kena tembak.” Pengalaman Romidi turut pula dirasakan Abu Mukmin, yang waktu Operasi Seroja dilangsungkan merupakan bagian dari kesatuan Marinir Surabaya. Partisipasi Angkatan Laut (AL) dalam Operasi Seroja ditujukan untuk menjaga daerah di sekitar tepi pantai yang juga sering diduduki Fretilin. “Marinir ditugaskan tidak hanya [untuk wilayah] laut saja, tapi juga di daerah dekat laut, dengan jarak kurang lebih empat sampai lima km dari tepi pelabuhan,” kata lelaki kelahiran Aceh ini. Sengitnya pertempuran yang dialami Abu terjadi di suatu bukit tak jauh dari Distrik Baucau. Tim Abu diadang Fretilin dan kemudian lahirlah adu tembak secara intens.
Posisi Fretilin lebih diuntungkan sebab paham secara pasti wilayah setempat. Ini membikin gerak tim Abu lumayan terbatas. “Deg-degan sekali waktu itu. Mereka menembaki dari balik semak. Ketika kami membalas menembak, kok, banyak yang enggak kena [sasaran]. Pikiran udah yang enggak-enggak aja.” Abu berhasil selamat dan lolos dari pertarungan di bukit itu. Namun, tak lama setelahnya, bandul nasibnya cepat berbalik. Sama seperti Romidi, peluru menembus kaki bagian kanan saat ia tengah melangsungkan patroli pagi. Kondisi ini memaksa Abu pulang lebih cepat dari masa tugasnya—tak lebih dari satu tahun, dari Maret sampai Desember 1976.
Operasi Seroja yang tak selamanya berlangsung mulus sehingga nasib sial menimpa pasukan bisa dikata buah dari ketidakcermatan ABRI dalam memetakan wilayah, selain juga tak maksimalnya koordinasi antardivisi. Salim Said, dalam buku berjudul Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016), menulis bahwa ketika tiba di Dili pasukan penerjun malah saling baku tembak. Informasi intelijen juga acap kali tak akurat. Sebagai contoh, Sungai Comoro yang dikabarkan penuh buaya nyatanya kering dan tidak berbahaya. Tak ketinggalan, dan ini yang paling mendasar, terdapat kesalahpahaman antarpetinggi ABRI dalam memaknai operasi militer di Timor Timur. Panglima ABRI kala itu, Jenderal TNI Maraden Panggabean, menerima informasi bahwa operasi Timor Timur merupakan operasi intelijen. Akan tetapi, oleh Benny Moerdani, yang merupakan salah satu tokoh kunci aneksasi Timor Timur, operasi militer tersebut diartikan sebagai operasi konvensional disertai operasi lintas udara. “Kesalahan strategis dalam kampanye militer di Timor Timur dulu adalah merebut kota-kota besar dengan sangat tergesa-gesa tanpa terlebih dahulu mengepungnya dari pedalaman atau desa-desa,” ungkap A. M. Hendropriyono, mantan perwira Kopassus dan bertugas di Timor Lorosae, seperti dicatat Salim dalam bukunya.
***
Lebih dari sekali Abu mengatakan “NKRI Harga Mati” ketika kami berbincang selama hampir satu jam. Untuk Abu, Indonesia adalah satu kesatuan, dan segala hal yang dianggap mengganggu—atau setidaknya berpotensi—wajib disingkirkan. “[Indonesia] harus dipertahankan, apa pun itu risikonya. Kita tidak boleh terpecah belah,” katanya. “Sekarang, kan, seperti itu. Ancaman dari dalam dan luar negeri banyak sekali. Tapi, kita seperti belum siap,” tambahnya, seraya menyebut teroris hingga kelompok pemberontak sebagai contoh dari ancaman yang dimaksud. Keyakinan itu ia pegang kuat sekalipun tak lagi berdinas di militer, dan oleh sebabnya ia terpukul keras kala mendengar kabar bahwa Timor Timur berhasil menentukan nasibnya sendiri lewat referendum pada 1999. Bagi Abu, pisahnya Timor Timur dari Indonesia adalah kekecewaan yang sulit disembuhkan. Ia dapat menerima fakta bahwa salah satu kakinya tertembak timah panas, tapi sulit untuk melakukan hal serupa manakala Timor Timur merdeka. Romidi pun demikian.
Dia percaya bahwa di bawah Orba Timor Timur dapat melesat maju; ekonomi tumbuh dan masyarakat setempat bisa hidup berdampingan dengan orang-orang Indonesia. Romidi mencoba meyakinkan, “Musuhnya hanya satu: Fretilin. Dengan yang lain, kita tidak ada masalah. Kita bisa hidup dan maju bersama.” Upaya menolak hasil referendum Timor Timur sempat dilakukan kelompok veteran Seroja. Mereka melayangkan protes dan meminta pemerintahan B. J. Habibie—yang menggantikan Soeharto—maupun DPR untuk membatalkan referendum. Usaha mereka sia-sia. Referendum tetap jalan dan secara hukum sah. “Kami perang di sana, jauh dari keluarga, sampai kena tembak Fretilin. Kalau akhirnya [Timor Timur] pisah, kok, rasanya menyedihkan sekali,” aku Romidi. Abu dan Romidi berhak merasa dilumuri kesedihan. Namun begitu, masyarakat Timor Timur, sama seperti keduanya, juga punya hak mencari kebebasan sekaligus menjemput kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri, selepas dua dekade lebih bergelut dengan aneksasi yang brutal, otoriter, serta banjir darah. Perang Timor Timur mesti dibayar dengan harga yang mahal dengan jatuhnya banyak korban dari kedua belah pihak. Commission for Reception, Truth, and Reconciliation (CAVR) melaporkan korban kematian sekurang-kurang sebanyak 102.800 orang. Sekitar 18.600 di antaranya dibunuh atau hilang. Sedangkan 84 ribu lainnya mati kelaparan atau karena sakit parah. Laporan lain berjudul “Indonesian Casualties in East Timor, 1975-1999: Analysis of an Official List” yang disusun Garry van Klinken menyebutkan sekitar 3.600 orang Indonesia tewas dalam pertempuran pada periode 1975 hingga 1999.
Dari sisi tentara, angkanya pun bisa dikata tak sedikit. Etri Ratnasari dalam Operasi Seroja 1975-1978 di Timor Timur: Kajian Tentang ABRI-AD, mencatat pada 1975 sebanyak 147 prajurit ABRI tewas. Setahun berselang, angkanya melonjak jadi 351, disusul 242 pada 1977, dan 379 pada 1978. Kekejaman di Timor Timur menambah tebal daftar kebrutalan rezim Soeharto pada medio 1970-1980. Di Papua, kekejaman aparat bahkan terus berlangsung hingga hari ini. Siapapun yang diduga sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) dibabat.
Muchtar Effendi Harahap dalam buku berjudul Demokrasi dalam Cengkeraman Orde Baru (2004) menulis, terhitung sejak 1981 hingga 1996, lebih dari 15 ribu orang Papua tewas dalam operasi-operasi militer yang dilakukan di bawah Orde Baru. Pengkeramatan Pancasila sebagai asas tunggal juga memakan banyak korban pada dekade 1980-an. Pada 12 September 1984, ratusan muslim tewas diberondong timah panas tentara di Tanjung Priok, Jakarta. Peristiwa serupa terulang lima tahun kemudian di Talangsari, Lampung. Ratusan orang meregang nyawa, dituduh pemerintah sebagai bagian dari gerakan subversif. Berdasarkan laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bertajuk Kasus Talangsari 1989, Sebuah Kisah Tragis Yang Dilupakan (2006), pembantaian itu dilakukan oleh tiga peleton Batalion 143 dan satu peleton Brigade Mobil (Brimob) yang dipimpin A. M. Hendropriyono. Jangan lupakan pula operasi penembakan misterius, atau petrus, yang tak kalah bikin bergidik. Operasi ini menyasar para bramacorah, gali, serta preman dan masif dilakukan manakala Benny Moerdani naik jadi Panglima ABRI (Pangab) pada 1983. Di mata Benny, para kriminal tak ubahnya seperti kanker: cuma bikin susah hidup masyarakat. Mirisnya, kebijakan petrus tak jarang juga diarahkan ke orang-orang yang vokal mengkritik rezim.
Operasi menyasar kota-kota besar macam Yogyakarta, Jakarta, maupun Surabaya. Selama kurang lebih dua tahun, mengutip penelitian David Bourchier berjudul “Crime, Law, and State Authority”, jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 5 hingga 10 ribu orang. Mereka semua mati tanpa diadili secara resmi dan terbukti pernah melakukan kejahatan. Baca juga: Tragedi Santa Cruz dan Sejarah Kekerasan Indonesia di Timor Leste Deretan dosa di atas memperlihatkan bagaimana rezim Soeharto merawat kekuasaannya selama lebih dari tiga dekade. Indonesia di bawah Soeharto adalah lautan darah. Walaupun begitu, aneksasi Timor Timur—dilegalkan dengan penetapan sebagai provinsi ke-27 pada Desember 1975—sukses dihentikan. Setahun usai Orde Baru tumbang, di bawah kepemimpinan Habibie, referendum yang dinanti-nanti akhirnya terlaksana pada 27 Januari 1999. Hasilnya, dari total 438,968 suara, sebanyak 344.580 atau 78,50 persen rakyat Timor Timur memilih berpisah dari Indonesia dan menolak otonomi khusus dari Indonesia. Tiga tahun usai referendum, Timor Timur—berganti Timor Leste—memperoleh status resminya sebagai negara anggota PBB. “Rasanya nyesek sekali di dada,” ujar Abu, lirih.
***
Lahan seluas kurang lebih 40 ribu hektare itu sudah padat bangunan. Di bagian tengah, tak jauh dari gerbang masuk, telah berdiri arena olahraga dan gedung serba guna. Di kiri-kanan berjejer banyak gang yang namanya diambil dari jenis buah-buahan, baik itu duku, jambu, sampai mangga. Romidi tengah membenahi antena televisi kala saya tiba di rumahnya. Geraknya masih lincah untuk ukuran sepuh. Uluran bantuan dari saya ia tolak dengan halus seolah ingin memberi pertanda bahwa ia bisa menyelesaikannya sendiri. Perjumpaan kami bisa dibilang tak kelewat mulus. Saat saya memperkenalkan diri sebagai wartawan, ia meresponsnya dengan cukup dingin. Sikapnya baru berubah hangat dan menyambut terbuka usai saya menjelaskan secara rinci maksud dan tujuan kedatangan; bahwa saya ingin mengangkat nasib veteran Seroja di masa kini. “Saya sejak awal tinggal di sini. Enggak ke mana-mana sampai akhirnya berkeluarga juga,” ucap Romidi membuka perbincangan. “Bersyukur bisa diperhatikan sama negara.” Inilah potret Wisma Seroja, kompleks perumahan yang khusus ditujukan untuk para veteran Operasi Seroja. Berdiri sejak 1976, Wisma Seroja terdiri dari ratusan rumah, yang semuanya berstatus hak milik. Wisma Seroja merupakan salah satu upaya negara dalam rangka menjamin keberlangsungan hidup para veteran perang yang mengalami cacat permanen, seperti halnya Romidi. Aturan hukum soal itu sudah ada, termaktub lewat Undang-Undang No. 15 Tahun 2012 tentang Veteran Republik Indonesia (PDF). Definisi 'veteran' sendiri, jika merujuk beleid tersebut, adalah mereka yang “bergabung dalam kesatuan senjata resmi” dan “berperan aktif dalam suatu peperangan menghadapi negara lain” untuk “membela dan mempertahankan kedaulatan NKRI.” Terdapat lima penggolongan menurut masa baktinya: veteran pejuang kemerdekaan RI (17 Agustus 1945-27 Desember 1949), Trikora (19 Desember 1961-1 Mei 1963), Dwikora (3 Mei 1964-11 Agustus 1966), Seroja (21 Mei 1975-17 Juli 1976), serta perdamaian (mandat PBB).
Romidi, juga Abu, cukup beruntung lantaran masa bakti mereka sudah memenuhi ketentuan sehingga bisa memperoleh bermacam hak, dari santunan, bantuan kesehatan, sampai tunjangan cacat. Masalahnya tak semua seberuntung mereka. Perang Timor Timur terjadi dalam rentang waktu yang lama, sampai 1999. Artinya, ada banyak serdadu yang berhak mendapat status veteran namun terhalang poin penggolongan masa bakti tersebut. “Ada banyak teman-teman saya yang bertugas setelah 1976, di lapangan terluka, tapi enggak dapat apa-apa. Mereka cacat, dan sayangnya enggak dapat status veteran,” keluh Romidi. “Kalau bisa pemerintah mengubah masa bakti itu.” Abu berharap hal yang sama. Menurutnya, setiap tentara yang pernah turun berperang, baik melawan “musuh dalam maupun luar negeri,” seharusnya berhak mendapat gelar veteran. “Karena pada dasarnya kami membela kesatuan negara, tidak peduli musuhnya siapa.” Masalah tidak hanya itu, tapi juga praktik culas berupa jual-beli gelar veteran. Ridwan, putra Romidi, yang seringkali mengurusi keperluan administrasi hak-hak veteran sang ayah, mengaku hal tersebut telah jadi rahasia umum. “Banyak yang mengaku [bagian] dari Seroja buat dapatin [gelar] veteran. Padahal mereka enggak ikut sama sekali,” ungkapnya. “Ini, kan, jadi enggak adil buat mereka yang benar-benar ikut.” Omongan Ridwan tak salah. Kasus semacam itu pernah terjadi di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Polanya, mereka mengusulkan nama-nama yang bukan pejuang Timor Timur kepada Kementerian Pertahanan dengan imbal balik sejumlah bayaran. Jumlah veteran palsu yang telah diurus calo itu mencapai ribuan orang.
Saya berupaya menghubungi Silalahi, Kepala Bantuan Hukum Legiun Veteran Republik Indonesia, dan Haryadi selaku Direktur Veteran Kementerian Pertahanan guna meminta konfirmasi atas masalah itu. Namun pesan maupun telepon saya sampai tulisan ini dibikin, tak mendapatkan respons. Masalah veteran Seroja tak sekali saja muncul. Di era lampau, menurut keterangan Romidi, juga terdapat masalah. Bedanya, titiknya terletak pada urusan pemberdayaan serdadu yang pulang dari medan perang dengan kondisi cacat permanen. Ketika ABRI dipimpin Maraden Panggabean (1973-1978), kebijakan yang diambil untuk merespons tentara Seroja yang pulang dengan kondisi demikian bertumpu pada tiga hal: pemulihan, pendidikan keterampilan, serta persiapan pensiun. Dengan kata lain, masa dinasnya diperpendek. “Itu seperti enggak peduli dengan nasib kami. Misalnya begini, kalau ada yang ikut operasi masih berusia muda, lalu kena tembak, bagaimana hidupnya setelahnya? Hancur pasti,” jelas Romidi. Kebijakan Panggabean lalu dirombak oleh penerusnya, M. Jusuf (1978-1983), yang dikenal dekat dengan para tentara di bawahnya. Bagi tentara Seroja yang mengalami cacat permanen, pendekatan yang diambil yakni dipindahtugaskan menjadi staf di instansi terkait—bisa di ABRI maupun Departemen Pertahanan—sampai masa pensiunnya tiba. Dengan begitu, Romidi menambahkan, “ada jaminan yang bisa dipegang tentara.” “Kasihan tentara kalau sudah pensiun jika negara tidak memperhatikan,” tandasnya.
Sementara para serdadu bawahan masih bergelut dengan ketidakpastian, kondisi yang berbeda dialami para atasan mereka, yang sejak invasi berakhir justru memiliki jalan karier—politik—yang begitu mulus dengan merapat pada lingkar kekuasaan. Prabowo Subianto, setelah dua kali gagal dalam pertarungan pemilihan presiden, diangkat sebagai Menteri Pertahanan. Luhut Binsar Panjaitan nyaris tak tersentuh dengan mengisi pos-pos jabatan strategis setingkat menteri koordinator. Hendropiyono sempat duduk di kursi nomor satu Badan Intelijen Negara (BIN). Kemudian Wiranto, yang diduga kuat terlibat pelanggaran HAM di Timor Leste lewat aksi bumi hangus hingga memegang kendali pada kelompok paramiliter, juga setali tiga uang. Ia bebas dari vonis hukuman dan malah dipasrahi kuasa penting menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam).
Orang-orang ini dikaitkan dengan benang merah: terpilih di rezim Joko Widodo, presiden dari kalangan sipil yang digadang-gadang mampu mengembalikan marwah demokrasi, yang sayangnya justru menghasilkan kebijakan-kebijakan kontradiktif. Kenyataan memang pahit. Dalam perang di Timor Timur, medan darah yang tak bisa dimenangkan itu, nasib buruk hanya menimpa mereka yang berada di kasta paling bawah. Abu dan Romidi tak lebih dari pion yang dikorbankan oleh para pangeran, yang pada akhirnya hidup bergelimang harta dan tahta. “Perang itu mengerikan,” kata Abu, dengan tatapan yang menerawang entah ke mana. Ia diam sejenak, dan tak lama berselang air mata jatuh dari kedua matanya yang kosong.